Friday, June 25, 2010

Blog, Air Menetes Di Batu dan Esquire




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com


"Tak ada apa pun di dunia ini yang mampu menggantikan persistensi." Demikian kata Calvin Coolidge (1872-1933), President Amerika Serikat ke 30. Bakat, kejeniusan, dan juga pendidikan, begitu menurutnya, tidak akan mampu menggantikannya pula.

Persistensi ibarat tetesan air di permukaan batu. Tetes pertama sampai tetes yang ke seratus, mungkin tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap batu tersebut. Tetapi kita tahu apa yang akan terjadi bila tetes-tetes air itu akan terus berlanjut.

Menulis di blog di Internet adalah ibarat mengalirkan tetes-tetes air itu pula. Apabila dilakukan dengan cinta, antusias, persisten, dan fokus, hasilnya akan berbicara sendiri.

Analis politik Sukardi Rinakit sering menulis di harian Kompas dengan diakhiri kalimat "Gusti ora sare," Tuhan tidak tidur. Kira-kira maksudnya adalah, betapa keangkaramurkaan para pejabat atau birokrat yang korup, yang membuat rakyat sengsara, pasti tidak akan dibiarkan merajalela oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Di dunia Internet juga ada slogan serupa. Bunyinya : Google ora sare. Google tidak pernah tidur. Barangkali karena Google tidak punya amben :-). Maksudnya adalah, apa pun yang Anda sumbangkan di dunia maya, pasti akan tercatat di mesin pencari hasil otak-atik jenius Larry Page dan Sergei Brin itu. Secara ekstrim dapat pula dikatakan bahwa malaikat yang mencatat kebaikan dan juga keburukan tingkah laku kita di dunia maya, ya mesin pencari Google itu pula.

Tetapi Google memiliki keterbatasan. Ia tidak mampu mencatat tulisan-tulisan status atau catatan kita di akun Facebook kita. Facebook di dunia maya ibarat the walled garden, taman yang dipagari, dan hanya dapat diakses oleh teman-teman kita saja. Sementara blog, ibarat kafe informasi yang dapat didatangi oleh siapa saja di dunia ini, oleh mereka yang dapat terhubung dengan Internet.

Blog Trah Martowirono ini sudah menjadi bukti ketika warga trah kita ini bisa saling mengontak dengan warga Trah Martowirono di manca negara, walau tak ada kaitan dan semata hanya kesamaan nama, yang berada di Amerika Serikat, Belanda dan Irlandia.

Hal serupa terjadi di akhir bulan April 2010. Saya memperoleh telepon dari Syarief Hidayatullah, Junior Editor, majalah Esquire Indonesia yang berkantor di Jakarta. Rupanya ia hendak menulis sesuatu topik yang mencocoki atmosfir penyelenggaraan Piala Dunia 2010, yaitu tentang suporter sepak bola Indonesia.

Rupanya ia sudah melakukan pekerjaan rumah, dibantu Google, untuk menemukan blog saya Suporter Indonesia. Obrolan itu kemudian tertuang dalam artikel berjudul "Menghapus Noda Merah : Dua Kali Kartu Kuning Untuk Baku Hantam Antarsuporter Sepakbola" di majalahnya edisi Juni 2010 yang memajang gambar sampul komediene Amerika Serikat yang terkenal, kelahiran 18 Mei 1970, Tina Fey (foto).

Petikan kutipan yang memuat nama dan pendapat saya :

"Stigma telah tergores bahwa suporter adalah himpunan orang-orang dungu, fanatisme sempit, emosi yang mudah terbakar, agresif dan destruktif," ujar Bambang Haryanto, suporter sepakbola pencetus Hari Suporter Nasional (12 Juli) yang tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI).

Analisa Chairul tentang rentang usia pemicu perkelahian itu dibenarkan Bambang Haryanto. Mereka masih berada pada masa ingin menunjukkan mereka superior. "Berdasarkan pengalaman saya, penonton dari kelas menengah di rentang usia lebih matang cenderung lebih santun," timpal pria yang sempat menjabat sebagai Sekjen Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia (ASSI) ini.

Selain itu, masalah lain adalah budaya primodialisme atau kesukuan yang kental di Indonesia dan soal kerumunan massa. "Ada teori klasik yang menyatakan bahwa dalam sebuah kerumunan, otak menghilang, sisanya hanya tangan. Teori ini tidak hanya berlaku dalam sepakbola, tapi juga dalam dinamika kehidupan beragama sampai rapat atau sidang DPR," ujarnya disambung tawa ringan.

Bicara soal solusi, menurut Bambang Haryanto, diperlukan proses panjang untuk melakukan pendewasaan perilaku suporter secara komprehensif. "Ada kebijakan yang mendukung tujuan ini, edukasi untuk mendewasakan suporternya, ada gerakan nyata dari organisasi suporter mau pun sepakbolanya. Suporter harus diposisikan sama pentingnya dengan pemain dan wasit dalam pertandingan."


Reward is in the doing. Seusai pemuatan artikel itu, kontak saya dengan Syarief Hidayatullah, tidak terus berhenti. Malah ia kemudian ia akan memberi saya "pekerjaan" sebagai tukang memberi komentar kritis untuk terbitan majalah Esquire Indonesia pada edisi-edisi mendatang. Untuk itu saya akan memperoleh kiriman gratis majalah yang berbobot dan dicetak mewah ini. "Terima kasih Mas Syarief, untuk kehormatan dan kepercayaan yang Anda berikan ini."

Blog adalah air yang konsisten menetes ke permukaan batu. Kalau Anda mencintai subjek atau topik yang Anda tulis, Anda akan memperoleh kegembiraan ketika melakukannya. Reward is in the doing. Pahala atau berkah akan Anda peroleh ketika Anda sedang mengerjakannya. Sedang datangnya telepon tak terduga atau tiba-tiba Anda ditodong untuk menjadi nara sumber untuk sesuatu masalah, itu semua hanya bonus semata.

Dan sepanjang pengalaman saya nge-blog sejak tahun 2003 dan punya akun Facebook sejak tahun 2008, kayaknya baru blog-blog saya saja yang membuat diri saya "peye" di maat media massa. Bagaimana komentar dan pengalaman Anda ?

Wonogiri, 25/6/2010