Tas Ulih-Ulih, Trah Kita Menyelamatkan Dunia
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Cinta dalam segenggam cabe. “Mobil, mebel, istri sampai anak, semuanya disposable, mudah dibuang. Karena yang utama dewasa ini adalah berbelanja.” Demikian kata Arthur Miller, dramawan terkenal dari Amerika Serikat.
Potongan dialog dalam naskah dramanya yang berjudul The Price (1968) itu membuat saya tersenyum. Sebagai bujangan tua, ya pasti saya belum pernah membuang istri, apalagi membuang anak. Membuang mobil sampai mebel, baik milik sendiri atau milik tetangga, juga belum pernah. Tetapi mental suka “berbelanja,” sebagaimana orang kebanyakan, adalah sebagian aktivitas sehari-hari saya.
Aktivitas berbelanja adalah keharusan. Karena saya masak sendiri. Di Pasar Wonogiri saya memiliki kios favorit tertentu untuk membeli 6 T : tahu, telur, tempe, teri, tomat sampai terasi. Juga ada kios untuk membeli cabe yang murah. Atau membeli cabe di mana pedagangnya yang cantik memberi bonus istimewa.
Berupa mata yang berkilat-kilat, yang setiap kali bertemu memberi isyarat bisu yang getarnya menderu-deru : “Apa kabar, sayang ?” Selama masih doyan cabe, saya baik-baik saja. Kita akan selalu bertemu. :-).
Begitulah. Sebagaimana slogan a la mBah Surip bahwa “Trah Martowirono ada di mana-mana,” isyarat cinta juga ada di mana-mana. Termasuk tersembunyi di balik tumpukan cabe keriting di kios pasar. Tetapi di swalayan, selama ini, belum saya temukan isyarat-isyarat indah seperti di kios lombok itu. Malahan tatapan mata yang mengandung keheranan.
Sumber tak terbarukan. Kasir swalayan, baik di Tiptop dan Terminal Arto di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, atau Baru di Wonogiri, sering memandangi saya dengan heran. Yaitu ketika saya tidak mau barang-barang yang saya beli mereka bungkus dengan tas plastik. Karena saya memang membawa tas sendiri dari rumah. Tas itu pun bisa saya pakai berkali-kali. Sebuah buku memberi saya ilham untuk berbuat itu.
Tahun 1992 saya memfotokopi dari perpustakaan American Cultural Center di Jakarta sebuah buku menarik : 50 Simple Things You Can Do To Save The Earth (1989). 50 Hal Sederhana Yang Dapat Anda Lakukan Untuk Menyelamatkan Bumi Kita. Tentang tas-tas plastik yang sering kita peroleh saat berbelanja di swalayan (foto), buku itu membeberkan fakta mengejutkan.
Misalnya : tas-tas plastik itu tidak bisa diurai, terbuat dari minyak tanah, sumber energi yang tidak terbarukan. Bila plastik itu terbawa ke laut berpotensi membunuh satwa laut, karena disangka sebagai makanan yang membuat buntu pencernaannya. Tinta cetak di tas itu mengandung cadmium, logam berat beracun. Bila sampah itu dihancurkan maka cadmium tersebut akan mengapung ke udara kita.
Merujuk ancaman pencemaran yang serius oleh milyaran tas-tas plastik itu membuat pemerintah Cina melarang toko-toko swalayan membagikan sarana pembungkus itu. Sebagaimana dikutip situs koran The New York Times (http://www.nytimes.com/2008/01/09/world/asia/09iht-plastic.1.9097939.html?_r=1), sejak 1 Juni 2008 larangan itu diberlakukan. Kemudian penduduk Cina dianjurkan pergi ke toko dengan membawa tas kain dan keranjang belanja.
Langkah Cina itu tidak sendirian. Peraturan yang melarang penggunaan tas-tas belanja plastik itu juga diberlakukan di Afrika Selatan, Irlandia, Taiwan, juga Bngladesh dan kota-koat kecil di negara bagian Alaska di Amerika Serikat. Tahun lalu, San Francisco (AS) juga melarang produk serupa. Di Jakarta, Bandung dan kota-kota lainnya di Indonesia, akhir-akhir ini juga muncul gerakan cinta lingkungan yang mengajak masyarakat pergi berbelanja dengan membawa tas kain dari rumah.
Trah kita harus juga ikut serta. Bagaimana langkah trah kita ? Dalam acara reuni Trah Martowirono XXIII/2009 di Yogyakarta, keluarga besar Taler 1 Haswosumarto-Suripti sebagai tuan rumah, telah membekali masing-masing peserta reuni berupa bingkisan ulih-ulih yang berkesan. Dalam foto nampak “Jenderal” Wiranto dari Tekaran sebagai model yang menjinjing bingkisan bersangkutan.
Ketika hiruk-pikuk Benteng Vredeburg surut, isi bingkisan yang manis itu seolah membuat aroma pertemuan bersejarah kembali berparade di kepala. Semakin menjadikan momen berkesan yang sulit dilupakan.
Tetapi yang juga sangat istimewa adalah tas kain yang membungkus ulih-ulih itu. Juga pesan disebaliknya. Bagi saya, tas kain itu di hari-hari mendatang akan selalu saya bawa bila hendak berbelanja, terutama bila ke swalayan. Mungkin kasir toko akan merasa keheranan.
Mungkin secara sekilas mereka akan membaca tulisan “Reuni Trah Martowirono XXIII-2009” dari tas yang berkontur batik itu. Mungkin mereka juga tidak sempat berpikir bahwa dengan membawa tas unik itu saat berbelanja ke tokonya memiliki makna yang tidak kecil bagi warga trah kita tercinta dalam ikut berupaya menyelamatkan dunia.
Dengan tas itu, sekali lagi seperti plesetan lirik lagunya mBah Surip, bisa membawa bendera “Trah Martowirono ada di mana-mana.” Bila itu yang terjadi, saya merasa almarhumah Bude Haswo (wafat 30 November 1986), alias Ibu Suripti dan Pakde Haswosumarto, pasti berbangga dengan gagasan dan kiprah putra-putri, sekaligus cucu-cucunya di reuni trah kita itu.
Yang antara lain secara elegan mampu memberi warna Reuni Trah Martowirono XXIII-2009 dengan pesan yang luhur bagi semua warga trah, bahwa mulai hari itu kita mampu berbuat untuk ikut serta menyelamatkan dunia. Caranya mudah : bawalah dan gunakanlah tas kain bersejarah saat berbelanja.
Di mana-mana.
Ke mana-mana.
Wah, Trah Martowirono, mantep to ?
Wonogiri, 4/10/2009
trahmar
No comments:
Post a Comment