Batik, Bisnis dan Budaya Trah Martowirono
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com
Reuni trah di batik. Sikap sok tahu mudah memicu bencana. Tetapi juga bisa membawa berkah.
Di tengah suasana Gelar Expo UMKM Kota Yogyakarta dengan tema “Batik Jogja untuk Indonesia,” syukurlah saya memperoleh kedua-duanya.
Di halaman Griya UMKM Jl. Taman Siswa No. 39 Yogyakarta, tempat gelar karya batik itu berlangsung, terdapat panggung untuk demo membatik.
Tersedia beberapa carik kain, seukuran sapu tangan, yang tersedia cuma-cuma bagi pengunjung untuk mempraktekkan aksi membatik. Saya ikut mencobanya.
Beberapa saat kemudian hadir seorang bule, perempuan. Dengan sok tahu, ia saya beri kain itu dan memintanya untuk mencoba membatik. Si bule itu mendengarkan. Tetapi rekannya dari Batik Winotosastro segera memberitahu saya, bahwa si bule itu ahli membatik. Inilah bencana yang saya alami. Saya meminta maaf, dan malah terjadi obrolan.
Pembatik dari Jerman. “Saya sudah membatik sejak 40 tahun yang lalu,” kata si bule yang bernama Brigitte Willach itu. Pada kartu namanya terdapat label :
Batik-Atelier. Nampak dalam foto ia didampingi Shinta Pertiwi, ST (kiri) dan Antik Anggreni dari stan Gama Blue Indigo ND.
Ia berasal dari kota Hannover, Jerman. Brigitte cerita bahwa canting untuk membatik di Jawa itu merepotkannya. Brigitte cerita bahwa dirinya memiliki canting tersendiri. “Better ?,” sergah saya. “No. Just different,” jawabnya. Menurutnya, canting di Jawa itu mudah menghadirkan
dot, dot, dot. Bahasa Jawanya, sering
ndlodok.
Saya tergelak mendengar kisah Brigitte itu.
Karena kecelakaan berupa tumpahan
malam pada kain di tempat dan dengan ukuran yang tidak direncanakan, sebuah bencana desain bila terjadi, juga baru saja saya alami. Yaitu ketika sok bisa membatik, saat membuat
kacu biru “Trah Martowirono” pada foto di atas tadi. Kalau karya batik geradakan itu ketahuan Bude Tejo dari Polokarto, Sukoharjo, mungkin kuping saya sudah dijewer atas bencana desain batik seperti ini.
Blogger trah. Pada obrolan lain, Brigitte merasa heran mengapa saya yang lelaki tertarik kepada batik. Sambil bertukar kartu nama, saya menjelaskan bahwa saya seorang penulis. Blogger. Saya bercerita bahwa
event organizer acara ini, Persada Promosindo Yogyakarta, adalah milik salah satu keluarga dari trah saya.
Ditambah lagi bahwa salah satu peserta gelaran ini, Gama Blue Indigo ND, dengan misi khusus memromosikan penggunaan pewarna alami untuk proses pewarnaan batik, adalah juga keluarga dari trah saya.
Saya katakan, saya yang tinggal di Wonogiri, Solo, antara lain datang untuk mendokumentasikan, dengan menulis kiprah mereka. Ia nampak memberikan apresiasi. Termasuk menyarankan saya untuk berbincang dengan Ibu Ani dari Batik Winotosastro terkait pemanfaatan pewarna alami,
natural dyes, untuk produk-produk batiknya.
Nama Winotosastro ini juga terpateri di otak saya sejak kecil. Ketika duduk di SD, tahun 1960-an, bapak saya bekerja sebagai prajurit TNI-AD di Yogya. Keluarganya masih di Wonogiri. Pernah di hari-hari menjelang Lebaran beliau membawa pulang kain batik, untuk seragam
bakdan bagi anak-anaknya. Seingat saya, berupa batik printing merah dengan dasar putih. Batik Winotosastro.
Kilas nostalgia semakin mengental karena Gedung UMKM itu berada di Kemantren Mergangsan. Inilah kecamatan tempat ayah saya, tahun 1960-an, pernah menjabat sebagai Komandan Koramil di kawasan ini. Kembali ke pembatik yang ramah asal Jerman tadi.
“Apakah Brigitte dalam membatik memakai pewarna alami ?”
“Tidak. Saya masih memakai kimia.”
Motif Bokor Mengkurep. Baik memakai pewarna kimia atau alami, tetapi bagi saya bau khas
malam batik mampu memicu sensasi tersendiri. Mengembalikan saya ke masa lalu. Parade kenangan tentang batik itu lalu bisa menyeruak warna-warni.
Kata
malam itu sendiri sempat saya celotehkan kepada Ibu Irawani, dosen Jurusan Seni Kriya ISI Yogyakarta dan putri pematung sohor Edhie Sunarso di mana bersama Ibu Pandan sebagai kurator acara itu.
Di depan mahasiswinya yang sedang demo membatik saya katakan bahwa pembatik itu dilarang bilang “selamat pagi,” “selamat siang” atau pun “selamat sore.” Mereka hanya boleh bilang : “selamat
malam.”
Ah, trik ini ini disebut sebagai
double entendre dalam dunia komedi guna memancing tawa.
Begitulah, bau khas
malam batik dari wajan kecil berisi
malam meleleh di atas kompor di halaman Gedung UMKM Yogya saat itu bisa melemparkan kenangan. Antara lain saat saya masih duduk di SD tahun 60-an. Seingat saya saat itu, warga Trah Martowirono yang saya ketahui beraktivitas membatik adalah Bude Hj.Warsiti Tejosuwarno (foto), ibunda dari Siti Fatimah, Tri Setyaningsih dan Untoro Setyabudi.
Ketika memasuki halaman rumah beliau yang halamannya berpasir dan diteduhi pohon sawo, letaknya di bagian barat laut dari rumah mBah Dung, sudah nampak pemandangan menarik.
Di rumah sisi timur, sudah nampak Bude Tejo dan ibu beliau, Eyang Trisnowiyo asyik di depan
gawang atau
stand untuk meletakkan kain yang sedang dibatik. Kedua beliau itu sedang membatik. Dari kontak SMS dengan Mas Parmono, motif-motif batik yang beliau gurat saat itu adalah Sriwedari, Bokor Mengkurep dan Semen Rantai. Judul-judul motif yang terdengar eksotis.
Masih di Kedunggudel, sensasi batik juga teruar dari rumah Eyang Sutomulyono. Ketika diajak ibu saya, Sukarni, untuk bersilaturahmi dengan beliau, segera terlihat jajaran lemari berkaca di ruang tamunya. Ketika memasuki pintunya di sisi, timur, kita harus menaiki undakan cukup tinggi. Dapat dimaklumi, rumah harus dibuat tinggi karena saat itu banjir masih menjadi langganan Kedunggudel.
Almari-almari berkaca dari rumah tembok yang berada di sebelah barat pasar Kedunggudel ini penuh dengan jajaran
jarik atau kain batik. Koleksi itu menunjukkan status terhormat sekaligus status kekayaan dari sang empunya kala itu.
Kuli usung-usung batik. Bau
malam batik juga kuat terpancar dari Pasar Klewer. Pada tahun 1974-1979 saya tinggal di Tamtaman, Baluwarti Solo, di bagian rumah milik Eyang Laksmintorukmi. Beliau adalah mantan istri Bupati Wonogiri, garwo ampil PB XI dan sekaligus guru tarinya Guruh Sukarnoputra. Eyang Laksmintorukmi ini adalah juga seorang pembatik.
Dari rumah ini, ketika ibu saya mampir untuk bersilaturahmi dengan Bu Wiryo (juga pembatik), pemilik kamar tempat saya kos yang masih di lingkungan komplek rumah eyang Laksmintorukmi itu, saya kemudian rutin menemani ibu ke Klewer. Berurusan dengan batik.
Kajen-Tekaran Jaman Dulu. Nampak ibu saya Sukarni (duduk depan paling kanan), bapak saya, Kastanto Hendrowiharso, bersama keluarga Sukirman Haswosumarto saat pernikahan Endang Markiningsih dan Wiranto di Selogiri. Saya yang menjadi juru potret perhelatan saat itu.
Ibu saya bisa terkait kain batik, karena semata beliau menjualnya. Beliau membuka bisnis pakaian dan komoditi sejenisnya di Kodim 0728 Wonogiri dan lalu di Kantorpos Wonogiri. Tempat
kulakan-nya, termasuk kain batik, di Pasar Klewer itu. Saya jadi tukang
usung-usung, mengikuti kemana beliau
mblusuk-mblusuk lorong pasar terkenal itu. Ketika tahun 1980 saya berkuliah di Jakarta, Broto Happy Wondomisnowo yang menggantikan status sebagai tukang
usung-usung kemudian.
Persinggungan menarik antara warga Trah Martowirono dengan batik, rupanya berlanjut. Hingga kini. Dengan beragam wujud dan konteks terkait karier dan pilihan hidup masing-masing.
Laskar biru alami. Misalnya, masih ingatkah Anda akan salah satu sesi dalam reuni Trah Martowirono XXII di Wonogiri ? Saat itu Dr.Ir. Edia Rahayuningsih, MS (foto,baju biru) yang mengajar di Teknik Kimia Universitas Gajahmada telah memperkenalkan serbuk pewarna alami
blue indigo untuk kain batik yang ramah lingkungan. Merek dagangnya Gama Blue Indigo ND.
Produk yang sama bisa kembali saya temui saat berlangsungnya Gelar Expo UMKM Kota Yogyakarta itu. Bahkan saya ikut mempraktekkan kegunaannya. Warna gemilang dari sapu tangan biru “Trah Martowirono” merupakan bukti dari keandalan pewarna alami dari tanaman
indigofera tinctoria tersebut.
Walikota Yogyakarta, Herry Zudianto, sesudah meresmikan acara berkeliling mengunjungi stan yang ada. Ia sempat memperoleh cenderamata sebuah dasi bermotif batik dari Gama Blue Indigo ND. Bahkan secara spontan mencetuskan anjuran agar PNS di lingkungannya mengenakan dasi bermotif batik. “Bukan yang buatan Pierre Cardin,” katanya.
Dasi kreasi Gama Blue Indigo ND berwarna biru, yang langsung dicoba saat itu, menjadi serasi karena Pak Wali dan juga istri memakai baju bernuansa biru. Nampak dalam foto Ibu Walikota, Hj. Dyah Suminar, diapit Shinta Pertiwi, ST (kiri) dan Antik Anggreni di stan Gama Blue Indigo ND.
Batik Dasamurka. Dari Yogya, kita pindah ke Solo. Arak-arakan Solo Batik Carnival (SBC) a la karnaval legendaris Rio de Janeiro yang diusung Pemkot Solo menjadi arena persinggungan kreatif bagi warga Trah Martowirono lainnya.
Yaitu :
Mayor Haristanto, termasuk kedua putrinya, Ayu Permata Pekerti dan Lintang Rembulan. Tentu saja, terkait batik.
Selama dua kali penyelenggaraan SBC, 2008 dan 2009, Mayor selalu ikut berparade dengan menyajikan kostum batik yang ia beri label “Dasamurka.” Dengan penampilannya itu ia ingin menunjukkan kemarahan terhadap problema salah urus yang membuat negeri makmur ini justru mengakibatkan banyak rakyatnya sengsara kehidupannya.
Harian The Jakarta Globe (22/7/2009) secara khusus menulis : “Mayor was the man who wore
the most outlandish costume at the Solo Batik Carnival in Central Java on June 28th – a tunic fashioned out of red and gold ribbons, patches and braid, with a matching headdress and shield and spikes pointing out like a Catherine wheel firework.”
Nampak dalam foto ketika dirinya mengenakan kostum itu saat diprofilkan di koran Suara Merdeka (7/8/2009) dengan judul : Berjuang Untuk Kebaikan.
Di bawah panji
Republik Aeng Aeng, ketika eforia menggelegak saat diakuinya batik sebagai warisan dunia bukan benda asal Indonesia oleh UNESCO, ia pernah menyelenggarakan aksi massal anak-anak pelajar melukis motif batik di aspal di Solo.
Gebrak di batik dunia maya. Terkait penyelenggaraan Solo Batik Carnival 2009, saya sendiri meluncurkan ide futuristik yang terjangkau. Saya telah menulis artikel berjudul “
SBC, Gebraklah Publikasi Dunia Maya !” di harian Solopos (22 Juni 2009).
Saya tulis, “Ketika karnaval SBC berjalan, saya membayangkan kejadian menakjubkan seperti dikisahkan oleh ahli strategi Internet, John Blossom, asal AS. Dalam situs yang menyertai penerbitan bukunya, Content Nation : Surviving and Thriving as Social Media Changes Our Work, Our Lives, and Our Future (2009), ia bercerita tentang suasana peristiwa olah raga terakbar di Amerika Serikat, yaitu final kejuaraan Super Bowl XLIII awal Februari 2009 yang lalu.
Kiprah ribuan penonton yang sekaligus “wartawan” itu, dengan bersenjatakan media jaringan sosial Facebook dan
microblogging Twitter, menjadi fenomenal adanya.
John Blossom menulis : ‘Di tengah kerumunan itu stadion riuh berhias pendar-pendar nyala layar telepon genggam. Puluhan ribu warga biasa mengirimkan video, audio, foto dan pesan-pesan pendek kepada rekan-rekan mereka sebagai bagian integral peristiwa itu melalui sarana telepon genggam mereka. (Fenomena ini) menegaskan betapa penerbitan melalui media sosial telah menjadi bagian dari selebrasi diri kita sebagai umat manusia.’
Solo Batik Carnival pasti juga merupakan bagian dari selebrasi warga Solo atas batik sebagai karya kebanggaan budaya mereka. Saya memimpikan dan membayangkan betapa dahsyat bila rasa bangga itu, baik sebagai pelaku sampai sebagai saksi dari arak-arakan megah yang mempertontonkan karya kreatif dalam karnaval SBC itu, dapat secara masif mereka ceritakan secara bersama-sama kepada dunia.
Tujuan akhirnya : Solo yang lebih
kuncoro bukankah mampu mendatangkan maslahat bagi seluruh warganya ?”
Batik ikan buas. Simpul-simpul kenangan dan kiprah warga trah kita terkait dengan batik, bermuara di Gedung UMKM Yogyakarta ini, 4-6 Desember 2009. “Dik, apa bisa bergabung ?,” demikian tulis SMS Mas Untung Suripno kepada saya, 30/11/2009.
Saya tiba di “keraton” Banguntapan, Rabu, 2 Desember 2009. Langsung diajak kru Cipta Gatra ke lokasi pameran di Jalan Taman Siswa. Frederico Ario Damar nampak memimpin para anak buahnya, membangun belasan
booth dan panggung untuk keperluan peserta pameran dan upacara pembukaan.
Bagi saya, ini ajang untuk mempelajari hal-hal baru. Buku-buku milik Balai Besar Batik dan Kerajinan Yogyakarta, sempat saya baca-baca. Termasuk mengetahui bahwa pohon alpukat di belakang rumah di Kajen itu juga merupakan sumber pewarna alami untuk batik. Bahkan lombok, juga bisa. Saya pun mengetahui mengapa muncul istilah batik
wonogiren dalam dunia batik Indonesia.
Skripsi dari ISI yang dibawa Ibu Irawani, juga sempat saya buka-buka. Ada topik skripsi menarik, yang membincangkan ikan piranha sebagai sumber inspirasi motif batik. Dengan Sutik dari Cipta Gatra, sempat saya obrolkan : mengapa Arwin Hidayat, penulisnya, tidak memilih
gereh atau lele saja, sebagai inspirasi motif batik Indonesia? Nanti batik bermotif ikan piranha itu akan disebut sebagai batik Indonesia atau batik Brasil ?
Yang juga menarik, dalam acara tersebut terdapat
lima pengusaha batik di Yogyakarta yang akan mendaftarkan merk produk mereka. Pendaftaran tersebut difasilitasi oleh Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta bersama Klinik Hak Kekayaan Intelektual Provinsi DIY.
Dalam pertemuan dengan lima pengusaha batik itu, yang dihadiri Ibu Ny. Hj. Tri Kirana Muslidatun, S.Psi, istri Wawali Yogyakarta dan Wakil Ketua Dekranasda itu (foto atas), Mas Untung Suripno hadir sebagai aktor pendamping bagi UMKM untuk pendaftaran merek mereka. Selama ini salah satu kiprahnya adalah menjadi nara sumber untuk topik tersebut.
Sementara mBak Erry dan kawan-kawan pada hari kedua, 5/12/2009, juga menyempatkan berkunjung ke pameran. Nampak mereka sedang berbincang di stan batik Winotosastro.
Ketika mengobrol secara lesehan di warung hik di kawasan Gembiraloka, sambil beranda-andai terdapat ribuan UMKM (di Yogya sendiri terdapat 18.000 UMKM) yang kelak tergerak untuk mendaftarkan merek-merek mereka, medan satu ini merupakan bidang usaha yang menantang di masa depan.
Merupakan persilangan antara bisnis, hukum, sastra sampai desain grafis. Termasuk, sambil guyon, upaya jualan saran terkait seluk-beluk ritual
nglakoni poso senin-kemis guna menemukan nama merek yang mampu
ngrejekeni bagi pemiliknya.
Saya teringat ujaran teman Facebook saya, pakar bisnis kreatif dari Inggris,
David Parrish, yang mengatakan kredo menarik : jangan menjadi pionir yang malang dan melarat. Inti pesannya : lindungi kreasi kreatif Anda, baik dengan paten, hak cipta atau pun pendaftaran merek milik Anda.
Trah kita bagi batik dunia. Hari Sabtu sore, 5/12, saya minta pamit untuk kembali ke Wonogiri. Saya hanya bisa pamit kepada Bunga Persada. Dengan diantar Mas Untung, saya
nyengklak bis untuk pulang menuju Solo. Syukurlah, saya masih bisa mengejar bis terakhir, Solo-Batu, menuju Wonogiri.
Ketika saya mencari tahu apa masih ada bis Solo-Praci, karena rutenya meliwati Kajen, muncul jawaban menarik.
Sopir yang melayani taksi gelap, menyatakan tidak ada. Ia pun lalu menawarkan taksinya. Seseorang lain juga menyatakan tidak. Ia menyarankan saya untuk menginap di losmen Solo (“murah,” katanya) dan naik bis jurusan Praci, esok jam 4 pagi. Sementara pedagang asongan bilang, masih ada bis itu, Serba Mulya. Semua orang memberikan saran yang terkait dengan keuntungan yang bakal mereka raih.
Wajarlah. Mau tak mau, saya harus naik saja bis jurusan Solo-Batu itu.
Ketika bis Jaya Guna tersebut jalannya rada merambat karena Solo diguyur hujan, lamat-lamat saya masih mendengar beberapa baris kalimat yang saya tulis di Kajen dan menjadi materi pidato sebagian pejabat dalam acara di Jalan Taman Siswa itu. Itulah salah satu sumbangan kecil saya, atas fasilitasi Mas Untung, betapa kita warga Trah Martowirono punya budaya memberi. Kali ini mampu ikut pula memajukan batik Indonesia.
Saya tiba di rumah Kajen, jam 20.30. Saya lalu mengirim SMS ke Mas Untung bahwa saya sudah tiba kembali di Wonogiri. Dengan selamat.
Wonogiri, 6-8/12/2009
trahmar