Tuesday, September 21, 2010

Bupati Baru Wonogiri, Padmanaba dan Trah Kita


Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com


Bulan puasa usai.
Hari Lebaran pun baru saja lewat.

Selasa, 14 September 2010.
Saya kembali bisa jalan kaki pagi.

Dengan rute istimewa : menuju rumah sakit Margo Husodo. Saya sih sehat-sehat adanya. Pagi itu saya mau bezoek dik Ayu, istri Broto Happy Wondomisnowo yang sudah hari ketiga dirawat di rumah sakit di kawasan Wonokarto ini. Ia menderita dehidrasi, karena diare dan gangguan pencernaan. Mungkinkah ini tipikal gangguan kesehatan pasca-Ramadhan ?

Karena musibah itu, membuat dirinya, Basnendar dan istrinya Evi yang jadi relawan untuk menemani, absen dari Reuni Trah Martowirono XXIV/2010, Hari Minggu, 12 September 2010, di Jombor, Sukoharjo. Dalam perjalanan menuju Jombor kontingen Kajen telah membezoeknya (foto), sehingga menjadikan suasana rumah sakit itu seperti ada pemain bola terkenal yang sedang menderita cedera.

ayu broto happy,rs margo husada,trah martowirono,reuni 2010

Selasa pagi itu dik Ayu, syukurlah, sudah nampak sehat. Ia ditemani Gladys, putrinya. Keesokan hari, sudah bisa jalan-jalan di lingkungan rumah sakit tersebut (foto) dan kembali ke Kajen. Selasa pagi itu saya lalu mengobrol dengan Happy di lobi. Sambil membaca-baca Tabloid BOLA, surat kabar Solopos dan Jawapos.

Sebelumnya, dalam perjalanan, pas melintasi toko bahan bangunan Metro Jaya di Kerdukepik di mana ibu pemilik toko ini dan putrinya ("yang murah senyum dan cantik") sering berpapasan ketika jalan kaki pagi, saya mendapat SMS. Dari Solo, dari Mayor Haristanto.

Berisi kabar duka : Pemimpin Redaksi Harian Solopos, YA Sunyoto, meninggal dunia di Solo dalam usia 48 tahun. Hari itu akan dikebumikan di kampung halamannya, di Rembang.

"Saya mengenalnya beberapa tahun lalu, tahun 1970-80an, saat Mas Nyoto menjadi wartawan harian Bisnis Indonesia di Jakarta dan meliput tim Arseto ke Solo," kata Happy. Saya mengenal almarhum yang suka humor dan perokok berat itu, ketika saya masih aktif di Pasoepati. Tahun 2000-2002.

Baru-baru saja ini, ketika mengirim artikel ke Solopos juga terkadang saya tembuskan pengantarnya melalui message ke akun Facebooknya Mas Nyoto itu pula. Mungkin karena sibuk, ia belum pernah membalasnya.

"Selamat jalan, Mas Nyoto.Semoga Anda kini sejahtera disisiNya."

Money politics. Membuka-buka harian Solopos terdapat berita tentang konvoi sepeda motor anggota Satgas Anti Money Politics (SAMP) di Wonogiri. Ini lembaga atau ormas bentukan baru, mungkin kiprahnya hanya seumur jagung, bermarkas di Ngadirojo, hadir untuk menyikapi penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah Kabupaten Wonogiri, yang pencoblosannya jatuh pada hari Kamis, 16 September 2010.

Di koran itu, pimpinan satgas tersebut, Rio Hana, juga mengaku mendapatkan laporan dugaan praktek money politics di daerah Kajen, Giripurwo, Wonogiri. "Laporan hanya SMS dan tidak jelas siapa pengirimnya. Mestinya, laporan disertai bukti dan waktu kejadian," katanya pula.

Happy tertawa membaca berita itu. Saya juga.
Karena Kajen adalah kampung tempat kami tinggal.

Penyakit egosentris. Berita lain tentang Wonogiri adalah acara Andum Ketupat di komplek wisata Waduk Gajah Mungkur (13/9). Ketupat-ketupat itu dibagikan oleh bupati dan jajaran Muspida Wonogiri kepada pengunjung. Secara khusus, dalam berita itu disebut pula nama lengkap bupati Wonogiri yang dalam Pemilukada 2010 ini maju lagi sebagai calon wakil bupati, mendampingi Sumaryoto.

Nama lengkap dia yang terpajang adalah : Kanjeng Pangeran Ario Adipati Candrakusuma Sura Agul-Agul Begug Poernomosidi. Ia juga memiliki banyak nama lainnya, termasuk ketika mendalang, atau saat memimpin kelompok kesenian reog.

Nama "Sura Agul-Agul" itu juga terpasang di baliho besar yang melintang di tengah jalan kota Wonogiri. Dekat perlimaan Wonokarto. Saya senyum-senyum membacanya. Menurut saya tagline itu terlalu egosentris, narsis, mementingkan diri sendiri. Karena apa sih manfaat yang dijanjikan oleh semboyan bersangkutan bagi warga Wonogiri ?

Sikap narsis merupakan jebakan yang seringkali sulit dideteksi, dirasakan atau dirumongso oleh si penderitanya sendiri. Terlebih lagi bagi penguasa. Karena semakin berkuasa seseorang, apalagi tiadanya kontrol dan kritik, cenderung membuat dirinya merasa sebagai "pusat dunia."

Wonogiri yang masih kental berbalut budaya Jawa yang ketat menjaga harmoni, berusaha menghindari konflik diametral dan kuatnya sikap wegah rame, justru seringkali menjadi ladang subur bagi hadirnya penguasa-penguasa yang egosentris, cunning dan manipulatif.

Apakah Begug Poernomosidi yang mampu terpilih selama dua periode itu, lalu ikut lagi (!) dengan "turun derajat" mengincar kursi wakil bupati, juga mengidap narsistis pula ? Rakyat Wonogiri yang akan memberi jawaban di pemilukada nanti.

Sayang, baliho dengan slogan "Sura Agul-Agul" di Wonokarto itu saya tidak sempat memotretnya. Saya kehilangan dokumen visual bersejarah, karena pada hari itu pula papan peraga kampanye mulai dibersihkan. Saya hanya memotret baliho kampanye Sumaryoto-Begug Poernomosidi di Kerdukepik (foto) yang lagi dalam proses diturunkan oleh petugas.

pemilukada wonogiri 2010,sumaryoto,begug poernomisidi,danar rahmanto,bambang haryanto,wonogiri

Loyo di Internet.
Nampak poster besar pasangan Sumaryoto-Begug Poernomosidi di Kerdukepik sedang diturunkan. Kampanye pemilukada di Wonogiri belum intensif menggarap media-media maya di Internet. Sumaryoto memiliki blog di Kompasiana dan Danar Rahmanto memiliki blog dan akun Facebook, tetapi digarap seadanya.Walau demikian, komunikasi antarwarga Wonogiri secara gethok tular seputar kondite dan ulah kontroversi dari pasangan peserta pemilukada ternyata diam-diam masih ampuh berfungsi, sehingga hasil pemilukada Wonogiri ini bisa disebut mengejutkan.

Sibuk jualan citra. Papan peraga kampanye milik pasangan nomor satu ini, yang didukung oleh Koalisi Merah Putih, yaitu PDIP-PKS, memang nampak paling dominan. Strategi pencitraan mereka juga jauh lebih masif.

Misalnya Sumaryoto telah meluncurkan kampanye "Aku Cinta Wonogiri" (Basnendar ikut lomba logonya, tetapi tersingkir oleh logo "jelek" yang menjadi pemenangnya) dan berkali-kali mengadakan acara jalan kaki santai yang bertabur hadiah. Radio Gajahmungkur miliknya, sepertinya nampak dikorbankan value-nya sebagai media. Karena terlalu bertabur dengan pesan-pesan kampanye dirinya yang kadang membuat pendengar mudah menjadi jenuh.

Sumaryoto juga secara tiban menjadi khatib sholat Jumat di Masjid Agung At-Taqwa, yang memicu kontroversi. Tetapi hebatnya politikus kawakan ini, di koran Jawapos kontroversi itu justru diekspos yang dapat ditafsirkan sebagai "memperlebar" dan "memperkuat" kampanye pencitraan oleh anggota DPR-RI kelahiran Nguntoronadi ini. Menjelang hari pencoblosan, koran yang sama nampak juga mem-blow-up gerakan "Aku Cinta Wonogiri" yang ia gagas itu.

Beragam jurus kampanye pasangan Sumaryoto-Begug itu seolah membuat pemilukada Wonogiri sudah berakhir ketika mereka mencalonkan diri. Piece of cake. Atau, suwe mijet wohe ranti. Kemenangan akan mudah mereka raih.

Tetapi teman ngobrol saya, Bambang Susilo, yang mantan chef hotel internasional di Hanoi, Vietnam, punya pendapat lain. "Begug justru kartu mati untuk koalisi yang mencalonkannya," begitu prediksinya.

Saya tidak begitu mempercayainya. Karena culture of fear, budaya ketakutan, yang (mungkin secara tidak sengaja ?) meruyak selama politisi kawakan itu berkuasa, menurut saya, akan hanya membuat warga Wonogiri seperti kerbau dicocok hidung. Untuk aman mereka cenderung untuk patuh, takjim, kemudian mengikuti apa saja yang dikatakan oleh sang penguasa itu.


Saya keliru. Hari Kamis, 16 September 2010. Rombongan Happy, dik Ayu, Gladys, dengan mobil yang disopiri Mas Yudi asal Ngadirojo, malam itu mengabarkan dirinya sudah sampai di Tegal. Keluarga ini menuju rumah mereka, di Bogor.

Happy menyatakan ikut bergembira mendengar berita bahwa pasangan nomor empat, Danar Rahmanto (foto)-Yuli Handoko, sudah jauh unggul dibanding tiga pasangan lainnya.

Kamis sore itu, memakai laptop Compaq milik keponakan saya, Yudhistira Laksmana Satria yang siswa klas 7A SMP Negeri 1 Wonogiri, kami segera mengakses Internet melalui fasilitas hotspot yang terpasang di rumah. Membuka Suara Merdeka CyberNews, tersaji berita yang berjudul Pasangan Nomor Empat Makin Jauh Memimpin. Di kamar lain, dari netbooknya Yasika, pas terdengar lagu "Crawling" dari Linkin' Park yang seolah menyindir pasangan kuat yang keteter perolehan suaranya saat itu.

"Crawling in my skin, these wounds they will not heal,
Fear is how I fall, confusing what is real"

Karena berita itu membeberkan hasil sementara perolehan suara sampai pukul 16.30 WIB, di mana bertengger di posisi pertama adalah pasangan nomor empat H Danar Rahmanto-Yuli Handoko, dengan mendulang suara 92.798 atau 40,49%. Di posisi kedua pasangan nomor urut satu Sumaryoto-Begug Poernomosidi dengan perolehan suara 65.547 atau 28,53%.

Pada posisi selanjutnya pasangan nomor urut dua Sutadi-Paryanti mampu mengumpulkan 39.943 suara atau 17,38%. Menduduki posisi buncit adalah pasangan nomor urut tiga Mulyadi-Eddy Purwanto, meraup suara 31.446 suara. Total suara yang sudah dihitung berjumlah 229.734 suara atau sudah mencapai 38,99%.

Sore itu lalu terjadi komunikasi SMS bolak-balik saya dengan Nano Maryono, tangan kanan dan kerabat Danar Rahmanto di PO Timbul Jaya. Juga dengan istrinya Nano, Nuning. Inti kabarnya sama : "Mas Danar, menang !"

"Wah, guyonan Mas Danar dulu rupanya kesampaian," gumam saya. Pada tanggal 7 Juli 2010, ketika diadakan pengundian nomor urut peserta pemilukada di KPUD Kabupaten Wonogiri, saya ikut menjadi saksi. Sebagai blogger, saya juga memotret sana-sini.

Saat itu alumnus SMA Negeri 3 Padmanaba Yogyakarta diberondong pertanyaan wartawan terkait nomor empat yang menjadi nomor urutnya. "Nomor itu, nomor bagus," kata Danar Rahmanto. "Angka empat kalau dibalik kan menjadi kursi ? Saya yakin akan menang dan mendudukinya."

Rakyat Wonogiri telah ikut berjasa membalik angka empat itu. "Kemenangan saya adalah kemenangan rakyat Wonogiri pula," katanya dalam menyikapi perolehan suara yang mengungguli tiga pasangan lainnya.

Alumnus Padmanaba. Sore itu saya kemudian mengirim SMS ke sobat saya, Bambang Susilo yang pemilik kafe Ngaso Angkringan di Pokoh. Saya mengaku salah, sementara dirinya yang benar. Prediksi saya bahwa Sumaryoto-Begug yang akan jadi pemenang, ternyata dimentahkan oleh ratusan ribu warga Wonogiri.

Warga Kota Gaplek ini secara sadar dan menurut saya cerdas sekaligus titen, ternyata lebih memilih untuk menolak peluang keduanya sebagai pemimpin dan penguasa di kabupaten tercintanya ini. Kegagalan keduanya, boleh jadi, dapat diibaratkan sebagai kejatuhan sang raja. Jatuh secara sangat keras dan menyakitkan. Semoga keduanya, juga pasangan lain yang kalah, menerima suara rakyat itu dengan kearifan dan bersikap kenegarawanan.

Saya segera mendapatkan buktinya. Saya sempat berkirim SMS ke calon bupati pasangan nomor dua, H. Sutadi. "Dengan hormat. Walau Pak Tadi belum menang & akan kembali bertugas di Banten, saya sebagai Warga Wonogiri masih berharap Bapak akan terus berkomitmen memajukan Wonogiri. Salam." Saya kemudian memperoleh balasan : "Iya saya akan selalu komit tumpah darahku." (Jumat, 17/9/2010 ; 18.04.26).

Di akun Facebook Warga Trah Martowirono saya menulis catatan : "Selamat untuk warga Trah Martowirono yang alumnus SMA Negeri 3 Padmanaba Yogyakarta. Antara lain (kl ga salah) : Rico, Dandoenk Bharata (sebelumnya saya tulis Yoshua), Bunga, Hanum dan Peter. Dan juga Intan yang kini sedang belajar disana.

Ada kabar gembira khusus untuk Anda. Karena salah satu alumnus SMA kebanggaan Anda tersebut, Bapak Danar Rahmanto, pengusaha bis PO Timbul Jaya dari Ngadirojo, kini terpilih sebagai Bupati Wonogiri periode 2010-2015.

Moga-moga Anda punya waktu untuk dapat mengirim message, berupa ucapan kepada beliau di akun Facebooknya. Search saja 'danar rahmanto,' pasti ketemu. Oh ya, warga Trah Martowirono yang berkerabat paling dekat dengan Pak Bupati baru itu adalah Bapak Nano Maryono, suami dari Ibu Nuning. Yoga dan Yudha, menyebut Pak Danar itu sebagai pakde. Gendis dan Raja, menyebut beliau sebagai eyang Bupati."


Harapan baru. Dengan terpilihnya pasangan Danar Rahmanto-Yuli Handoko sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Wonogiri 2010-2015, apakah otomatis menjanjikan kemajuan, keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan, bagi warga Wonogiri ? Melalui Facebook saya telah mengirimkan pesan ke akun Facebook Mas Danar sebagai berikut :

"Dengan hormat. Saya dan keluarga di Kajen, mengucapkan selamat bekerja dan berprestasi untuk Mas Danar Rahmanto, juga pasangan wakil bupati terpilih Yuli Handoko.

Semoga panjenengan berdua mampu membawa kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi Warga Wonogiri di masa-masa mendatang !"


Wonogiri, 21 September 2010

tmw

Monday, September 20, 2010

Pertemuan Keluarga Besar Trah Martowirono 2010




Oleh : Retno Winarni


Campione Campione ha …ha…ha…ha…ha…ha…ha…

Betapa besar karunia-Nya yang telah dlimpahkan kepada “Keluarga Besar Eyang Martowirono”.

Cucu-cucu serta buyut Eyang Martowirono berpendidikan, memiliki kreativitas yang tinggi, cerdas, rukun, saling menghargai saling mengasihi, dan hampir semua humoris.

Minggu, 12 September 2010 pertemuan berlangsung sangat meriah di rumah Mbak Mul, Sukoharjo. Keluarga TALER 4 datang terlambat, karena istri Mas Heppy sakit. Sebelum keluarga Taler 4 datang, suasana pertemuan sudah meriah dihibur dalang cilik “Ki Banu Santosa”.

Pakde Untung dan Om Santosa (ayah Ki Banu), keduanya mendampingi Ki Banu sambil melontarkan kata-kata yang lucu menambah kemeriahan.

Kemeriahan dan keakraban semakin bertambah meriah, ketika keluarga besar TALER 4 hadir dibawah pimpinan Mas Bambang.

Pertemuan diisi oleh Mas Barry dan Mas Mayor denan beberapa kuis yang menghebohkan suasana. Pertemuan penuh canda tawa dan bermakna.

Setiap kali datang Mas Heppy menyediakan hadiah berupa kaos, jaket, dan topi bola.

Mas Mayor membawa koper besar berisi mainan anak-anak dan uang dua ribuan yang dibagikan kepada anak-anak kecil. Ada dua lembar uang ratusan ribu rupiah yang dimasukkan ke saku celananya sendiri.

Wah… suasana semakin bertambah-tambah meriah, gila-gilaan yang bukan gila beneran. Saya sampai tak kuasa menuangkan perasaan hard an bahagia di sini.

Mbak Mul menyediakan makanan higinis dan segar dengan lauk lelegoreng, ayam Kentucky, urap, oseng daun papaya, karak, dan es cincau yang bener-bener menyegarkan, serta sup ayam kampung yang lezat

Masih ada makanan tradisional seperti tape ketan putih, pisang kapok kuning rebus, dan kue mata sapi yang dalamnya enten-enten.

Terus terang kami sekeluarga sangat merindukan datangnya pertemuan”Keluarga Besar Eyang Martowirino”.

Acara inti dalam setiap pertemuan diisi kabar keluarga setiap TALER. (1,2,3, dan 4). Hal ini yang sangat mengagumkan. Jarang saya temui pertemuan keluarga seperti “Keluarga Besar Eyang Martowirono”. Bahkan baru saya temukan dalam “Keluarga Besar tersebut.

Saya datang + pukul 10.30 dan tidak pernah merasa buru-buru ingin cepat pulang , karena suasana yang benar-benar luar biasa akrabnya, lucunya, hebohnya, dan gila-gilaan tetapi bukan gila beneran!! Penuh kreativitas dan canda ria dalam setiap pertemuan tahunan ini.

Pertemuan berakhir pada + pukul 14.30. Mudah-mudah kami sekeluarga dapat datang pada pertemuan ke -25 dan seterusnya. Rencananya tempat pertemuan pada keluarga besar TALER 3.

Campione… Campione…ha…ha…ha….ha…ha..ha…ha…

Sunday, September 12, 2010

Campeone, Sepakbola dan Reuni Trah Martowirono 2010




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com

Wednesday, September 08, 2010

Reuni 2010 : Fiesta Trah Kita Di Jombor Meazza




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com


Soccer riots kill at most tens.
Intellectuals' ideological riots sometimes kill millions.
- John McCarthy


Rumus di atas tidak berlaku bagi Trah Martowirono. Kerusuhan sepakbola yang akan diledakkan oleh keluarga besar Trah Martowirono ini, Minggu, 12 September 2010, adalah pesta untuk melepas kerinduan sesama kerabat dan saudara. Hanya kebahagiaan yang bakal tertumpah dari sana !

Ah, waktu memang begitu cepat berlalu. Masih belum terhapus dalam kenangan kita, suasana Reuni Trah Martowirono XIII yang berlangsung 23 September 2009 yang lalu. Saat itu warga trah yang berakar dari Kedunggudel, Kenep, Sukoharjo itu, dari pelbagai penjuru, selama 6 jam telah melakukan serangan oemoem ke jantungnya Yogya.

Sasaran akhir : Benteng Vredeburg Yogyakarta. Enam Djam di Djogdja. Kalau saja serangan itu berlangsung selama 7 jam, maka seluruh warga trah kita itu tak bisa pulang. Karena pintu gerbang benteng sudah digembok oleh petugas.

Momen historis ini, ketika diceritakan di blog ini, antara lain telah mendapatkan komentar menarik. Seorang teman, wartawan koran Jakarta, menaksir acara reuni trah kita itu dihadiri oleh ribuan warga. “Kok bisa pakai tempat itu, apa punya koneksi dengan para jenderal ?,” begitu selidiknya.

“Tentu,” jawab saya. Lalu saya jelaskan bahwa di Trah Martowirono antara lain terdapat “Jenderal” Wiranto, berdomisili di Selogiri. Mantan marinir. Ada “Jenderal Polisi” Bambang Haryanto Danuri, tinggal di Wonogiri. Ada pula Mayor Haristanto, markasnya di Kadipiro, Solo ; dan jangan lupa, ada pula “Letnan Kolonel” Untung yang memiliki pasukan di Banguntapan, Bantul !

Pesta keluarga dengan dress code masa lalu itu, utamanya bernuansakan era perjuangan 1945, kini di tahun 2010 berubah temanya. Masih menyisakan riuhnya bunyi terompet vuvuzuela di perhelatan Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, kini suasana serupa akan dipindah ke Sukoharjo.

trah martowirono forever,reuni 210,jombor,sukoharjo,mulyono,titis,restu

Meneguhkan janji trah kita ! Taler ke-2 Trah Martowirono, anak-cucu Bapak Sutono, yaitu keluarga Bapak Mulyono/Titis (dalam foto di atas bersama putrinya yang cantik, Dinar) dan Priyanto Wisnu Nugroho, dengan tim kreatif yang dikomandani oleh Maretna Restu telah menetapkan tema pesta sepakbola untuk Reuni Trah Martowirono XXIV Tahun 2010 ini. Rumah beliau yang tinggal di Jombor itu, segera akan berubah menjadi : Stadion Jombor Meazza !

Kira-kira macam kehebohan apa yang bakal terjadi ?
Simak dan bayangkan dengan memelototi foto yang tersaji di halaman ini. Intinya adalah berisikan pesan, semoga saja di reuni trah kita yang genap tiga windu ini nantinya mampu memberi manfaat bagi semua warga trah, dan juga bagi sesama. Memayu hayuning buwono.

Dengan demikian, semua krida yang dilakukan oleh keturunan Trah Martowirono ini akan membuat para orang tua kita, juga eyang dan eyang buyut kita, yang telah mendahului kita itu, selalu bisa berbahagia di sisi Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Untuk kemaslahatan bersama, inilah janji dan tekad kita bersama :

Trah Martowirono Forever !
Trah Martowirono Never Die !


Wonogiri, 9/9/2010

trahmw

Tuesday, September 07, 2010

Reuni Balung Pisah Yang Betul-Betul Terpisah




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com


Pemakaman Kedunggudel, 21 September 2009. Makam adalah tempat reuni yang mungkin terasa aneh. Tetapi makam sebenarnya juga mampu memberikan wawasan yang mendalam dan hakiki mengenai makna kehidupan.

Bukankah orang Jawa punya ucapan terkenal tentang sangkan paraning dumadi, wacana tentang asal-usul manusia hingga sesudah akhir perjalanan hidupnya selama di dunia ? Makam merupakan tempat terbaik untuk perenungan itu. Tetapi makam juga sekaligus tempat terbaik untuk melakukan pengingkaran kita tentang akhir kehidupan yang menakutkan rata-rata orang itu.

Boleh jadi, pergulatan di atas itu menunjukkan keunikan kita sebagai manusia.Seperti halnya ucapan bahwa banyak orang merindukan surga, tetapi kalau bisa momen itu tidak usaha datang terlalu segera. Bahkan sutradara, penulis dan aktor Woody Allen punya pendapat sendiri tentang kematian. Rada-rada jenaka.

Katanya : “It's not that I'm afraid to die. I just don't want to be there when it happens”. Bukan karena saya takut mati. Saya hanya ingin tidak berada di tempat itu ketika kematian itu tiba.

Setahun lalu, saat nyekar di makam Kedunggudel ini, ucapan Allen yang jenaka itu belum berkelebat di benak. Tetapi pengalaman yang rada-rada lucu, toh terjadi saat itu pula. Saat itu saya bersama Bari Hendriatmo, seusai mendoakan arwah mBah Dung Kakung Martowirono (wafat 11 Desember 1972) dan mBah Dung Putri, Jiah Martowirono (data di batu makam wafat tanggal16, bulan tak jelas, dan tahun 1996) dan Bapak Sutono (31 Mei 1931-15 September 2002).

Kemudian saya menyapa keluarga yang usai nyekar di bangunan sebelah timur makam mBah Dung Putri itu. Makam mBah Dung Kakung berada di depan bangunan yang terkunci itu. Dulu, ketika mBah Dung masih sugeng, kunci itu dititipkan di rumah beliau.

makam kedunggudel,sukiyanto,trah martowirono,banyu anyar solo,21 september 2009


Teori Big Bang. Keluarga itu terdiri bapak, ibu dan dua putri remajanya. Keluarga Bapak Sukiyanto (foto), asal Banyuanyar, Solo. Merasa kita telah nyekar di makam yang sama, kita pun mudah tergoda untuk berasumsi bahwa di antara kita pasti ada kaitan kekerabatan.

Obrolan yang kemudian terjadi antara kita segera mengingatkan saya akan Teori Dentuman Besar, Big Bang Theory, yang menjelaskan asal-usul terjadinya semesta ini. Yaitu ketika gumpalan gas raksasa meledak, lalu terciptalah milyaran beragam planet serta benda-benda angkasa lainnya. Benda-benda itu masing-masing lalu punya garis edar perjalanannya sendiri-sendiri. Kadang ada yang saling mendekat, bertabrakan, atau kemudian saling menjauh lagi.

Karena keterbatasan rujukan, obrolan kami berempat itu (putrinya hanya ikut senyum-senyum) banyak yang tidak nyambung. Saya tidak tahu, Mas Sukiyanto itu berasal dari keluarga mana di Kedunggudel ini. Tetapi ketika ia menyebut sesuatu nama, garis edar planet kita sepertinya mendekat. Misalnya ia menyebut nama “Pakde Warsono, Panularan, Solo.” Radar saya segera nyambung.

Saya ingat di album foto keluarga, ibu saya Sukarni pernah menunjukkan foto “Pakde Warsono” itu. Bekerjanya di Kantorpos Solo. Salah satu putranya, bernama Mas Joko. Boleh jadi, moga saya tak salah ingat, bapak saya (Kastanto Hendrowiharso) saat itu bertugas di Solo, lalu ibu melahirkan anak pertamanya di Rumah Sakit Tentara DKT Gendengan. Rumah sakit ini dari kampung Panularan, tidak jauh jaraknya. Anak yang lahir itu, adalah saya sendiri.

Ketika kami (saya and Bari) menyebut nama “Sukarni” dan “Wonogiri,” Mas Sukiyanto segera menyahut bahwa rumah kami ada “di timur Pasar Wonogiri.” Saya tidak tahu, apa maksudnya di “timur” itu. Jawaban ini sekaligus benar, juga bisa salah. Selebihnya, seingat saya, hanya menunjukkan bahwa garis edar planet kita segera saling menjauh lagi.

Tetapi yang pasti, saya telah memberikan kartu nama saya. Lalu Mas Sukiyanto, memberikan nomor HP-nya. Walau mungkin kita saling merasa heran, obrolan itu toh menyenangkan. Minimal, kita telah ketemu waris yang sama-sama memiliki akar leluhur di Kedunggudel ini pula.

Semoga kita bisa ketemuan lagi. Dengan cara itu mungkin hubungan antara kita itu, walau selama ini benar-benar sebagai balung yang terpisah, dengan aksi jlentreh sana dan jlentreh sini, termasuk melalui tulisan di Internet ini, siapa tahu akhirnya akan muncul hal yang benar, jelas dan indah yang mampu mengaitkan kita-kita ini.

Salam sejahtera dari Trah Martowirono untuk Mas Sukiyanto dan keluarga !


Wonogiri, 6 September 2010

Sunday, September 05, 2010

Asah Pena, Menu Berbeda, Merenggut Juara




Oleh : Broto Happy W.
Email : brotohappy (at) yahoo.com


Pengantar : “Ada kabar bahagia.
Dalam pekan di bulan Ramadhan ini saya mendapat berkah dan anugerahnya.”

Itulah email pembuka terkirim dari Jakarta. Pengirimnya adalah Broto Happy Wondomisnowo, 3 September 2010 yang lalu. Apa kabar bahagia yang ia maksud ? “Saya dua kali dinobatkan sebagai juara penulisan. Yang pertama juara penulisan untuk Djarum Indonesia Open Super Series 2010. Yang kedua, juga jadi juara pada Djarum Sirkuit Bulutangkis Nasional 2010.”

Syukurlah. Warga Trah Martowirono tentu bergembira menyambut kabar hebat ini. Maka di bawah ini pantas kita menyimak cerita dia lebih detil. Siapa tahu bisa menjadi inspirasi bagi kita semua, untuk meningkatkan kualitas tulisan-tulisan kita.

Baik untuk mewarnai tulisan kita di Facebook (Kompas 7/9/2010 menulis “terlalu banyak sampah di media-media sosial saat ini”), saat mengisi blog-blog kita, atau pun untuk menyempurnakan keterampilan mengekspresikan gagasan dalam bentuk tulisan, untuk pelbagai kebutuhan dalam kehidupan. Karena, harus diakui, untuk keterampilan satu ini bangsa kita rata-rata termasuk rendah penguasaannya (Bambang Haryanto).


Yang namanya wartawan, tugas utamanya adalah melaporkan sebuah peristiwa dengan detail yang komplet. Cerita yang hendak dilaporkan dibuat berwarna. Suguhan berbagai fakta pun harus menggoda. Selain itu, informasi yang ingin disampaikan harus berbeda.

Harum maklum, sebagai wartawan Tabloid BOLA yang terbitnya seminggu tiga kali, kalau saya menulis laporan biasa-biasa saja, tentu aktualitasnya kalah dengan harian. Bila hanya melaporkan yang lurus-lurus saja, bakal ditinggalkan pembaca.

Maka, salah satu rumus menulis di tabloid yang terbit tidak saban hari, seperti Tabloid BOLA, harus ada sesuatu yang mengejutkan. Fakta yang didapat boleh sama dengan media lain, tetapi cara meramu untuk disajikan kepada pembaca, tentu berbeda. Paling tidak, harus ada nilai tambahnya.

Selain itu, laporan yang disusun harus komplet. Semua fakta yang ada, perlu disajikan kepada pembaca. Dengan demikian, laporan yang dibuat harus selalu komprehensif, aktual, dan mendalam.

Memang, pada awalnya, setiap saya membuat berita semata-mata demi memberikan informasi kepada masyarakat. Ini sesuai dengan fungsi ideal pers, yaitu memberikan pendidikan kepada pembacanya. Jadi bukan karena untuk menang dalam sebuah lomba, apalagi hanya untuk dipuji.

Rupanya rumus-rumus andal dalam membuat reportase ini ternyata termasuk ampuh, ketika karya saya diikutikansertakan dalam sebuah lomba jurnalistik. Tulisan yang berbobot, mendalam, komplet, dan berwarna, telah menarik hati para juri. Terbukti, ketika karya jurnalistik saya berupa reportase yang dimuat di Tabloid BOLA, mendapat anugerah sebagai yang terbaik.

Dua lomba. Syukurlah, dengan hanya berselang seminggu, saya bisa memenangi dua lomba jurnalistik sekaligus. Lomba pertama yang saya menangi adalah, Lomba Karya Jurnalistik Djarum Indonesia Open Super Series 2010. Saya dinobatkan sebagai salah satu dari 10 karya terbaik. Ajang ini sendiri sudah berlangsung di Istora, Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 11-17 Juni 2010
.
Saya pun tak hanya melaporkan hasil-hasil pertandingan turnamen yang pada hajatan kali ini justru gagal dimenangi pebulutangkis tuan rumah. Soal kalah-menang memang penting, tetapi yang tidak kalah penting adalah pernak-pernik yang melingkupi sebuah peristiwa. Saya pun pun menulis suasana Istora yang disulap layaknya Fans Zone di kancah Liga Champions atau Piala Dunia.

Tak hanya itu. Cerita-cerita kesuksesan dan kehebatan turnamen yang untuk kali kedua mulai mempopulerkan karcis layaknya kartu kredit, saya ungkap. Ini merupakan langkah revolusioner. Karcis berupa lembaran kertas, sudah harus ditinggalkan. Uniknya, soal karcis plastik ini malah tidak ada media lain yang mengulas.

Agkat pahlawan lokal. Lalu, kemenangan kedua yang menghampiri saya adalah, Lomba Karya Jurnalistik Djarum Sirkuit Bulutangkis Nasional 2010. Untuk lomba ini, saya dinobatkan sebagai salah satu pemenang dari tiga pemenang terbaik. Kejuaraan ini berlangsung sebanyak 12 seri yang digelar 12 kota besar di Tanah Air, mulai dari Medan, sampai Manado. Dari Tegal hingga Samarinda.

Khusus untuk reportase kejuaraan nasional ini, setiap membuat laporan di Tabloid BOLA, unsur kedekatan dengan daerah di mana kejuaraan ini digelar, selalu saya tampilkan. Para pemain yang kemudian menjadi pahlawan lokal berkat kemenangannya, selalu saya angkat. Pokoknya, daya tarik di daerah tersebut saya angkat. Ini demi memasalkan bulutangkis dan menggairahkan olahraga tepok bulu di daerah.

Lalu, apa hadiah yang didapat dari dua kemenangan ini? Saya mendapat duit Rp 7,5 juta dan sebuah laptop. Syukur Alhamdulillah, memang. Apalagi, sejak awal membuat reportase pun saya semata-mata tidak mengharapkan sebuah pujian. Kalau karya saya dibaca dan kemudian ada dampak bagi kemajuan prestasi bulutangkis Indonesia yang terpuruk belakangan ini pun, saya sudah bangga dan senang.

Oh ya, kalau boleh sedikit menyombongkan diri, sebenarnya urusan menang lomba karya jurnalistik ini, bukan hanya kali ini saja. Dulu-dulu, saya pun termasuk sering jadi langganan lomba reportase.

Namun, kalau akhirnya karya saya dinobatkan sebagai salah satu pemenang, akhirnya ya Alhamadullilah. Paling tidak, saya pun bisa sedikit membanggakan dan mengharumkan nama Trah Martowirono. Ternyata, di mana dan kapan saja, kita bisa berkarya.

Viva Trah Martowirono!


Bogor-Jakarta, 5 September 2010