Sunday, October 25, 2009

Seboeah Perdjoeangan, Kreativitas dan RI Kita




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at)hotmail.com


Bom di Vredeburg. “Demi menjaga kehormatan Bapak Proklamator, sejuta laskar Blitar siap serbu Kaliurang !” [Blitar Herald Tribune, 24/9/2009].

“Bung Doyo [dalam foto berkacamata hitam] dan keluarga harus dibuang ke Digul !” [Nationalism Inquirer, 24/9/2009].

“Demi menjunjung kebebasan berekspresi, keluarga Bung Doyo berpeluang dinominasikan sebagai peraih Nobel Perdamaian 2010.” [Stockholm Express Daily, 25/9/2009].

Situs YahoaxNews.com (1/10/2009) muncul berita lebih mendetil : “Pemerintah RI didesak kalangan nasionalis ultra kanan yang menganut garis keras agar Paguyuban Trah Martowirono dibekukan.

Tetapi tuntutan ini ternyata membuahkan backlash, serangan balik dari manca negara. Dari kalangan yang mendukung kebebasan berekspresi dan pentingnya memacu kreativitas sebagai senjata survival bagi generasi masa depan.

Untuk itu, kalangan young scientists dari perusahaan raksasa elektronik Samsung dan LG dari Korea, Sharp dan Sanyo dari Jepang, Maytags dan General Electric dari AS justru terpacu membantu warga trah itu. Mereka kini berkompetisi mendisain lemari es raksasa yang khusus agar nyaman dihuni tiap-tiap anggota Trah Martowirono yang terancam “dibekukan” itu. Ada yang desainnya seperti rumah tahan gempa yang berdiri di Sleman, yang dikenal sebagai rumah Teletubies.

“Rumah hiper-modern itu juga ada sentuhan fantasi anak kecil. Karena dilengkapi baling-baling bambunya Dora Emon,” tutur Isokuiki Mugimurakabi, chief scientists dari Sanyo Corporation, Tokyo, Jepang. “Rumah itu juga didesain dengan teknologi dalam film Transformers. Ia bisa diubah sekehendak pemiliknya. Juga dapat terbang, berlayar atau berjalan, bahkan bisa menggendong penghuninya, ke mana-mana,” tuturnya sambil tersenyum.

Perusahaan lain, ikut mendukung. Raksasa produsen telepon genggam pintar Research In Motion (RIM) di Kanada telah mengeluarkan telepon Blackberry terbaru. Dengan sebutan seri Giant Trah Marto 2010 Smart Device. ™ Perangkat seberat 250 kilogram ini dilengkapi tombol khusus berhuruf TM. Gadget super itu juga dilengkapi dengan gerobak listrik beroda 20 untuk mudah membawanya ke mana-mana.

Sekali pencet, dengan mengentakkan kaki yang berlumur bletok atau embel, lumpur asli dari tanah Kedunggudel saat era banjir jaman dulu, di layar akan muncul gambar berisi aktivitas terbaru dari masing-masing warga Trah Martowirono, di mana pun mereka di dunia. Peranti lunak Google Latitude sudah menyatu di dalamnya.

Bukan bletok biasa. Dibeberkan dalam Wikipedia pada lema Trah Martowirono [seri 1.0., yang beredar dengan akses terbatas], wacana tentang bletok atau embel asli Kedunggudel itu sarat dengan nilai-nilai filosofi. Adalah mBah Dung, Martowirono putri, pernah menasehati cucu-cucunya saat berjalan di tanah licin dan berlumpur setelah banjir surut.

“Cengkeramkan kuat jari-jari kakimu ke tanah. Sehingga jalanmu tidak mudah terpeleset atau terjatuh,” tutur beliau.

Anjuran ini dapat diwedar dengan beragam tafsiran. Beliau mungkin ingin mengajarkan nilai-nilai luhur kehidupan, bahwa para anak, cucu dan keturunannya harus memiliki fondasi yang kuat dalam hidup. Sehingga jalannya tidak terpeleset, atau terjatuh. Fondasi itu bisa beragam. Bisa jadi fondasi itu berupa nilai-nilai reliji, keluhuran, kebaikan, memberi manfaat bagi orang lain, cita-cita, impian, sampai ilmu pengetahuan.

Stephen Harper dari RIM dalam blog perusahaannya menulis : “Tanpa kaki Anda bersalut bletok atau embel asli asal Kedunggudel, sistem tak mau bekerja. Karena ramuan kimiawi dari bletok Kedunggudel tersebut, dipadu dengan unikum dari gene masing-masing keturunannya, itu yang membuat Trah Martowirono ini kompak selama ini. Itu seperti DNA dan hal itu sangat sulit dipalsukan !”

“Uniknya lagi, walau berasal dari satu akar, keturunan Trah Martowirono kini beragam. Baik dalam agama, kepercayaan, profesi, cita-cita, sampai bakat. Meminjam kata-kata “life is plurality” dari Octavio Paz (1914-1998), diplomat, penulis dan penyair asal Meksiko, dan “death is uniformity,” maka keturunan trah ini ikut andil “membuat dunia ini berputar : karena terjadinya saling memengaruhi antara pelbagai perbedaan, yaitu daya tarik dan juga daya tolaknya.”

Kita kembali ke gadget tadi. Bahkan tulis Harper dengan berderet emoticon :-), bahwa pada saat-saat hari tertentu, seperti Jumat Kliwon, dari peranti keras canggih itu dapat diprogram untuk mengeluarkan hidangan. Ada daftar menu yang bisa dipencet.

Bisa berupa jenang “joko lelur” produksi Priyanto Wisnu Nugroho, opak gambir, emping melinjo produksi Lik Yatno, sampai karak ketan dengan resep asli mBah Darmowantoro (adik Martowirono kakung).

“Dengan menginstal peranti lunak baru, Wijil Hill 3.0., layar telepon ini dapat menyajikan beragam konfigurasi desain gunungan yang unsurnya terdiri dari pelbagai makanan khas Kedunggudel itu. Mungkin Bapak Untung Suripno, Frederico Ario Damar dan Cipta Gatra dari Banguntapan dapat mengaplikasikan desain ini untuk memperoleh MURI-nya yang kedua,” sambung Stephen Harper dengan tersenyum.

Seperti di Cannes. Berita bagus juga muncul dari markas Besar PBB di New York. Dalam siaran pers (25/9/2009) menyatakan bahwa Sekjen PBB, Ban Ki Moon, siap terbang ke Kaliurang untuk menengahi persoalan di atas yang dipicu sebuah film pendek berjudul Seboeah Perdjoeangan, yang kontroversial.


PS : Trio sineas ABC [Aning, Bakoh, Chandra] yang mengkreasi film tadi ternyata tidak selalu mudah dihubungi untuk tulisan ini. Terakhir, pada baris akhir pesannya selalu tertulis data “1601 S. California Ave., Palo Alto, CA 94304.” (Ini alamat kantor Facebook). Merujuk hal itu, sori, tulisan ini terhenti dulu. Akan dilanjutkan kok. [BH].

Kabar Indah Trah Dari Kedah dan Tabalong



Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com


Semalam di Malaysia. “Dua hari ini saya [Broto Happy W.] jalan-jalan ke Alor Setar, negara bagian Kedah, Malaysia. Saya diajak pemilik PB Tangkas-Alfamart, Justian Suhandinata untuk menjadi saksi penyerahan Suhandinata Cup untuk diperebutkan kali pertama kepada panitia Kejuaraan Bulutangkis Junior Beregu Campuran.

Perjalanannya lumayan melelahkan. Dari Jakarta ke Singapura, lalu sambung lagi dengan pesawat sejam ke Penang. Diteruskan naik kendaraan 90 menit menuju Alor Setar. Karena semalam datang malam, jadi nggak sempat jalan-jalan. Sekarang pagi-pagi sudah harus balik ke Penang lagi dan sambung ke Singapura, baru Jakarta.

Itu saja kabar saya. Wah nyesel juga nggak hadir di pertemuan Trah Martowirono di Yogya lalu. Salam sukses selalu dan salam buat semua.“

Itu email pertama Broto Happy W. kepada Bambang Haryanto, 23/10/2009. Email keduanya, diterima 25 Oktober 2009 menyajikan cerita yang “makin seram.”


Dikira juara ! ”Nambahi info yang sudah dimuat, ini saya kirimkan foto-foto saat berada di Alor Setar, negara bagian Kedah, Malaysia.

Saat membawa trofi Suhandinata Cup keluar dari bandara Sultan Abdul Halim Airport, Alor Setar, wah, saya dikira atlet yang baru saja menjadi juara. Banyak petugas di bandara dan juga para pelancong yang memberikan salam atas keberhasilan membawa piala.

Mereka bertanya, juara apa Anda? "Saya juara bulutangkis!" Pengakuan bohong-bohongan ini semata-mata agar orang sana juga makin menghormati orang Indonesia! Ternyata orang Indonesia juga hebat dan bisa berprestasi di Malaysia. Tidak hanya melulu TKI yang dibayar murah dan kerap dirampas hak-haknya di negeri jiran itu.

Wisata kuliner batal. Sempat juga malam-malam sebelum tidur, saya sempatkan untuk menikmati Alor Setar. Saya pun sempat berpose di pusat kota.

Ternyata kotanya kecil dan sudah tidak ada tanda-tanda keramaian. Toko banyak yang sudah tutup, tinggal beberapa kedai makanan Cina yang masih buka. Namun karena takut tidak halal, saya urungkan menikmati wisata kuliner.

Meski hanya kurang sejam, sempat mendapat pengalaman menarik. Berempat bersama Pak Tommy Vanalu, Hendro, dan Yose Sulawu, keluar hotel dari kejauhan tampak ada keramaian di sebuah gedung terbuka yang lumayan besar. Yang pasti tempat tersebut

begitu terang benderang dengan lampu warna merah dan kuning. Juga tampak banyak orang berkumpul dan hilir mudik.

"Wah, pasti di sana ada keramaian menarik!" gumam saya. Dasar wartawan yang haus akan sesuatu yang baru dan mencari tantangan unik, saya pun mendekat. Ternyata, begitu mendekat, pusat keramaian itu bukanlah sebuah hiburan atau tontotan khas Alor Setar.

Tontonan itu adalah acara khas orang etnis Cina setempat yang tengah melakukan penghiburan dan persembahyangan bagi anggota keluarga yang meninggal dunia dan akan dikubur keesok harinya. Pantasan di tengah bangunan itu ada peti mati dan asap dupa hio berterbangan ke mana-mana!

Itulah pengalaman menarik selama beberapa jam di Alor Setar. Salam sukses selalu untuk seluruh warga Trah Martowirono.

Kabar Plong Dari Tabalong. “Dengan sarana komunikasi yang sudah sedemikian hebat, jarak dan waktu terasa tidak begitu menjadi penghalang bagi kita warga Trah untuk saling menyapa dan berkomunikasi.

Contohnya saya [Santoso Priyo Utomo di Tabalong, Kalimantan Selatan] dengan waktu hanya bisa bertemu "fisik" selama 12-14 hari dengan keluarga [di Solo], setelah itu dipisahkan secara "fisik" juga 1,5-2 bulan.

Sarana komunikasi canggih ini bisa menjadi media mengurangi kerinduan dan kekangenan. Pak Bambang, si pengelola blog Trah, terasa menjadi oasis di padang kerinduan akan informasi dan kabar anggota trah.

Kiranya Blog Martowirono ini tetap dan senantiasa ada, sebagai salah satu wahana yang paling SIP (mungkin) saat ini. untuk ajang komunikasi dan informasi antar anggota trah.” (Posting status melalui Facebook ke temboknya Bambang Haryanto, 23/10/2009. Foto : Bapak Santoso saat menghibur di Reuni Trah Martowirono, 23 September 2009, di Yogya).


Wonogiri, 26/10/2009

trahmw

Kajen, Kompor Minyak Tanah dan Komputer




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com

Nostalgia 10 tahun. “Saya harus juara dan merenggut hadiah I, sebuah komputer !” Itulah impian saya (Bambang Haryanto) sebagai finalis Lomba Karya Tulis Teknologi Telekomunikasi & Informasi (LKT3I) III/1999 yang diselenggarakan PT Indosat. Untuk tampil ke Jakarta saya diberi tiket pesawat pulang-pergi.

Impian kandas. Saya tetap Juara 1, tetapi harapan. Dapat cek senilai 1,6 juta rupiah. Saat itu tak bisa untuk membeli komputer. Saya pindah haluan. Tak dapat komputer, dapatnya kompor (foto). Seharga 100 ribu. Merek Butterfly. Untuk masak sehari-hari.

Tetapi di tahun 2009 ini, sepuluh tahun kemudian, my favourite kerosene stove is dying. Kompor saya itu nafasnya tinggal menghitung hari. Sekarat. Karena harga minyak melambung. Stoknya pun semakin dibatasi. Kalau beli, harus mau antri di mana-mana.

Keajaiban terjadi, ketika sekitar bulan Mei 2009, Bhakti “Nuning” Hendroyulianingsih, menjadikan rumah Kajen sebagai pangkalan minyak tanah. Putranya, Yudha (foto) dan dirinya, kadang ikut melayani. Sehingga kesulitan memperoleh mitan, bagi saya teratasi. Tetapi jatah dari atas, yang semula 4 drum, di bulan Oktober 2009 ini tinggal satu atau dua drum saja.

Akibatnya, halaman rumah Kajen setiap hari dihiasi berderet-deret jeriken minyak dan riuhnya para pembeli yang antri. Sebagian besar, para tetangga. Kalau pertemuan trah mampu membuat kita seolah linggo-lico, lali tonggo-lali konco, tetapi bisnis salah satu warga trah kita ini tidak melupakan mereka. Berusaha dibagi secara adil untuk kebaikan bersama.

Bagaimana kalau jatah itu benar-benar berhenti ? Kompor saya akan menjadi benda kenangan. Mungkin saya akan mempelajari bagaimana biji avocado, yang tumbuh lebat setiap Oktober di Kajen ini, bisa diolah menjadi bahan bakar nabati. Tetapi itu cerita lain kali.

Thursday, October 15, 2009

Saat “Keraton” Banguntapan Meraih MURI




Oleh : Bambang Haryanto


Prestasi Cipta Gatra. Kedua gunungan itu hanya tinggal bekasnya. Siang hari, Rabu, 15 Oktober 2009. Gunungan kakung dari Keraton Nyogyakarta Hadiningrat, tak ada sisanya sama sekali.

Kerangkanya pun, yang terbuat dari besi, sudah kembali ke keraton. Ikut lenyap pula rangkaian telur bebek rebus asin, disebut dengul, yang dirangkai Pak Fani bertiga dari Keraton yang saya ajak ngobrol Minggu malam, 11/10/2009, menjelang esok saat pembukaan.

bambang haryanto,jana,petr,gunungan buah,cipta gatra

Ikut pula ludas rangkaian kacang panjang, yang mirip rambut penyanyi reggae asal Jamaika Bob Marley atau mBah Surip itu. Rangkaian hijau-hijau dengan ujung cabai besar merah ini sempat ditanyakan oleh Jana, turis bule asal Ceko. Dalam foto Jana paling kiri, Bapak Klono Sewandono yang “juru kunci” kedua gunungan itu, Bambang Haryanto dan Petr di depan kedua gunungan bersejarah itu.

Jana dan Petr tak hentinya menabur senyum saat menjadi “bintang dadakan” karena laris diajak berpotret bersama oleh para pengunjung pada hari puncak peringatan Hari Pangan Sedunia XXIX-2009, 12 Oktober 2009.

paduan suara mahasiswa ugm,clara bunga persada,gunungan buah,cipta gatra,bambang haryanto,prambanan 12/10/2009

Gunungan sebagai ikon HPS nampak juga dimanfaatkan oleh anggota paduan suara Universitas Gajahmada sebagai latar belakang untuk mengabadikan keikutsertaan mereka dalam acara puncak tersebut. Dalam pesannya di Facebook, Clara Bunga Persada yang mahasiswi Teknik Industri UGM, menyatakan “mengenal sosok mereka yang terekam dalam foto tersebut dan Bunga berjanji akan mentags mereka.”

Gambar gunungan utuh di atas, kini tak ada lagi. Kerangka gunungan buah dan sayur hasil kreasi “keraton” Banguntapan, masih utuh.Karena untuk mencuri atau membawanya orang harus membawa mobil truk. Pada dindingnya masih tersisa beberapa buah terong ungu. Bersama sayuran dari gunungan kakung, maka beragam jenis buah dan sayuran lainnya dari gunungan jumbo itu telah menjadi berkah bagi warga sekitar yang memperebutkannya.

Secara fisik, memang kedua gunungan itu memang sudah tidak ada lagi. Tetapi kedua maskot Hari Pangan Sedunia XXIX-2009 itu tetap abadi sebagai kenangan banyak orang. Termasuk kenangan saat digoreskannya prestasi bagi Bapak Untung Suripno, Frederico Ario Damar dan Cipta Gatra Exhibition Partner. Karya gunungan buahnya itu kini tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) yang bergengsi tersebut.

Sukses berbuntut sukses. “Piagam ini mahal sekali, Om,” demikian cetus Frederico Aria Damar. Ia berkata saat piagam itu saya pegang dan Rico hendak memotretnya. Beberapa saat sebelumnya, di ruang resepsi dari hall International Food Expo 2009, dalam acara penutupan, Piagam MURI itu diterima oleh Bapak Untung Suripno.

cipta gatra,hari pangan sedunia,gunungan buah dan sayur,untung suripno,trah martowirono,prambanan 15/10/2009

Nampak dalam foto, Ibu Wida dari MURI sedang membacakan keputusan dan Bapak Untung berada di tengah penerima lainnya.

Saya setuju ucapan Rico itu. Ia yang berhari-hari telah bekerja keras bersama krunya di lapangan. Piagam MURI dengan nomor 3928/R.MURI/X?2009 itu memang mahal. Langkah pertama kiranya memang selalu menuntut pengorbanan ekstra. Apakah hal ini akan mengerutkan nyali atau menyurutkan langkah Cipta Gatra dalam upaya meraih MURI berikutnya ?

Lihatlah, dalam obrolan sesusai acara, nampak Untung Suripno dan Mayor Haristanto, riuh berbagi gagasan. Keduanya melakukan brainstorming untuk menemukan ide-de baru guna meraih prestasi MURI berikutnya. “Bulan November 2009, Cipta Gatra akan membuat sesuatu kehebohan lagi,” tulis Bapak Untung di sms kepada saya.

Hari-hari ini “keraton” Banguntapan semoga lagi diisi dengan kegembiraan. Termasuk menular kepada Ibu Erry dan juga Clara Bunga Persada. Saya yang telah menerima 2 rekor MURI, Mayor Haristanto sebanyak 21 rekor, tetap saja di sore itu kami berdua tetap merasakan kegembiraan yang menggetarkan ketika salah satu warga Trah Martowirono kini sukses pula meraih penghargaan serupa.

Kami bertiga berpisah di Prambanan. Mas Untung sempat bertanya kepada saya, “mau pulang ke rumah barat atau ke rumah timur ?” Rumah barat adalah rumah beliau di Modalan, Banguntapan. Rumah timur, di Kajen Wonogiri.

Saya bersama Mayor lalu naik bis menuju Solo. Saya sore itu ingin pulang dulu ke rumah timur. Tetapi dalam obrolan dengan Mas Untung, tak tertutup kemungkinan, saya akan rada sering tinggal di rumah barat itu pada hari-hari mendatang.

Cerita dan foto-foto lainnya dari momen bersejarah di Prambanan itu semoga akan bisa menyusul. Saya lagi menunggu kiriman dari Rico.

Sampai jumpa di obrolan mendatang.


Wonogiri, Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober 2009


trahmar

Saturday, October 10, 2009

Gunungan Keraton Banguntapan di Hari Pangan Sedunia 2009




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Tugas mulia. Mobil merah bak terbuka itu penuh sayuran dan buah. Bagi yang tidak mengetahui, mobil yang pada sisi kiri dan kanan bertuliskan Rico Promo itu mudah diduga sebagai mobil milik tukang sayur yang berkeliling menemui pelanggan.

Apakah makan buah-buahan dan sayuran kini sedang gencar dipromosikan ?

Bisa juga begitu. Tetapi ketika mobil itu memasuki lot candi Siwa di komplek candi Prambanan, menjelang senja jatuh 10/10/2009, dugaan bisa makin rumit. Apakah buah dan sayuran itu akan digunakan sebagai sesaji bagi Betara Siwa agar dirinya tidak mengamuk, merusak dan menghancurkan isi dunia, seperti karakter yang tertakdir bagi dirinya ?

Dugaan satu ini keliru. Buah dan sayuran yang dibeli oleh Pak Klono bersama anak buahnya dari Kulon Progo itu digunakan untuk tujuan mulia. Salah satunya adalah untuk mencatatkan prestasi bagi Cipta Gatra, korporasi yang berkiprah sebagai mitra penyelenggaraan pameran, kegiatan promosi dan pemasaran. Kiprah ini dirintis sejak 1998 di Yogyakarta oleh Bapak Untung Suripno dan operasinya di lapangan kini di bawah komando Frederico Ario Damar, sang putra.

Ikon HPS 2009. Buah dan sayuran itu akan digunakan sebagai bahan membuat maskot upacara tingkat nasional dari Hari Pangan Sedunia 2009 yang dipusatkan di Yogyakarta. Maskot itu berupa gunungan buah, replika dengan ukuran lebih besar dibandingkan dengan gunungan kakung yang secara rutin tiap tahun diarak oleh Kraton Yogyakarta pada upacara Garebeg Syawal.

Gunungan buah itu nantinya akan tercatat di Museum Rekor Indonesia/MURI. Sehingga secara guyon dapat dikatakan bahwa di Yogya kini telah muncul “keraton baru” :-), yang ikut membawa-bawa nama Trah Martowirono, karena juga mampu mengeluarkan gunungan. Keraton satu ini, katakanlah sebagai keraton kreativitas, lokasinya di Banguntapan, Bantul.

gunungan buah,hari pangan sedunia 2009,cipta gatra,rico promo,badan ketahanan pangan diy,frederico ario damar,untung suripno,bambang haryanto,trah martowirono

Ketika saya pertama kali mengunjungi lokasi “keraton baru” itu, 8/10/2009, nampak kerangka gunungan itu (foto) sedang dibangun. Di halaman bengkel kerja Cipta Gatra di Bantul. Mengamati sekitar, memang tidak nampak puluhan sentono yang bersurjan atau sedang membakar dupa, tetapi mereka semua mengerjakan gunungan itu dengan sepenuh hati.

Gambar rancang bangun gunungan itu hasil olahan Sutik, lulusan Geologi UGM dan kawan akrab Rico, yang main klak-klik di atas tombol komputer di ruang kerja, akhirnya mampu mewadahi pesan-pesan yang visioner, yang menjangkau akhir perjalanan hidup setiap umat manusia. Ujudnya pun cukup indah dan spektakuler.

Makna gunungan itu bila dikaitkan dengan ajaran Islam dan falsafah Jawa, dapat diwedar bahwa puncak gunung adalah melambangkan keesaan Tuhan Yang Maha Esa. Gunung juga melambangkan ajaran manunggaling kawula gusti, bersatunya antara manusia dengan Tuhannya, juga sebagai gambaran perjalanan manusia menghadap Sang Khalik guna menuju kesempurnaan hidup di alam keabadian, alam kelanggengan.

Cipta Gatra yang dalam membangun maskot itu sebagai mitra kerja Badan Ketahanan Pangan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menyajikan data bangunan sebagai berikut : tinggi gunungan 4,5 meter, diameter landasan bawah 2,5 meter dan tinggi vustek 60 cm. Materi gunungan meliputi jagung, kobis, pisang, nanas, jambu, buah naga, wortel dan bahan lainnya.

Sinergi dan harmoni. Gunungan buah tersebut akan bersanding dengan gunungan kakung dari Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat yang bahan dan ukurannya sesuai dengan pakem yang ada dan dibuat oleh abdi dalem kraton.

Duo gunungan itu boleh jadi nantinya menggambarkan suatu sinergi yang harmoni antara keluhuran nilai-nilai masa lalu yang dapat diterapkan untuk menjawab tantangan umat manusia masa kini dan masa depan. Termasuk tantangan berat dunia ini, yaitu ketersediaan pangan bagi milyaran manusia penghuninya.

Tidak meleset bila pesan penting dari peringatan Hari Pangan Sedunia XXIX-2009 ini bertujuan menumbuhkan kesadaran seluruh lapisan masyarakat terhadap potensi sumber daya alam serta tantangannya untuk mewujudkan ketahanan pangan, serta meningkatkan kesadaran masyarakat dan dunia usaha dalam menyikapi masalah ketahanan pangan baik tingkat nasional, global maupun regional serta memperkokoh solidaritas antarbangsa dalam usaha memberantas kekurangan pangan dan gizi yang masih dialami oleh sebagian penduduk dunia terutama di negara berkembang.

Gambar dan pesan-pesan besar itu hari-hari ini ikut juga dikampanyekan oleh Cipta Gatra. Di tengah kemeriahan peringatan hari penting itu, juga ditengah hiruk-pikuk pameran International Food Expo 2009 yang berlangsung, sebuah karya dari salah satu warga Trah Martowirono nampak menjulang cantik di tengahnya.

Memang, mungkin nanti tak banyak orang akan mencatatnya. Tetapi ribuan bunyi tombol komputer di bengkel Cipta Gatra atau di ruang kerja Bapak Untung dan Rico di rumah Modalan, juga hentakan palu mengunjam paku di Prambanan, sampai percikan indah air mancur mini yang asri di base kedua gunungan itu berdiri, menandakan sebuah monumen tekad untuk memberi manfaat bagi orang lain telah kokoh berdiri di persada bakti.

Setiap hati warga trah mencatatnya. Dunia pasti juga segera ngikut, senantiasa mengabadikannya. Di masa depan, percayalah, berkahnya pun mampu menebar : ke mana-mana, di mana-mana !


Banguntapan, 8-10/10/2009

trahmar

Monday, October 05, 2009

Sukses Gorda, Sukses Rico, Sukses Trah Martowirono



Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com


Bekerja pada kami ! Upacara wisuda sarjana di Virginia Tech berlangsung meriah di sebuah stadion tertutup.

Sesudah upacara usai, kelompok wisudawan dari jurusan Teknik terdengar menggemuruhkan yel-yel dengan penuh kebanggaan.

“Kita lulus, langsung bekerja !”
“Kita lulus, langsung bekerja !”

Barisan wisudawan dari jurusan Bisnis langsung menimpali yang tidak kalah serunya : “Bekerja pada kami ! Bekerja pada kami !”

Lelucon di atas merupakan sebagian dari isi buku kumpulan lelucon saya yang diterbitkan masa jadul, tahun 1987. Lelucon itu kembali berparade di kepala saya ketika terjun dalam kemeriahan acara Reuni Trah Martowirono XXIII-2009 di Museum Benteng Vredeburg, 23 September 2009.

Utamanya ketika mewakili Taler 1 sebagai tuan rumah untuk menyampaikan ucapan selamat datang, telah tampil ke panggung Slagen Abu Gorda, SE yang diikuti “ajudan tiban,” Chandra Gatot Pribadi yang nampak nuklun dan bersahaja a la pak guru Umar Bakri yang pegawai negeri.

Seperti terwakili dalam foto dan adegan, ulah keduanya jelas sebuah parodi yang mampu menggelitik tawa. Tawa sekaligus menggaruk kepedihan ketika mengenang jaman masa lalu. Ketika negeri kita ini dicengkeram oleh sosok tiran yang ucapannya halus tetapi tindakannya mengerikan.

Aksi Gorda mengingatkan sosok Butet Kertarajasa ketika monologer sohor itu seringkali melakukan mimicking terhadap aksi sosok tiran yang sama. Dan, lihatlah Chandra Gatot Pribadi, ia nampak serasi dalam :-( berakting mengenakan baju Korpri kebanggaan para pegawai negeri sipil, termasuk bokapnya :-( di masa sebelum reformasi bergulir. Dan lihatlah lagi bahasa tubuhnya, menunjukkan kepatuhan yang berselimut ketakutan terhadap sang tiran bersangkutan.

Beragam krida untuk dunia. Syukurlah, masa lalu itu kini telah menjadi bahan parodi, termasuk di panggung reuni trah kita. Tetapi dalam realitas, kedua pelaku adegan itu memiliki jalur hidup dan karier masing-masing. Walau pun sama-sama memiliki akar yang sama, berasal dari pasangan Martowirono, kini cucu, cicit dan keturunannya memiliki panggilan hidup masing-masing. Ibarat nyala kunang-kunang yang menyebarkan cahaya dan keindahan, “ke mana-mana, di mana-mana.”

Salah satu nyala kunang-kunang yang membesar cahayanya, adalah yang disandang oleh Abu Gorda. Lewat perjuangan gigih, ia baru saja terpilih sebagai wakil rakyat untuk berkiprah di DPRD Kabupaten Sukoharjo. Seperti dalam foto koran Solopos (22/4/2009) di bawah ini, foto dirinya nomor 4 dari kiri, disebut sebagai muka-muka baru di kancah pengabdian sebagai legislator di Kota Makmur itu. Sebagai warga trah, kita semua bangga untuk prestasi Abu Gorda yang mampu meraih cita-citanya.

Kita semua mencatatnya. Tentu kita masih ingat, saat ia memproklamasikan tekadnya menjadi anggota legislatif saat Reuni Trah Martowirono XXI di komplek mewah, mepet sawah, rumah Bapak/Ibu Untoro Setyabudi di Polokarto, 15 Oktober 2007. Hal serupa kemudian diteguhkan saat reuni tahun berikutnya, di Kajen Wonogiri, 5 Oktober 2008. Setelah sukses, saat di Yogya, 23 September 2009, Abu Gorda mengucapkan terima kasih kepada keluarga besar Trah Martowirono yang telah menyengkuyung doa sehingga ia berhasil.

Termasuk khusus memberikan apresiasi yang tinggi kepada keluarga Mulyono/Titis dari Taler 2 asal Gayam Sukoharjo dan keluarga Parmono/Siti Fatimah dari Taler 3 asal Polokarto yang ia sebut sebagai tim sukses andalan bagi keberhasilannya.

“Sukses saya karena banyak dibantu teman-teman,” kata Abu Gorda seperti terungkap dalam wawancara via telepon dengan wartawan Solopos. Gorda pantas masuk berita karena dianggap sebagai kuda hitam, tokoh muda sekaligus wajah baru di kancah perpolitikan, tetapi dirinya meraih perolehan suara paling tinggi di Sukoharjo. Fantastis dan membanggakan.

“Inilah gaya politikus Facebook,” gumam saya ketika membaca-baca koran tentang Gorda di Perpustakaan Umum Wonogiri. Karena situs jaringan sosial di Internet itu denyut hidup, popularitas dan manfaatnya disukai lewat cara menfasilitasi setiap individu untuk memperluas jaringan pergaulannya dengan cara mudah dalam menambah teman. Dengan klik dan klik semata. Mungkin Gorda menang karena melakukan strategi Facebook yang serupa.

Dalam konteks “politikus a la Facebook” itu maka sosok dan kerja keras Bapak Teguh Priyono dan Ibu Suharti, sebagai orang tua, mungkinkah tak lebih dari seorang “friend” bagi legislator muda kita itu ? Saya sempat usil membayangkan adegan ini. Suatu saat keluarga trio ini tiba di depan rumah, yang menurut Gorda isinya kembang dan lemari :-) itu, secara bersamaan. Salam Gorda kepada Bapak Teguh Priyono dan Ibu Suharti, akankah berbunyi : “Hallo, friends. Apa kabar hari ini ?”

Menebar berkah. Sori friend, itu hanya canda semata. Abu Gorda saya sebut sebagai friend karena saya sebagai pengelola akun Warga Trah Martowirono, legislator asal PDIP Kabupaten Sukoharjo itu memang telah menjadi friend saya di Facebook juga.

Semoga akun Facebooknya itu dapat ia manfaatkan dalam berkiprah sebagai wakil rakyat. Yang pasti, kita tak ragu mengucapkan salut dan sukses untuk Gorda. Termasuk harapan sukses untuk cita-citanya yang tinggi, berkiprah di dunia perpolitikan tingkat nasional, di masa depan.

“Semoga anak ini tidak mengecewakan keluarga besar Trah Martowirono dalam berbakti kepada bangsa dan negara,” demikian balas SMS dari Bapak Teguh “Ahli Kebersihan Kapal” Priyono ketika membalas SMS di hari saat putra semata wayangnya itu dilantik sebagai anggota legislatif. Berkiprahlah, Gorda, untuk terus mampu menebar berkah.

Ucapan yang sama dengan nada optimis serupa, semoga warga trah masih ingat, juga dilantangkan oleh Frederico Ario Damar di panggung. Di acara reuni itu ia tak memakai baju Korpri jadul lungsuran dari sang bokap, tetapi tampil sebagai sosok anak muda yang mantap untuk menyusuri “jalan pedang” a la pendekar Musashi, alias jalan untuk memenuhi panggilan hidup sebagai seorang entrepreneur di bidang pameran. Kini Rico memimpin usaha Cipta Gatra Exhibition Partner di Yogyakarta.

Setelah reuni usai, saya sempat mengirim email ke Rico. Saya menyatakan salut dan terkesan atas presentasinya, yang menyatakan bahwa kiprah perusahaannya itu telah mampu menebarkan berkah bagi banyak orang.

Berbeda dengan lelucon tentang wisudawan sarjana teknik dari Virginia Tech yang begitu lulus langsung ingin mencari pekerjaan, Rico justru menempuh jalan orisinal, menempuh rute yang lebih berat. Ia memilih untuk mengkreasi pekerjaan. Untuk dirinya sendiri. Juga untuk orang lain. Berkahnya pun kemudian mampu menebar, “kemana-mana, di mana-mana.”

Sungguh membanggakan.

Perjuangan dan sukses Abu Gorda, juga sukses Rico, merupakan inspirasi bagi semua warga trah kita. Dunia ini adalah dunia yang melimpah ruah, semua insan mampu memperoleh roti dalam hidupnya, tanpa perlu menggerogoti roti jatah jalan hidup milik orang lain.

Atau dalam kalimat yang lebih bernas muncul dari penulis Amerika, Christopher Morley (1890–1957), bahwa “hanya terdapat satu jenis sukses, yaitu mampu menjalani hidup dengan menyusuri jalan yang telah Anda pilih.”

Di Museum Benteng Vredeburg, warga trah kita bersatu. Setelah usai, kita kembali menyusuri jalan hidup masing-masing. Ada pesan luhur yang harus kita cerna dan camkan ketika kita masing-masing pulang dari Benteng Vredeburg itu. Yaitu saat kita pulang dengan diganduli tas kain pro-gerakan cinta lingkungan hidup yang berisi ulih-ulih : sebungkah roti yang manis.

Itulah roti sukses warga Trah Martowirono dalam beragam krida sebagai insan yang berguna bagi sesama. Dalam kiprah yang dipilih, ditekuni dan juga dicintai dengan sepenuh hati.


Wonogiri, 6/10/2009

trahmar

Sunday, October 04, 2009

Trah Martowirono, Cinta, Banu dan Zaza




Oleh : Bambang Haryanto
Email :humorline (at) hotmail.com


Anugerah hebat. Arsenal mengalahkan Blackburn Rovers, 6-2. Sayangnya, tidak semua enam gol yang dilesakkan tim asuhan Arsene Wenger itu bisa saya saksikan langsung melalui saluran Indovision, Minggu Malam, 4/10/2009 yang lalu.

Saat beberapa gol itu terjadi saya sedang mengembara, menunggangi remote control untuk menonton potongan siaran dari televisi lain. Antara lain acara Golden Ways-nya motivator Mario Teguh di MetroTV. Salah satu ucapan dia yang menohok malam itu adalah ketika menjelaskan tentang konsep diri mengenai “saya” dalam kosmologi ke-Illahi-an.

Banyak orang, menurut Mario Teguh, sering terlalu menyederhanakan kehadiran diri “saya” itu di dunia. Orang seringkali hanya melihat “saya” sebagai suatu kehadiran yang bersifat fisik, tanpa melihat bahwa di belakang atau yang bersama sosok “saya” itu berimpit didalamnya beragam anugerah Tuhan yang membuat sosok komprehensif “saya” itu memiliki keistimewaan dalam kehadirannya di dunia ini.

Anugerah itu disebutnya, misalnya kharisma, pengaruh, aura sampai misalnya ucapan dirinya yang dapat menggerakkan atau mampu memengaruhi orang lain untuk berbuat kebaikan.

Malam itu tema acara Mario Teguh adalah “Saya + Tuhan = Cukup.” Sayang, malam itu tabiat saya yang jelek masih muncul. Saya tidak ditemani dengan bloknot untuk menulis hal-hal penting dari siaran itu. Padahal beberapa hari sebelumnya, 30/9/2009, ketika memberikan kuliah umum di depan mahasiswa baru Sekolah Tinggi Manajemen & Ilmu Komputer (STMIK) Sinar Nusantara, Surakarta, saya mengajurkan mereka untuk membawa bloknot dan bolpoin, “kemana-mana dan di mana-mana.”

Untuk apa ? Untuk mencatat segala hal yang penting dan menarik bagi mereka. Karena ingatan mudah lupa, aktivitas mencatat itu juga merupakan kiat untuk mengasah ketajaman otak mereka.Sekaligus membuat hidup sampai karier profesional mereka menjadi lebih sukses dan produktif.

Mungkin malam itu saya masih terbius ucapan pendiri Apple Corp., Steve Jobs. Ia bilang : hidupkan komputer otak Anda menjadi hidup, tetapi hidupkanlah televisi maka otak Anda pun segera mati.

Oleh karena di depan layar tv itu otak saya lagi “mati,” maka sepanjang yang bisa saya ingat adalah satu-dua ucapan kunci Mario Teguh yang menjelaskan hal menarik. Bahwa menurutnya, bila kita selalu merasa bersama Tuhan maka yang terjadi hidup kita menjadi damai, berupaya (koreksi tambahan dari Anna Sari), bermakna (?) dan berani. Suatu saat saya akan mengunjungi situsnya, untuk mengelaborasi ajarannya ini.

Tradisi a la Mafia. Yang pasti, kata “berani” itu mengingatkan saya akan salah satu adegan saat berlangsungnya Reuni Trah Martowirono XXIII-2009 yang lalu. Muncul dari Ibu Retno Winarni bersama suami, Bapak Agus Budi Santoso yang berkarier di BCA Solo, untuk rela keroyo-royo untuk bisa hadir di Yogya. Anda masih ingat akan kedua beliau yang memiliki posisi unik sebagai warga Trah Martowirono ?

reuni trah martowirono XXII-2008,agus budi santoso,bambang haryanto,retnowinarni,kajen,wonogiri

Kedua beliau pertama kali hadir dalam reuni kita yang ke-20/2006 di Kedunggudel. Lalu hadir di reuni yang ke-22/2008 di Kajen, Wonogiri. Saat itu, seperti nampak dalam foto, sedang disemati pin Trah Martowirono. Dalam reuni di Yogya saya sempat mengingatkan beliau, bahwa untuk resmi diakui secara lahir dan batin sebagai warga keluarga besar Trah Martowirono bagi mereka yang di luar hubungan darah, “harus memenuhi syarat tertentu.” Ketentuan itu mengacu pada tradisi Mafia di Italia Selatan.

Syarat yang berat. Pada tahun ketiga, mereka harus mendaftar 3.650 orang yang menjadi musuh-musuh Trah Martowirono. Lalu setiap hari harus menemukan 10 orang dari mereka, dan membunuh mereka satu persatu. Dalam setahun, akan komplit sekitar 3.650 musuh-musuh Trah Martowirono enyah dari dunia ini.

“Tetapi karena Trah Martowirono merasa tidak punya musuh,” seperti saya katakan dalam acara reuni Yogya untuk menyambut kedua beliau, “maka syarat di atas tidak berlaku. Anda dan keluarga adalah warga kami.” Buktinya, keluarga Agus dan Retno Winarni ini juga mendapat kesempatan untuk tampil di panggung.

Sayangnya, beliau belum banyak bercerita tentang keluarga asal Solo ini. Sebaliknya, justru memberikan apresiasi kepada warga Trah Martowirono yang ia sebut sebagai berani untuk tampil, berani untuk berbicara di depan audiens.

banu

Secara khusus ia menyebut Banu dan Zaza, putra/putri Bapak Santoso Priyo Utomo. Nampak dalam foto keduanya yang masih duduk di bangku SD, tanpa menunjukkan rasa takut atau ragu-ragu, langsung naik ke panggung. Mantap dan ceria memegang mik, lalu bercerita mengenai keluarganya kepada seluruh hadirin.

Terima kasih, Ibu Retno Winarni.
Salut untuk Zaza.Salut untuk Banu.

Mengapa mereka berani ? Karena mereka berdua, dan semua warga trah kita, sama-sama tahu bahwa diri mereka akan tidak dihakimi, melainkan akan selalu diterima. Diapresiasi. Dicintai. Apa adanya. Apalagi acara reuni trah itu masih dilekati oleh suasana hari Idul Fitri, hari ketika antarpribadi dengan kerelaan dari sanubari, untuk saling memberi maaf, alias menerima masing-masing fihak sebagai insan yang mulia sebagai makhluk Tuhan.

Pesan ini sering tidak secara jelas terkatakan. Tetapi selalu merambati hati. Dalam acara reuni XXII/2008 di Kajen, Wonogiri, Bapak Untung Suripno mengatakan : “Bila tanggal pertemuan itu tiba maka acara apa pun dihindari, karena ingin jumpa saudara di acara temu trah ini. Jujur saja, acara pertemuan trah ini membikin usia awet muda, linggo-lico, lali tonggo-lali konco, isinya cuma satu yaitu : seneng.”

Terima kasih, Mas Untung.

Api seneng yang sama, yang terus berkobar setelah acara usai, sehingga memicu hadirnya tulisan ini. Untuk mengabadikannya dalam kenangan yang bisa dibagikan. Untuk bisa menceritakan pernak-pernik unik trah kita ini kepada dunia.

Dalam acara reuni trah kita, memang tak ditampilkan lagu legenda “Just The Way You’re” dari Billy Joel. Tetapi saat pulang dan hari-hari berikutnya, sebagian lirik lagu itu senantiasa mendengung di hati saya :

I said I love you (warga Trah Martowirono), and that's forever
And this I promise from the heart,
I could not love you any better
I love you just the way you are


Wonogiri, 5/10/2009


trahmar

Saturday, October 03, 2009

Tas Ulih-Ulih, Trah Kita Menyelamatkan Dunia




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Cinta dalam segenggam cabe. “Mobil, mebel, istri sampai anak, semuanya disposable, mudah dibuang. Karena yang utama dewasa ini adalah berbelanja.” Demikian kata Arthur Miller, dramawan terkenal dari Amerika Serikat.

Potongan dialog dalam naskah dramanya yang berjudul The Price (1968) itu membuat saya tersenyum. Sebagai bujangan tua, ya pasti saya belum pernah membuang istri, apalagi membuang anak. Membuang mobil sampai mebel, baik milik sendiri atau milik tetangga, juga belum pernah. Tetapi mental suka “berbelanja,” sebagaimana orang kebanyakan, adalah sebagian aktivitas sehari-hari saya.

Aktivitas berbelanja adalah keharusan. Karena saya masak sendiri. Di Pasar Wonogiri saya memiliki kios favorit tertentu untuk membeli 6 T : tahu, telur, tempe, teri, tomat sampai terasi. Juga ada kios untuk membeli cabe yang murah. Atau membeli cabe di mana pedagangnya yang cantik memberi bonus istimewa.

Berupa mata yang berkilat-kilat, yang setiap kali bertemu memberi isyarat bisu yang getarnya menderu-deru : “Apa kabar, sayang ?” Selama masih doyan cabe, saya baik-baik saja. Kita akan selalu bertemu. :-).

Begitulah. Sebagaimana slogan a la mBah Surip bahwa “Trah Martowirono ada di mana-mana,” isyarat cinta juga ada di mana-mana. Termasuk tersembunyi di balik tumpukan cabe keriting di kios pasar. Tetapi di swalayan, selama ini, belum saya temukan isyarat-isyarat indah seperti di kios lombok itu. Malahan tatapan mata yang mengandung keheranan.

Sumber tak terbarukan. Kasir swalayan, baik di Tiptop dan Terminal Arto di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, atau Baru di Wonogiri, sering memandangi saya dengan heran. Yaitu ketika saya tidak mau barang-barang yang saya beli mereka bungkus dengan tas plastik. Karena saya memang membawa tas sendiri dari rumah. Tas itu pun bisa saya pakai berkali-kali. Sebuah buku memberi saya ilham untuk berbuat itu.


Tahun 1992 saya memfotokopi dari perpustakaan American Cultural Center di Jakarta sebuah buku menarik : 50 Simple Things You Can Do To Save The Earth (1989). 50 Hal Sederhana Yang Dapat Anda Lakukan Untuk Menyelamatkan Bumi Kita. Tentang tas-tas plastik yang sering kita peroleh saat berbelanja di swalayan (foto), buku itu membeberkan fakta mengejutkan.

Misalnya : tas-tas plastik itu tidak bisa diurai, terbuat dari minyak tanah, sumber energi yang tidak terbarukan. Bila plastik itu terbawa ke laut berpotensi membunuh satwa laut, karena disangka sebagai makanan yang membuat buntu pencernaannya. Tinta cetak di tas itu mengandung cadmium, logam berat beracun. Bila sampah itu dihancurkan maka cadmium tersebut akan mengapung ke udara kita.

Merujuk ancaman pencemaran yang serius oleh milyaran tas-tas plastik itu membuat pemerintah Cina melarang toko-toko swalayan membagikan sarana pembungkus itu. Sebagaimana dikutip situs koran The New York Times (http://www.nytimes.com/2008/01/09/world/asia/09iht-plastic.1.9097939.html?_r=1), sejak 1 Juni 2008 larangan itu diberlakukan. Kemudian penduduk Cina dianjurkan pergi ke toko dengan membawa tas kain dan keranjang belanja.

Langkah Cina itu tidak sendirian. Peraturan yang melarang penggunaan tas-tas belanja plastik itu juga diberlakukan di Afrika Selatan, Irlandia, Taiwan, juga Bngladesh dan kota-koat kecil di negara bagian Alaska di Amerika Serikat. Tahun lalu, San Francisco (AS) juga melarang produk serupa. Di Jakarta, Bandung dan kota-kota lainnya di Indonesia, akhir-akhir ini juga muncul gerakan cinta lingkungan yang mengajak masyarakat pergi berbelanja dengan membawa tas kain dari rumah.

Photobucket


Trah kita harus juga ikut serta. Bagaimana langkah trah kita ? Dalam acara reuni Trah Martowirono XXIII/2009 di Yogyakarta, keluarga besar Taler 1 Haswosumarto-Suripti sebagai tuan rumah, telah membekali masing-masing peserta reuni berupa bingkisan ulih-ulih yang berkesan. Dalam foto nampak “Jenderal” Wiranto dari Tekaran sebagai model yang menjinjing bingkisan bersangkutan.

Ketika hiruk-pikuk Benteng Vredeburg surut, isi bingkisan yang manis itu seolah membuat aroma pertemuan bersejarah kembali berparade di kepala. Semakin menjadikan momen berkesan yang sulit dilupakan.

Tetapi yang juga sangat istimewa adalah tas kain yang membungkus ulih-ulih itu. Juga pesan disebaliknya. Bagi saya, tas kain itu di hari-hari mendatang akan selalu saya bawa bila hendak berbelanja, terutama bila ke swalayan. Mungkin kasir toko akan merasa keheranan.

Mungkin secara sekilas mereka akan membaca tulisan “Reuni Trah Martowirono XXIII-2009” dari tas yang berkontur batik itu. Mungkin mereka juga tidak sempat berpikir bahwa dengan membawa tas unik itu saat berbelanja ke tokonya memiliki makna yang tidak kecil bagi warga trah kita tercinta dalam ikut berupaya menyelamatkan dunia.

Dengan tas itu, sekali lagi seperti plesetan lirik lagunya mBah Surip, bisa membawa bendera “Trah Martowirono ada di mana-mana.” Bila itu yang terjadi, saya merasa almarhumah Bude Haswo (wafat 30 November 1986), alias Ibu Suripti dan Pakde Haswosumarto, pasti berbangga dengan gagasan dan kiprah putra-putri, sekaligus cucu-cucunya di reuni trah kita itu.

Yang antara lain secara elegan mampu memberi warna Reuni Trah Martowirono XXIII-2009 dengan pesan yang luhur bagi semua warga trah, bahwa mulai hari itu kita mampu berbuat untuk ikut serta menyelamatkan dunia. Caranya mudah : bawalah dan gunakanlah tas kain bersejarah saat berbelanja.

Di mana-mana.
Ke mana-mana.

Wah, Trah Martowirono, mantep to ?


Wonogiri, 4/10/2009

trahmar

Selebritis Pejuang 45 Tiban di Benteng Vredeburg




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Bung Karno Jaya ! Jenderal Sudirman harus mengaku kalah ketika bersaing melawan Bung Karno.

Sosok Jenderal Sudirman diperani oleh Bari Hendriatmo dari Jember. Dalam foto di atas, ia dikawal oleh putranya Reza Ahimsa Hendriano yang berseragam gerilya dan bersenjata. Bung Karno juga sukses mengalahkan “Rambo” dari Wonogiri.

Masihkah ingat, saat kita ramai-ramai bertemu di Reuni Trah Martowirono XXIII, 23 September 2009, di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta, yang lalu ? Ketiganya berkontes bukan lewat adu dalam piawai dalam berpidato. Bukan lewat coblosan. Bukan pula lewat perang gerilya.

reuni trah martowirono XXIII-2009,benteng vredeburg,hompimpah,busana terheboh dalam reuni itu

Lihatlah dalam foto koleksi Anna Sari itu. Ketiganya berusaha merebut kemenangan dengan metode hompimpah tanpa alaiyung gambreng sebagai penutup mantra. Ketiganya nampak benar-benar jago hompimpah, karena hasilnya selalu draw. Dan pada putaran keempat baru hadirin mengetahui siapa juaranya. Siapa juaranya ?

reuni trah martowirono XXIII-2009,benteng vredeburg,sudoyo,bari hendriatmo,bambang haryanto

Sosok Bung Karno yang aslinya Bapak Sudoyo asal Kaliurang dari Taler 1 yang berhasil sebagai juara. Suami Ibu Dwi Hastuti itu meraih piala sebagai warga Trah Martowirono yang berbusana paling heboh dalam acara reuni ke-23 yang lalu.

Jago di luar arena. Saya yang memperoleh sebutan “Rambo” itu, ternyata memperoleh kemenangan di medan lain. Sekedar info, nama “Rambo” itu diciptakan secara spontanitas saat itu oleh Mayor Haristanto, sebagai juri. Mungkin karena saya memakai kostum dengan berselempang rangkaian peluru berkaliber 12,7 alias setengah inci.

Bila saja Pakde Sukirman Haswosumarto (wafat 3 November 1987) atau bapak saya Kastanto Hendrowiharso (wafat 9 Desember 1982) masih hidup, kedua beliau yang sama-sama tentara pejuang 1945 itu pasti bisa bercerita mengenai “kesaktian” bedil yang memakai peluru berkaliber besar itu.

Menjadi Rambo sehari, haruslah mau berkorban. Yang saya rasakan, memang rada berat membawa peluru-peluru itu saat jalan kesana-kemari. Tetapi demi bisa ngeceng di depan sesama warga trah, beban itu tidak terasa apa-apa.

Syukurlah, selempang peluru itu menjadi rada match ketika saya diberi peci pejuang oleh Mayor. Peci saya polos, sementara yang dipakai Yudhis (anaknya Betty) ada tulisannya, “Merdeka !.” Lalu kami bertukar peci itu.

Selebritis tiban. Peci putih khaki tersebut ternyata membawa tuah, justru ketika acara reuni kita usai. Ketika rombongan Wonogiri keluar dari komplek beteng, menuju mobil yang dipiloti Hening Kristanto (putra Bulik Yam Selogiri) yang parkir dekat alun-alun Yogya, saya memperoleh kejadian mengejutkan.

Begitu keluar dari pintu beteng, persis di bawah tulisan “Benteng Vredeburg” (?), ada pengunjung rada meneriaki saya. Ia sedang memotret keluarganya dan ia meminta saya ikut bergabung. “Bapak kan berkostum pejuang, dengan peci “Merdeka,” mari saya abadikan bersama keluarga kami.”

Dengan senang hati saya memenuhi permintaan itu. Kamera pun menyalakan lampu kilat beberapa kali. Sambil berbagi senyum, keluarga itu lalu berpamit. Peran saya sebagai selebritis tiban yang memerani pejuang 1945, selesai. Terlalu cepat. Rada GR dan setengah kecanduan, lalu saya agak berteriak ke pengunjung lainnya : “Siapa ingin berpotret bersama pejuang 45 ? Siapa ingin berpotret bersama pejuang 45 ? “

Saya agak menyesal, karena selama ini saya belum punya kartu nama, business card, untuk mempopulerkan Trah Martowirono. Kalau punya kan, hmm-hmm, minimal mereka akan tahu siapa oknum “pejuang” yang baru saja ia potret itu.

Siapa tahu untuk menambah kenalan dan persaudaraan. Termasuk mengenalkan dan menularkan sejarah, polah sampai seluk beluk trah yang heboh ini. Tentu saja itu trah kita semua : Trah Martowirono tercinta.


Wonogiri, 3/10/2009

trahmar