Thursday, July 29, 2010

In Memoriam: Bulik Gunarni : Tokoh Pertama Yang Mengenalkan Dunia Olahraga



Oleh : Broto Happy W.
Email : brotohappy (at) yahoo.com


Berita duka cita meninggalnya Bulik Gun di Purwokerto, tentu begitu mengagetkan. Saya menerima kabar ini pertama kali dari Lik Bhawarto lewat pesan singkat pada Senin (12/7) siang jam 10.55. Hanya karena saya habis begadangan mengerjakan tabloid BOLA edisi Senin yang memuat liputan hasil final Piala Dunia Afsel 2010, pesan pendek itu baru saya baca tengah hari setelah bangun tidur.

Inilah kelemahan para “Bangsawan”. Informasi yang bergulir sejak pagi hingga siang hari, selalu telat direspons. Itulah yang terjadi pada saya. Maklum, saya termasuk “Bangsawan” tadi alias Bongso Tangi Awan. Kelompok yang bangun tidur selalu di siang hari!

Kemenangan timnas Spanyol, salah satu favorit saya selain yang utama Jerman, tetap terasa hambar. Kebahagian kemenangan tim jagoan saya atas Belanda lewat gol tunggal Andres Iniesta tetap terasa ‘ampang’. Pikiran saya terganggu dan tersita oleh berita duka ini.

Untuk segera berangkat ke Purwokerto tentu bukan urusan mudah. Apalagi, urusan pekerjaan di kantor juga tetap banyak. Toh kalau dipaksakan berangkat ke Kota Keripik, jenasah bulik pun pasti sudah dimakamkan. Akhirnya, hanya doa tulus yang bisa saya lantunkan untuk Bulik Gun tercinta. Semoga damai dan tenteram pulang ke rumah Bapa di Surga. Saya yakin Bulik kembali ke sorga dengan bahagia. Begitu pula dengan keluarga yang ditinggalkan, semoga diberi kekuatan dan ketabahan iman! Amin!

Meninggalnya Bulik Gun meninggalkan sejumlah kesan mendalam bagi saya. Lewat bulik pula, setidaknya saya telah dikenalkan dengan dunia olahraga sejak merangkak ke masa remaja. Berkat bulik pula ternyata dunia olahraga itu kini menjadi profesi dan karier saya sebagai wartawan Tabloid BOLA.

Ceritanya, ketika saya duduk di seputaran bangku sekolah dasar kelas empat atau lima. Suatu ketika saya diajak ibu mengunjungi Bulik Gun di tempat tinggalnya, di kompek perumahan Lembaga Pemasyarakatan di Donoharjo, Wonogiri. Tempat ini ketika kecil lebih terkenal dengan nama Jembrok. Bulik tinggal bersama Om Prijardjo Drijonomarkus di sebuah rumah di sebelah kiri depan komplek LP. Di depan rumah itu ada lapangan tenis. Di sini saya baru tahu inilah yang disebut olahraga tenis. Maklum, ketika ibu bersilaturahmi dengan bulik, saya memilih bermain keluar rumah dengan menonton permainan tenis yang dimainkan para karyawan LP.

Saya tahu ternyata Om Pri dan Bulik Gun adalah olahragawan sejati. Keduanya tak hanya bisa main tenis, tetapi juga berprestasi. Itu saya ketahui saat melihat-lihat album foto hitam putih. Di dalam album itu, saya menjumpai foto-foto om dan bulik yang sering bepergian ke luar kota untuk bertanding. Seingat saya, ada salah satu foto itu memperlihatkan pose Bulik Gun difoto dengan kostum kebesarannya: semuanya serba putih. Kaus putih, rok putih, juga kaus kaki dan sepatu. Kostum serba putih ini mungkin diilhami oleh trend yang berkembang saat itu atau mengikuti penampilan para juara tenis dunia saat berlaga di Wimbledon!

Kesan bahwa keluarga ini adalah pecinta olahraga tenis sejati terasa makin kental setelah duduk di ruang tamu. Di dinding tergantung raket tenis yang terbuat dari kayu. Saat digantung di dinding, agar tidak gampang melengkung atau berubah bentuk, di bagian kepala raket tersebut di-press atau diberi rumah.

Ketika itu, sambil nonton di luar lapangan yang dibentengi kerangkeng ram kawat, rasanya kepengin sekali bisa memegang dan memiliki bola tenis yang berwarna kuning itu. Tak heran, ketika ada bola yang dipukul melenceng keluar lapangan, saya dan juga anak-anak kecil lain, langsung berebut untuk mendapatkannya. Padahal, setelah didapat, bola kuning itu pasti diminta kembali oleh para pemain tenis. Maklum, ketika itu bola tenis termasuk benda mewah.

Ketika saya diberi oleh-oleh bola tenis oleh Om Pri atau Bulik Gun, senangnya bukan main. Kendati bola itu sudah gundul itu, rasanya sungguh menyenangkan. Maklum, bola itu bisa dimainkan di rumah karena karakternya yang mudah dipantul-pantulkan itu.

Entah karena mukjizat bola tenis gundul ini atau karena hal lain, saya memang jadi begitu keranjingan olahraga. Main sepakbola oke, main badminton juga oye. Apalagi saat duduk di bangku SMP, bapak membuat meja pingpong di rumah. Hari-harinya pun sarat dengan kegiatan olahraga.

Berkunjung ke Purwokerto

Kembali ke kesan mendalam dengan mendiang Bulik Gun. Waktu berjalan begitu cepat. Mungkin berkat pengenalan Bulik Gun dengan dunia olahraga di kala kecil, saya pun kemudian meretas karier sebagai wartawan olahraga. Sambil kuliah di Jurusan Publisistik, Fakultas Sosial dan Politik, Universitas Sebelas Maret Solo, mulai tahun 1986 saya menjadi koresponden Tabloid BOLA di wilayah Jateng dan sekitarnya.

Karena jangkauan daerah liputan yang demikian luas dan harus dikerjakan sendirian, bukan persoalan sulit bagi saya untuk mengunjungi kota-kota di Jateng dan Yogyakarta, termasuk ke Purwokerto. Sebenarnya Kota Keripik ini tidak termasuk kota yang memiliki kegiatan olahraga yang menonjol di Jateng. Namun Purwokerto telah melahirkan perenang tangguh, Meitri Widya Pangestika, yang kerap membela Indonesia di forum internasional.

Karena dinilai berhasil, sering kali Tabloid BOLA menugaskan saya untuk ke Purwokerto untuk membuat liputan seputar pembinaan renang di sana. Kesempatan seperti inilah yang sering saya gunakan untuk sekalian bersilaturahmi ke rumah Om Pri di kawasan Bantar Soka. Bahkan, kalau tidak tengah dikejar deadline, tidak jarang saya memilih menginap.

Kalau ingatan saya tidak keliru, kamar di bagian depan sebelah kanan rumah Om Pri memang sengaja dikosongkan untuk tamu. Ini menjadi kamar favorit saya setiap berkunjung ke Purwokerto. Tak hanya kamar tidur, yang membekas di benak saya adalah keberadaan sumur yang berada di sebelah kiri rumah, dekat dapur.

Karena belum berlangganan air bersih, setiap mau mandi, kita wajib menimba dulu. Hanya, rasanya senang saja menimba air di rumah Om Pri ini. Pasalnya, beberapa tarikan tali tambang, ember yang bersisi air sudah berada di atas dan tinggal dituang ke dalam bak mandi. Ini berbeda dengan sumur di rumah Kajen, Wonogiri, yang begitu dalam dan melelahkan setiap menimba.

Yang tidak kalah berkesan, yaitu saat makan. Entah itu sarapan atau makan siang. Bulik Gun selalu menyediakan masakan khas Purwokerto. Lewat bulik juga saya bisa mengenal yang namanya tempe mendoan. Sesuatu yang tidak pernah saya temui di Kajen!
Hanya itu kesan manis dengan mendiang Bulik Gun? Oh tidak. Cerita dan kenangan dengannya terasa banyak. Sulit untuk ditulis satu per satu. Bulik juga begitu ramah dan hangat dalam menyambut keponakannya yang datang. Pendeknya, bulik begitu perhatian.

Pernah suatu kali saya bertugas liputan lagi ke Purwokerto. Saya pun, seperti yang sudah-sudah, selalu menyempatkan mampir. Hanya, kunjungan kali ini malah merepotkan Bulik Gun. Karena sejak dari Solo sudah nyut-nyutan, sakit gigi saya kumat. Wah, terasa begitu sakit! Hingga kini, saya belum pernah merasakan sakit gigi yang demikian hebatnya seperti yang saya rasakan di Purwokerto.

Bulik pun jadi repot. Namun di sinilah hebatnya bulik. Dia tak ubahnya ibu. Bulik dengan sabar menyiapkan ramuan tradisional. Kalau tidak keliru daun sirih ditumbuk dan airnya untuk kumur-kumur. Sambil menyuruh berkumur-kumur air daun sirih, Bulik yang duduk di depan saya, terus berdoa sambil memejamkan mata.

Hasilnya: luar biasa! Sakit gigi saya berkurang. Nyut-nyutan yang membuat kepala pening berangsung-angsur hilang. Saya pun esok harinya bisa kembali ke Solo dengan nyaman dan tidak diganggu sakit gigi lagi.

Kini, Bulik Gun sudah tenang dan tenteram di Surga. Yang kita ingat hanya budi baik, jasa, dan suri teladannya. Saya yakin, kasih sayang dan pengorbanan tulus yang diberikan Bulik Gun itu tidak hanya saya rasakan sendirian, tetapi juga oleh keluarga, keponakan, dan saudara-sadara yang lain. Saya juga percaya segala budi baik dan kasih sayang Bulik Gun itu telah dibagi dan dirasakan kepada semua orang.

Selamat jalan Bulik Gun! Kasih sayang, kehangatan, dan segala pengabdiannya, akan selalu saya kenang. Terima kasih atas semua jasa dan keteladanannya untuk saya sendiri dan juga untuk umat manusia!

Semoga damai di rumah Bapa di surga!


Bogor, 29/7/2010

Wednesday, July 28, 2010

Hadir Kini, Profesor Di Tengah Trah Martowirono Kita



Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) yahoo.com

Keluarga Besar Trah Martowirono berbangga karena salah satu warganya, Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd., akan dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang ilmu Konsep Dasar Bahasa dan Sastra Indonesia pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.

Waktunya : Senin, 2 Agustus 2010. Bertempat di Auditorium UNS Jl. Ir. Sutami 36 A Kentingan, Surakarta. Acara dimulai jam 10.00.

Judul pidato beliau di depan Sidang Senat Terbuka UNS adalah "Pembentukan Karakter Anak Bangsa Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia."

Rindu bertemu. Dalam email 26/7/2010 yang dikirimkan kepada Bambang Haryanto, tertulis : “Met malam Mas Bambang. Kemarin saya ke rumah dik Endah, Yogya, titip undangan 2 Agustus. Saya harapkan bisa rawuh dengan keluarga yang lain.

Dalam undangan tertulis untuk satu orang dan undangan harap dibawa; itu hanya formalitas alias undangan satu bisa untuk 2 orang. Mohon doa restu agar acara pengukuhan guru besar saya berjalan lancar dan sukses. Amin.

Salam hormat dan rindu bertemu buat seluruh keluarga besar Martowirono.”

retno winarni,agus,trah martowirono,guru besar uns,pendidikan bahasa indonesia

Selamat untuk Ibu Winarni, Bapak Agus, dan seluruh keluarga yang berbahagia. Prestasi beliau ini pasti menjadi teladan, inspirasi yang mencerahkan dan menghangatkan hati bagi seluruh warga keluarga besar Trah Martowirono. Seperti halnya saat kehadiran kedua beliau dan keluarga, antara lain nampak dalam foto saat hadir dalam acara Reuni Trah Martowirono XXII, Di Kajen Wonogiri, 5 Oktober 2008.

Trivia dari Kajen. Mungkin ini berita tak begitu penting. Insya Allah, kontingen kubu Kajen, keturunan taler IV, Sukarni/Kastanto Hendrowiharso, akan hadir. Bahkan melalui hubungan kabel panas, alias hotline antara Wonogiri-Solo-Bogor, segera kami mempersiapkan “sesuatu” dalam menyambut dan memeriahkan momen bersejarah itu. Kata kunci untuk happening tersebut adalah : atraksi makan beling :-).

Sebagai catatan sejarah, bersamaan dengan pengukuhan Ibu Retno Winarni juga dilaksanakan acara pidato serupa oleh Prof. Dr. Ir. Nandariyah, M.S. Beliau ini akan dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang ilmu Pemulihan Tanaman pada Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret.

Judul pidatonya adalah "Pemulihan Tanaman Buah-Buahan, Peluang dan Tantangan Dalam Mendukung Kemajuan Pertanian di Indonesia."

Kehadiran guru besar berikutnya dari keluarga besar Trah Martowirono, saya yakin, akan segera menjadi kenyataan. Kita tunggu dengan kegembiraan !


Wonogiri, 28/7/2010

Warga Trah Di Tengah Jagongan Media Rakyat 2010




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com


Pohon palem muda itu nampak tidak terurus.
Lokasinya di Alun-Alun Utara Solo.
Antara tahun 1973 atau 1975.

Siapa sangka, pohon itu merupakan embrio paling awal gagasan berdirinya komunitas Epistoholik Indonesia (EI). Saat itu saya menulis surat pembaca ke surat kabar Suara Merdeka, memasalahkan pohon palem yang terlantar tersebut.

Surat pembaca saya dimuat. Pohon palem itu tidak jadi mati, disirami, dan terpelihara hingga tumbuh besar. Saya pun segera kecanduan untuk terus menulis surat-surat pembaca. Benih komunitas Epistoholik Indonesia mulai disemaikan.

Kalau saya sekarang ini berjalan-jalan di Alun-Alun Utara Solo, seolah saya mendengar pohon-pohon palem itu berseru : "Halo Pak Bambang, apa kabar ? Terima kasih atas bantuan bapak, yang membuat kami kini tumbuh subur dan berkembang.Terima kasih, pak !"

bambang haryanto,jagongan media rakyat 2010,epistoholik indonesia,surat pembaca

Cerita rekaan itu saya ulang di Pendopo Jogja National Museum, Jumat, 23 Juli 2010, malam. Audiens pun tertawa-tawa. Saya bisa hadir di komplek bekas kampus ASRI/ISI itu saya diundang oleh panitia Jagongan Media Rakyat 2010.

Untuk mendongeng mengenai kiprah saya selama ini, selama 35-37 tahun, sebagai penulis surat pembaca dan sebagai penggerak komunitas Epistoholik Indonesia (EI) yang berkiprah dalam aktivitas penulisan surat pembaca. Di panggung tertempel banner dengan teks berbunyi :

Talkshow : "Memindahkan" Himalaya Melalui Surat Pembaca.
Jumat, 23 Juli 2010.
Narasumber : Bambang Haryanto
(Pendiri Komunitas Epistoholik Indonesia).


Laporan akan berlanjut.
Untuk laporan pertama, silakan Anda klik di sini dahulu. Terima kasih.


Wonogiri, 27/7/2010

Berstirahat Dalam Damai, Ibu Gunarni (1937-2010)





Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com


"Berita duka. Telah menghadap Bapa di Sorga pada hari ini : 1. Ibu Gunarni di Purwokerto dan 2. Bp. S. Parjan di Wiladeg GK."

Pesan singkat itu berasal dari Bapak Untung Suripno, Yogyakarta, yang saya terima di Kajen, Wonogiri, Senin, 12 Juli 2010, Jam 0.46.48. Sejurus kemudian pesan singkat yang sama, saya terima dari Bapak Bhawarto.

Berita duka itu lalu berantai, menyebarkan rasa duka mendalam kemana-mana. Intinya, keluarga besar Trah Martowirono kembali kehilangan salah satu waris terdekatnya.

"Sugeng tindak, Bu Lik Gun. Keluarga Kajen dan juga seluruh warga Trah Martowirono, di mana pun berada, senantiasa mendoakan agar beliau kini tentram, beristirahat dengan damai, di sisi Yang Maha Kuasa.

Semoga pula keluarga yang ditinggalkan, baik putra-putri beliau, Santoso Priyo Utomo, Didut, Ida, Ririn dan Diyan dan semua wayah, memperoleh rahmat kesabaran dan ketegaran dalam menerima kesedihan ditinggal oleh ibu dan eyang yang tercinta."

Kenangan pribadi. Bu Lik Gun dan Om Pri (Markus Priyarjodriyono), pernah mengajak saya untuk main-main ke tempat kerjanya. Di Lembaga Pemasyarakatan Solo. Lalu juga ke mess pegawai LP, persis di belakang LP. Sebelah barat kantor pos Solo.

Sepertinya, baik rumah atau pun gerbangnya belum banyak berubah sampai saat ini. Saat itu saya masih duduk di klas 3 atau 4 SD, karena, kalau tidak salah ingat, itu terjadi ketika Solo belum dilanda banjir besar tahun 1966.

Data tentang almarhumah menjadi lebih valid ketika saya bersama Bari berbincang-bincang dengan Sriawan (almarhum), Senin, 15 Oktober 2007. Setelah sehari sebelumnya mengikuti Reuni Trah Martowirono di Polokarto dan mendapat kabar mengenai sakitnya Lik Awan, saya bersama Bari mengunjungi beliau di rumahnya, di Kedungringin, Wonogiri.

Mengulang kembali, kita tahu, ayah Lik Awan yang bernama Eyang Ratmowijoyo (kelahiran Januari 1910), adalah adik dari mBah Dung putri alias mBah Martowirono putri.

Mereka bertiga dengan anak yang terkecil bernama Bangin Martosuwiryo, yang ayah dari Lik Bhawarto, ketiganya merupakan putra/putri keluarga Makun Martowijoyo.

Eyang Ratmowijoyo yang memiliki nama kecil Walijan, memiliki istri pertama, bernama Dalmi, asal Serenan, Klaten. Dikaruniai dua putri, Gunarti (meninggal 1963, makamnya di Kajen, Wonogiri) yang bekerja di Agraria Wonogiri. Putri keduanya, Gunarni, kelahiran tahun 1937, bekerja di Lembaga Pemasyarakatan. Almarhumah pernah tinggal lama di Wonogiri bersama suaminya Priyarjodriyono Markus (almarhum), dan sekarang tinggal di Purwokerto.

Istri kedua Eyang Ratmowijoyo bernama Misni, asal Banmati, Kenep, Sukoharjo. "Saya masih ingat beliau, karena memiliki ciri khas, bergigi emas," kata saya. Lik Awan pun mengiakan. Dari perkawinan ini telah lahir dua putra, yaitu almarhum Sriawan (28 April 1959-5 Februari 2008) dan Dwiaji Nugroho yang sekarang tinggal di Tangerang.

Lik Awan dan Bu Lik Gun.
Keduanya sama-sama telah dipanggil Tuhan.
Kita harus merelakannya.

Adakah warga Trah Martowirono memiliki kenangan atau foto-foto tentang kedua beliau ? Saya tunggu, untuk bisa kita pajang di blog trah kita ini. Mas Santoso, saya sabar menunggu tulisan Anda.


Wonogiri, 27/7/2010