Wednesday, December 08, 2010

Mavericks, Mother and Soldier


Catatan kenangan 28 tahun wafatnya Bapak Kastanto Hendrowiharso

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com


Hari Sabtu dan Minggu adalah hari humor keluarga.

Karena hari itu ayah saya, almarhum Kastanto Hendrowiharso (1928-1982), datang dari Yogya. Sebagai seorang prajurit TNI-AD, ia berdinas di Yogyakarta. Sementara keluarganya tetap tinggal di Wonogiri.

Saat itu, tahun 1966, saya duduk di bangku klas 6 SD Wonogiri III. Ketika lulus saya memperoleh piagam setengah kuarto dengan ketikan yang border-nya berupa tanda uang Amerika Serikat : $$$$$$$. Piagam itu sebagai tanda “Pemegang kedjuaraan ketjakapan didalam kelasnja.”

Yang menandatangani adalah Pengurus Persatuan Orangtua Murid (POM), terdiri pimpinan sekolah Siswomihardjo (ayah dari pelukis Godod Sutejo), ketua Hadisoebroto (ayah dari teman saya, Sugeng Sudewo) dan secretaris (memang tertulis pakai huruf “c”), Samto, bapak guru kelas 5 saat itu.

Saya tidak ingat lagi pada momen apa piagam itu saya terima. Hanya berkat ketelatenan ayah saya yang menyimpan dan melaminasinya dengan, plastik walau toh sebagian pinggirnya sudah gripis dimakan rayap, kenangan tentang masa 44 tahun yang lalu itu dapat tertayang. Memang hanya sepotong-sepotong.

Yang pasti, kehadiran ayah setiap Sabtu dan Minggu merupakan hari kegembiraan bagi kami bertuju, anak-anaknya saat itu. Kini anaknya ada sepuluh. Antara lain, Mayor Haristanto, Bhakti Hendroyulianingsih, Broto Happy Wondomisnowo sampai Basnendar Heriprilosadoso yang kreator logo Galeri Nasional di Gambir, Jakarta. Dalam foto di bawah ini, saya paling kiri, diambil tahun 1960. Ke kanan : Budi, Bari dan Mayor bersama Ibu. Dari istri kedua, Ibu Suminten, keluarga kami kemudian dikaruniai tiga putri : Bonar Heni Sumponorini, Dwi dan Yayuk.




Karena absennya figur bapak antara hari Senin sampai Sabtu, yang orangnya disiplin dan cermat, mungkin justru yang agak memberi “hawa bebas” bagi anak-anaknya. Bebas guna menyuburkan perilaku sikap-sikap kreatif bagi anak-anaknya pula. Bermain di kali Bengawan Solo (“kalau ketahuan, dihukum a la waterboarding-nya Dick Cheney, yaitu diguyuri air sampai kedinginan dan rada gelagepan”), berbagi humor, berkartun, melukis, dan menulis.

Pendek kata, memperoleh gemblengan tak sengaja untuk menjadi maverick :-). Boleh jadi karena hal itu pula, sehingga tak ada satu pun anaknya ketika dewasa tertarik mengikuti jejaknya sebagai tentara. Karena tentara merupakan sosok yang sepertinya “tidak kreatif” di mata kami. Terlalu banyak peraturan dan kekangan :-).

Cerita-cerita baru. Kegembiraan karena kedatangan ayah itu berkesan terutama bagi saya, sebagai anak pertama. Karena kami akan memperoleh cerita dan cerita baru yang dibawa beliau dari kota. Juga terkadang dongengan mengantar tidur.

Misalnya dongeng tentang Joko Kusnun.

Pemuda desa itu berkerjanya berjualan layang-layang. Suatu hari, naas, dirinya tertimpa hujan deras. Sehingga barang dagangannya rusak. Karena takut dimarahi ayahnya, ia tidak pulang ke rumah. Ia menggelandang di kota, tidurnya di pohon.

Kalau Anda melihat dua pohon beringin di depan gerbang kebon rojo, Taman Sriwedari Solo, saya selalu membayangkan Joko Kusnun memang tidur di sana. Di cabang pohon tersebut. Ia ditemukan sang raja ketika hendak bercengkerma di taman raja itu. Ia lalu mengabdi, sebagai punggawa istana.

Cerita lucu dari ayah saya meledak di mata anak-anaknya bila ia melakukan act out, yaitu menirukan beberapa aksi temannya sesama tentara. Misalnya ada tentara yang disebut nyentrik, yang seperti ayah saya setiap Sabtu akan pulang kampung. Ketika disapa, si teman tersebut akan selalu menjawab : “Biasa dik, minggon !”

Suatu saat lain, sang tentara teman ayah saya yang nyentrik itu berseru : “Tai asu ! Tai asu !” Rupanya ia menemukan kotoran anjing di halaman asrama tentara.

Kami langsung terserap perhatiannya.
Misalnya, apa yang akan terjadi dengan kotoran anjing tersebut ?

Dalam dunia mengkreasi lawakan, pancingan itu lajim disebut sebagai sebuah set up, jebakan. Disusul kemudian titik ledak yang tak terduga-duga, berpotensi mengguncang, memberikan kejutan, juga tawa, yang biasa diberi label sebagai punchline. Pak tentara nyentrik itu ternyata lalu bilang :

Nggo rabuk !”
Untuk pupuk.
Guna mempersubur tanaman.

Begitulah, ucapan “Biasa dik, minggon !” sampai kisah heboh kotoran anjing itu tetap sering muncul dalam cerita-cerita keluarga kami. Sampai kini.

Mendongeng di kelas. Momen lomba melucu antaranak juga terjadi ketika kami bermain remi. Ayah melawan anak-anaknya. Karena merasa memiliki status setara, maka ketika sang ayah mengalami kekalahan dalam permainan, dan harus menjadi pengocok kartu, ejekan pun berhamburan.

Kami sering menyebut-nyebut merek minyak obat gosok, yang berkhasiat menyembuhkan rasa capek bapak ketika harus dihukum sebagai pengocok kartu.

Reuni lomba melucu antaranak itu, bahkan sejak tahun 1987 memperoleh arena yang lebih luas. Melibatkan keluarga besar keturunan kakek-nenek dari garis Sukarni (1933-1993), ibu saya, yang bernama Trah Martowirono. Reuni tahun 2009 berlangsung di Benteng Vrederburg, Yogyakarta.

Mungkin karena gojlokan memperoleh cerita dan cerita itu, membuat salah satu pelajaran favorit saya di sekolah dasar adalah bercerita di depan kelas. Seingat saya, kalau teman-teman lain seperti almarhum Slamet Hartanto dan almarhum Suparno sering mengulang cerita mengenai kucing kurus melawan kucing gemuk, seingat saya saya pernah bercerita tentang Pemberontakan di Kapal Tujuh, Tenggelamnya Kapal RI RI Matjan Tutul, sampai Hikayat Indera Bangsawan.

Cerita dan dongeng rupanya menyemaikan kegemaran saya terhadap bacaan Buku favorit saya saat itu adalah serial novel Nogososro Sabukinten, karya S.H. Mintardjo. Seingat saya, pada jilid pertama, pembukanya berupa kalimat bernuansa menakutkan : “Awan hitam bergulung-gulung di langit Mataram,” yang kemudian sering saya contek dan saya modifikasi ketika ikut lomba mengarang.

Mungkin Pak Mintardjo terilhami oleh kalimat yang sering disebut-sebut sebagai contoh baris pembuka dalam pelajaran mengarang, yang berbunyi : “It was a dark and stormy night” yang terkenal itu.

Setiap awal bulan, ketika novel tentang Maheso Djenar itu terbit, saya menulis dalam sebuah kertas kecil. Misalnya, “Nogososro Sabukinten, jilid 10.” Lalu kertas itu saya masukkan diam-diam di kantung baju seragam ayah saya. Di hari Minggu sore. Sebelum ia kembali bertugas ke Yogya.

Mungkin dari hanya terbiasa menulis judul–judul buku di kertas kecil itu, saya kini menjadi memiliki kegemaran untuk menulis. Hingga mampu menghadirkan buku humor yang ketiga, dengan judul Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Etera Imania, 2010) yang diluncurkan awal Desember 2010 ini.

Pasalnya, kertas kecil di saku baju tentara ayah saya itu, memang menghadirkan mukjijat. Karena pada hari Sabtu sore minggu depan saya telah memiliki buku baru dan bacaan baru, yang sangat saya idamkan.

Terima kasih, Pak Kastanto.
Juga Ibu Kastanto.

Ayah yang lahir tanggal 21 Januari 1928 di Wuryantoro, meninggal dunia mencapai usia 54 tahun tanggal 9 Desember 1982, hari Kamis Wage, di RSUD Wonogiri. Tanggal yang sama adalah tanggal kelahiran Tamilla Abassova, atlet balap sepeda Rusia dan Nathalie De Vos, atlet Belgia. Juga hari wafatnya Leon Jaworski (kelahiran 1905), hakim yang menangani kasus skandal Watergate di Amerika Serikat.

Setiba dari Jakarta, pagi itu saya diantar adik ipar saya Nano, ke rumah sakit. Beliau sudah dalam keadaan koma, karena sakit sirosis hati dalam tingkat lanjut. Saya mencatat suasana hati, juga membuat skets di buku harian saya, apa yang saya cerna dan rasakan saat itu.

Oleh ibu saya diminta mengucapkan sesuatu ke telinga beliau. Saya sebutkan nama saya, menyapa beliau. Sejurus kemudian, nampak genangan air mata. Rupanya beliau masih mendengar, moga-moga juga mendengar doa saya.

Semoga beliau kini tentram dan selalu sejahtera di sisiNya.



Wonogiri, 9 Desember 2010