Thursday, August 23, 2012

John Denver, Erry's Song dan Reuni XXVI Trah Martowirono

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com



John Denver (1943-1997), penyanyi country, pencipta lagu dan aktivis kemanusiaan. Di antara 300 karyanya, lagu-lagu terkenalnya antara lain "Take Me Home, Country Roads", "Rocky Mountain High", dan "Sunshine on My Shoulders.”

Pada usia 11 tahun  John Denver menerima hadiah sebuah gitar akustik dari neneknya, yang membuatnya mampu tampil di klub-klub lokal ketika duduk sebagai mahasiswa.

Yang menyamakan John Denver dengan sebagian warga trah kita, ia anak tentara, angkatan udara. Hal itu pula yang membentuk dirinya pada usia dewasa untuk menjadi pilot andalan, sekaligus jalan terbaik yang dipilihkan Tuhan untuk menemui ajalnya.

Penghormatan dan eskpresi cinta keluarga untuk Herpadmiatun, 31 Juli 2012

John Denver punya ucapan menarik tentang ajal.
“Kematian bukan sebuah akhir, tetapi merupakan lambang  gerakan menyusuri jejak perjalanan yang akan ditempuh oleh kita semua. Sebagaimana  penderitaan karena kita kehilangan kontak dengan seseorang yang kita cintai, spiritnya tak akan pernah hilang. Kita selalu dan selamanya terus menjadi bagian dari yang lainnya.”

Kesedihan dan duka telah mampu ia ubah menjadi sesuatu yang indah, seperti tercermin dalam lagu ciptaannya, Annie’s Song. Lagu itu ia gubah untuk mengenang istri pertamanya, Annie Martell. Padahal waktu bercerai, ia dikabarkan sempat mau mencekik istrinya. Dan dengan gergaji mesin ia membelah jadi dua ranjang pengantinnya.

Tapi simaklah lirik lagu Annie’s Song itu.

“Engkau merasuki jiwaku seperti malam memeluk hutan, seperti gunung-gunung di musim semi, seperti berjalan di bawah hujan, seperti badai di padang pasir, seperti mengantuknya permukaan laut yang biru. Engkau merasuki jiwaku, mengisinya sekali lagi.”

Duka telah mampu ia jalani.
Bahkan juga ia kenang sebagai keindahan. 

“John Denver, kau kini telah bersama Tuhan. Ijinkanlah aku hari ini untuk mengubah judul lagumu itu, dengan nama orang yang sama-sama kami cintai. Dan setiap kali mendengarkan lagu ini, akan kami kenangkan cinta akan kebaikannya

Judul semula Annie’s Song dan hari ini dan selanjutnya, bagi semua trah kita, judulnya menjadi : Erry’s Song.  

Mas Untung, Rico dan Bunga, lagu ini khusus untuk Anda.


Wonogiri, 22 Agustus 2012


*) Obituari untuk mengenang wafatnya Herpadmiatun (3 Juni 1956-30 Juli 2012) ditulis dan dibacakan oleh Bambang Haryanto dalam acara Reuni XXVI Trah Martowirono di Dukuhan, Nayu, Kadipiro, Solo. Reuni kali ini bertemakan country.

Monday, August 20, 2012

Reuni Trah Martowirono 2012 Bergaya Country dan Koboi

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com


Fenomena mudik Lebaran yang menggerakkan jutaan manusia untuk ramai-ramai pulang kampung antara lain dipicu oleh hasrat manusiawi setiap insan untuk kembali ke akar.

Apalagi bagi mereka yang tinggal di perkotaan dengan pergaulan yang cenderung berorientasi ekonomi, di mana hubungan antar manusia berlangsung dingin, manipulatif, penuh kalkulasi dan sarat nuansa persaingan.

Suasana Lebaran yang agamis dan humanis kemudian menginpirasi banyak warga untuk menghidupkan atmosfir pergaulan antarsesama secara hangat, terbuka, apa adanya, fitri, dan itu terjadi dalam perisitiwa yang disebut sebagai reuni.

Rumusan Naisbitt. Anak-cucu dan keturunan Trah Martowirono tidak pula luput dari dinamika universal tersebut. Meminjam rumusan “high tech, high touch,” dari futuris John Naisbitt dalam bukunya Megatrend (1982), telah ia jelaskan betapa  semakin terlibatnya teknologi dalam kehidupan seseorang maka semakin penting pula nilai-nilai spiritual bagi individu bersangkutan.

Semakin seseorang terlibat dalam kehidupan berskala global, dirinya semakin berusaha mencari nilai-nilai lokal sebagai pegangannya.

Nilai-nilai lokal itu disemai dan dipersubur dalam ritus reuni, di mana untuk Trah Martowirono penyelenggaraan acara pertemuan tahunan yang ke-26 kali tahun 2012 ini dilakukan di Dukuhan Nayu, Kadipiro, Solo.

Ia ibarat sebuah ritus “kembali ke oasis, menengok akar, untuk memperoleh asupan rohani sebagai bekal mengarungi kehidupan di masa datang.”

Reuni Trah Martowirono 2012 : Country dan Era
Cowboy

 Memacu kreativitas. Acara reuni 2012 dikemas dengan gaya country, menghidupkan kembali era koboi, masyarakat agraris yang dekat dan mencintai lingkungan, dengan hubungan yang guyub, gotong royong, dan  egaliter. 

Kemasan ini juga ditujukan untuk mendinamisasikan atmosfir pertemuan dan sebagai sarana memacu kreativitas warganya untuk berekspresi. Keunikan itulah yang membuat acara ini ngangeni, dirindukan dan dinantikan.

Pada reuni 2009 mengambil tema perjuangan revolusi 1945 dengan tajuk “6 Djam di Djokdja”, reuni tahun 2010 dengan tema semarak sepakbola (Jombor, Sukoharjo), tahun 2011 di Polokarto, Sukoharjo dengan tema reggae, dan kini di Solo 2012 dengan tema  “Take Me Home, Country Roads” yang diilhami lagu topnya John Denver.

Benih Trah Martowirono disemaikan di desa Kedung Gudel, Kelurahan Kenep Sukoharjo. Martowirono adalah seorang bayan desa (dalam poster ditampilkan sebagai sheriff)  memiliki 4 anak, Suripti, Sutono, Sutejo dan Sukarni.  

Dari keempat anak itu telah hadir keturunan yang berkiprah di pelbagai belahan negeri ini. Kalimantan, Lampung, Bogor, Yogyakarta, Solo, Sukoharjo, Wonogiri, sampai Jember.

Untuk mengomunikasikan kabar keluarga, telah pula diluncurkan blog Trah Martowirono, di : http://trah.blogspot.com.

Friday, August 03, 2012

Dia Begitu Sayang Keluarga : In Memoriam Mbak Eri Herpadmiatun (3 Juni 1956-30 Juli 2012)

Oleh : Broto Happy Wondomisnowo



Mengejutkan. Sebuah pesan singkat datang dari Mas Mayor, Senin, 30 Juli 2012, jam16.35. Kabar duka ternyata. Berita yang tertulis di layar HP:

“Berita lelayu dr Mbak Yayuk Jogja, bahwa Mbak Eri istrinya Mas Untung baru saja meninggal dunia. Info berikutnya nyusul. Mayor.”

Innalilahi wa Inna Ilaihi rojiun. 
Itu kalimat pertama yang keluar dari mulut saya.

Tanpa berlama-lama, saya pun segera mengirim pesan singkat kepada kepada Mas Untung. Isinya, tidak lain saya dan keluarga mengucapkan berbela sungkawa yang mendalam atas berpulangnya Mbak Eri menghadap Sang Khalik. 

Berita berpulangnya Mbak Eri memang mengejutkan. Termasuk saya pun kaget. Seluruh warga Trah Marto Wirono pun pasti tidak mengira Mbak Eri akan begitu cepat berpulang meninggalkan kita. 

Akhirnya hanya doa tulus yang saya panjatkan. Saya cuma bisa memohon kepada Sang pencipa Alam Semesta, semoga Mbak Eri damai di surga. Sementara keluarga yang ditinggalkan, diberi ketabahan dan kekuatan iman. Amin!

Montir motor Kaliurang. Saya memang tidak begitu banyak bertemu dan bergaul dengan Mbak Eri. Ini berbeda dengan mbak-mbak saya yang lain.

Dulu ketika awal tahun 1990-an masih sebagai kontributor Tabloid BOLA untuk Jateng dan  Yogyakarta, saya malah lebih sering main ke rumah Mbak Yayuk di sebelah timur Stadion Mandala Krida, Yogyakarta. Di tempat ini pula saya bisa bertemu Mbak Endah. Begitu juga ketika Mbak Yayuk pindah ke Besi, Kaliurang, Yogyakarta utara.

Bahkan, ke tempat Mbak Dwi di Kaliurang juga pernah saya sambangi. Malah kala itu tidak sengaja saya mau minta tolong kepada seseorang yang tengah memperbaiki motor untuk menanyakan di mana tempat TC para pelari jarak jauh Indonesia yang disiapkan ke SEA Games 1991 di Manila, Filipina. Jebulnya, lelaki yang tengah ngotak-atik sepeda motor itu adalah Mas Doyo, suaminya Mbak Dwi!

Penuh perhatian. Kembali ke laptop. Uniknya, mengapa ya setiap ada liputan ke Yogya, saya kok malah jarang mampir ke rumah Mas Untung. Jadi, bisa dibilang hubungan dengan Mbak Eri tidaklah seintens dengan mbak-mbak yang lain.

Meski begitu, bisa saya sampaikan bahwa Mbak Eri itu ternyata sangat perhatian kepada adik-adiknya, melebihi mbak-mbak yang lain malah. Dia tak hanya sebagai ibu. Dia juga seorang kakak yang hangat, dan mungkin juga bisa disebut sebagai teman yang begitu hangat, penuh perhatian dan menyenangkan!

Setiap bersua dengan saya dalam berbagai acara pertemuan Trah Martowirono, selalu yang ditanyakan pertama adalah bagaimana kondisi keluarga saya. Berkali-kali dan selalu, malah. Setiap bertemu saya, kalimat pertama yang meluncur adalah, “Bagaimana kabar anak-istri, dik Happy?”

Memang hanya kalimat pendek. Namun, pertanyaan dan mungkin lebih tepat sebagai pernyataan itu sungguh menunjukkan betapa Mbak Eri begitu cinta dengan keluarga. Tidak hanya keluarganya sendiri, Mas Untung, Rico dan Bunga, tetapi juga keluarga adik-adiknya yang terserak dan tersebar di mana-mana!

Sungguh, sapaan Mbak Eri itu akan saya kenang terus. Hanya, sapaan hangat dan penuh kasih itu kini hanya tinggal kenangan. Sosok ibu, kakak, dan teman itu kini sudah damai di rumah Bapa di Surga. Yang saya kenang hanya tentang sosok Mbak Eri yang hangat, ramah, dan penuh perhatian terhadap keluarga!

Kini, Mbak Eri sudah damai di surga. Semoga segala bimbingan, pahala, dan budi baiknya mendapat balasan setimpal dari Sang Maha Penyayang. 

Rest in peace, Mbak Eri…..


Bogor, 3 Agustus 2012

Wednesday, August 01, 2012

Kekasih Hatiku Telah Pergi

*Sedikit kisah hari-hari terakhir orang yang kami kasihi :
Herpadmiatun (3 Juni 1956-30 Juli 2012)

Oleh : Untung Suripno  

Hari Yang Ku Kenang. Hari Kamis, 26 Juli 2012 yang lalu adalah hari sangat terkenang bagi keluargaku.

Saat itu, pukul 01.00 wib dini hari. Isteriku belum tidur, saya belum tidur. Isteriku di kamar melamun merenda angan, saya di meja makan melihat acara televisi.

Tiba – tiba ada suara nyaring dari dalam kamar. Isteri saya merasa dadanya sesak tidak lancar bernafas. Saya bergegas menghampiri. Isteriku terus merasa sakit dadanya. Saya memutuskan untuk membawa isteri pergi ke Rumah Sakir Bethesda.

Saya mengangkat isteri masuk ke mobil. Tidur di tempat duduk bagian tengah. Saya mengemudi. Mobil terpacu kencang menuju rumah sakit dan masuk di IGD Rumah Sakit Bethesda.

Isteriku ditangani dokter jaga. Dadanya sudah berkurang sakitnya. Siang hari dia sudah diijinkan pulang sambil diberi obat untuk pemulihan. Obat itu untuk penyembuhan selama lima hari dan Senin harus kontrol lagi. Setelah itu, hari–hari penyembuhan dimulai. Isteriku istirahat dirumah. Saya tidak bekerja keluar rumah. Kamis, Jum’at, Sabtu saya menemani isteri di rumah.

Di saat – saat pemulihan kesehatan, isteri saya sering duduk merenung. Tidur tidak nyenyak, makan apapun dirasa kurang enak. Sabtu malam isteri saya memanggil saya untuk menemani duduk. Dia memgang tangan saya dan dia berkata lirih … “ saya minta maaf pa. “ Saat itu saya tidak tahu apa makna kata–kata itu. Karena saya merasa bahwa isteri saya tidak punya salah dengan saya.  

Minggu Yang Tak Terlupa. Minggu itu (29 Juli 2012), pagi hari, isteri saya sudah bangun lebih awal. Dia membuat minum susu untuk saya dan Rico, anak saya. Saya bangun, seperti biasa saya menuju meja makan untuk minum pagi. Ketika saya minum di meja makan, Rico masih tidur, isteri saya di kamar mandi. Ketika keluar dari kamar mandi, isteri saya berteriak “tolong, tolong… “ dan dia jatuh di depan kamar mandi.

Saya berlari, Rico berlari menghampiri dia yang jatuh. Isteri saya lemas. Dia ingin dibawa ke rumah sakit. Saat itu kurang lebih jam 07.00 pagi. Dengan kencang mobil dipacu Rico menuju rumah sakit. Saya memijit tangan isteri saya yang merasa lemas. Isteri saya masuk IGD RS Bethesda yang kedua.

Ada tindakan penyembuhan yang dilakukan oleh dokter dan perawat. Akan disuntik obat pengurang rasa sakit tetapi tensi rendah sehingga harus dipacu agar tensi naik. Hasil telaah medis, isteri saya dinyatakan sakit jantung dan disarankan untuk dibawa ke rumah sakit Dr. Sarjito. Saat itu jam 09.00 pagi. Bunga yang masih kerja di Jakarta saya telepon segera pulang.

Setelah berkomunikasi dengan RS Sarjito dan minta bantuan dr. Rendi yang ada di RS Sarjito, maka isteri saya bisa diterima di RS Sarjito. Saya tidak melihat ambulan yang membawa isteri saya ke Sarjito.

Dia ditemani Rico dan saya harus pulang ke rumah untuk mengambil sesuatu. Saya bergegas dari rumah ke RS Sarjito. Jarak itu terasa sangat jauh…..karena saya merasa harus segera tiba di Sarjito. Disana sudah ditunggu dokter Rendi, Rico dan isteri saya yang sakit.

Di IGD RS Sarjito saya ditemui dokter Rendi. Saya diberi informasi bahwa isteri saya sakit penyumbatan saluran darah di jantung. Dia harus dioperasi untuk di pasang ring. Saya setuju. Isteri saya ditanya oleh Rico dan dia setuju. “ Aku pingin cepat sembuh dan pulang, “ katanya sambil terisak. Saat itu pukul 10.00 pagi.

Ruang operasi disiapkan, isteri saya menunggu, saya dan Rico menunggu di dekat isteri saya yang terbaring lemas, sesak nafas dan sakit di dada. Saya diberi obat untuk diminumkan ke isteri saya, segera akan saya minumkan. Saya sedang mencari air putih untuk meminumkan obat. Saat itu isteri saya mengeluh kepalanya pusing….. hanya dalam hitungan detik dan isteri saya tidak sadarkan diri.

Seluruh dokter yang ada disitu bergerak untuk menangani isteri saya. Nafasnya berhenti. Oksigen dan nafas buatan tidak mampu memacu kerja jantungnya. Isteriku harus dibantu dengan ditekan dadanya untuk membangun pernafasan ekstra. Dokter yang ada mengatakan bahwa isteri saya kritis. Saya diminta berdoa. Saya berdoa di dekat telinga isteri saya.

Saya menangis, Rico di dekat saya menangis. Inilah air mata yang jarang saya keluarkan membasahi pipi saya. Rico juga tidak pernah menangis. Kali ini saya baru melihat Rico menangis yang pertama kali. Masa koma ini berjalan hampir dua jam. Saya hanya berharap menyaksikan keajaiban untuk hidup isteri saya. Saya bisikkan ke telinga isteri saya bahwa Bunga, anak yang dicintai sedang dalam perjalanan dari Jakarta.

“Sebentar lagi Bunga datang,”kata saya. Isteri saya menghela nafas pelan dan terus berangsur–angsur nafas itu ada. Kata dokter, nadi itu berdenyut lagi. Inilah kemukjizatan pertama yang saya lihat atas hidup isteri saya. Saya menghela nafas. “Terima kasih Tuhan,“ kata saya lirih. Dalam hati saya menyatakan bahwa isteri saya telah “hidup” kembali.

Saat itu saya mulai memberi informasi ke banyak saudara bahwa isteri saya masuk rumah sakit dan akan operasi jantung.

Keluarga Untung Suripno, Reuni Trah Martowirono 2011, Polokarto, Keluarga Untung Suripno memberikan laporan tentang keluarganya, diwakili Frederico Ario Damar, ke kanan : Citra Bunga Persada, Ny. Eri Untung, Untung Suripno. Diperhatikan oleh Basnendar.

Kita semua merindukannya. Keluarga Untung Suripno sedang melakukan presentasi di tengah acara reuni Trah Martowirono di Polokarto, 2 September 2011. Diwakili oleh Frederico Ario Damar, disaksikan oleh adiknya Citra Bunga Persada, mamanya Ny. Eri Herpadmiatun Untung Suripno dan Untung Suripno. Di tempat yang sama hampir sepuluh tahun yang lalu, pada pertemuan Trah Martowirono XVI,  Sabtu, 7 Desember 2002,  sarjana geologi UGM itu secara tulus, jenaka dan terbuka mengatakan tentang  mamanya  dengan ungkapan : “Mama adalah mama yang luar biasa !”

Momen itu, hadirnya ekspresi kerukunan dan kehangatan hubungan keluarga,merupakan momen yang akan selalu dirindukan oleh seluruh warga Trah Martowirono. Reuni tahun 2011 ini ternyata menjadi perjumpaan terakhir dengan mamanya Rico dan Bunga, dan juga kekasih Bapak Untung Suripno. "Sugeng tindak, mBak Eri. Kita semua merindukan Anda." [BH].


Pukul 13.07 WIB tempat tidur isteri saya mulai didorong masuk ke ruang operasi. Pintu ruang operasi itu ditutup pelan. Saya dan Rico ada di depan pintu. Kami berdua diam sambil menahan rasa sedih. Kami malu untuk menangis lagi.

Saya mengajak berdoa Rico, Nino dan Paul. Kami berdiri berempat. Kami berdoa dan tidak mampu menahan air mata. Saat penantian itu terasa terlalu lama. Pendeta Apy Heny datang. Beliau mengajak berdoa lagi. Saat itu saya ingin terus berdoa. Karena doa ini menjadi kekuatan dan pengharapan yang bisa saya lakukan.

Pukul 14.12 wib saya dipanggil dokter untuk masuk ke ruang operasi. Untuk mendapat penjelasan tentang proses operasi yang sudah dilakukan untuk isteri saya. Saya melihat isteri saya terkulai diam. Isteri saya tidak bisa melihat saya yang sedang berharap atas kesembuhannya.

Tempat tidur dorong itu keluar dari ruang operasi. Isteri saya tetap tidak sadar. Saya ingin membawa isteri saya segera pulang. Saya berbisik di telinganya tetapi dia diam. Hanya helaan nafas yang pelan. Itu saja sudah cukup memberi harapan bagi saya dan anak – anak saya untuk menunggu dia pulang.

Tempat tidur isteri saya memasuki ruang ICCU. Saya menemui beberapa saudara yang sudah datang dengan air mata. Semua duduk diam dengan angan yang sama yaitu kesembuhan isteri saya.Bunga datang di RS Sarjito. Dia langsung menemui ibunya yang sering mengirim pesan padanya.

Air mata Bunga membasahi kaki ibunya. Air mata yang tidak pernah keluar sejak kecilnya. Bunga datang tapi ibunya tidak tahu kalau Bunga sedang membasahi kakinya dengan air mata.

Hari Terakhirnya. Hari kedua di ruang ICCU ternyata menjadi hari terakhir bagi isteri saya. Pagi hari, saya dan anak–anak saling bergantian menghampiri tempat tidur isteri saya.

Dia tidur. Matanya terpejam. Kami sering menyeka air mata yang keluar dari matanya yang terpejam. Saya dan anak–anak membicarakan tentang perkembangan kesehatan isteri saya. Kami menyimpulkan bahwa perkembangan isteri saya semakin baik.

Nafasnya mulai berangsur teratur walau masih lemah. Kami berharap ibunya anak–anak saya segera pulang. Bunga ingin mengajak ibunya untuk tetirah di Jakarta menunggui dia bekerja.

Jam berkunjung hari kedua ternyata hari terakhir isteri saya beristirahat di rumah sakit. Pukul 16.00 yang merupakan jam kunjungan di ICCU yang senantiasa kami tunggu ternyata membawa duka.

Saya dipanggil dokter untuk ketemu secara khusus. Dokter menjelaskan tentang kondisi isteri saya yang memburuk. Rico dan Bunga saya panggil untuk mendekati ibunya yang sedang melawan penyakitnya. Dokter meminta kami semua berdoa dekat dengan isteri saya.

Kami tidak siap melepas orang yang kami cintai. Inilah saat–saat yang kami benci. Kami harus melepas orang yang kami cintai dengan sakit yang menghantar perginya. Waktu menjadi beku, tidak ada kata yang dapat terucap kecuali isak dan air mata.

Kekasih hatiku pergi dengan tenang tanpa pesan yang terucap di akhir hidupnya. Isteriku telah pergi, ibuku telah pergi. Tuhan berfirman bahwa kekasihku telah pergi ke sorga.

Dia telah pergi meninggalkan orang yang dicintai. Dia belum dapat menikmati hasil jerih payahnya selama ini. Dia ingin menimang cucu-cucu yang lucu. Dia ingin menyaksikan keluarga baru bagi anak–anaknya.

Selamat jalan kekasihku.
Kita semua akan bertemu di alam kelanggengan.

Isteriku pulang kerumah disambut oleh banyak orang. Para tamu menyanyikan lagu Doa Ibu. Isteriku diam. Tetapi kami semua percaya bahwa kekasihku telah tenang di sorga. Dia akan bahagia ketika menyaksikan belahan jiwanya hidup dalam kasih Tuhan.

Saya baru sadar, ketika dia minta maaf kepada saya karena ternyata dia meninggalkan saya lebih dahulu dan dia titip anak - anaknya agar saya dampingi dalam membangun keluarga.

Banguntapan, 30 Juli 2012