Friday, December 18, 2009

Trah Martowirono, 19 Desember : 1987-2009




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com


Antara Madrid dan Martowirono. Pemain sepakbola asal Perancis itu kini “masuk” sebagai warga Trah Martowirono.

Bahkan upacara “kemasukan” dia tersebut mungkin dipestakan di markas timnya hari ini, 19 Desember 2009. Markas itu adalah stadion Santiago Bernabeu di kota Madrid yang ibukota Spanyol.

Sungguh suatu kebetulan bahwa salah satu pusat magnet sepakbola Eropa dan dunia tersebut pernah dikunjungi oleh salah seorang warga trah kita, Broto Happy Wondomisnowo. Siapa pesepakbola asal Perancis dan mengapa ia bisa “masuk” sebagai warga trah kita ?

Dia adalah pemain yang bernomor punggung 10, asal Perancis. Namanya : Karim Benzema. Ia lahir tanggal 19 Desember 1987. Pada tanggal yang sama, di belahan bumi lain, tepat dilangsungkan reuni pertama warga Trah Martowirono. Di Kedung Gudel, Kenep, Sukoharjo. Jawa Tengah. Indonesia. Asia. Itulah dua simpul yang menarik, yang bisa menalikan kaitan antara Madrid dan Martowirono.


Vertikal ke horisontal. Saya tidak hadir pada acara tersebut. Sepertinya saat dilangsungkan kebetulan tidak berdekatan dengan hari raya Lebaran, seperti tradisi reuni trah kita yang mutakhir.

Saat itu saya tinggal di Jakarta. Tanggal itu saya catat daam buku harian saya : saya lagi gantian :mengunjungi rumah “har” di Teluk Gong, Jakarta Barat. Mahasiswi artistik ini saat itu belajar di Desain Produksi Universitas Trisakti, Jakarta. Sayangnya, dia kemudian tidak berhasil saya ajak untuk bergabung sebagai warga trah kita ini.

Foto-foto. Dan cerita. Reuni pertama trah kita itu terekam di benak saya dari sumber foto-foto yang sempat saya lihat. Juga dari prasasti kain yang ditandatangani warga trah kita yang hadir. Foto-foto liputan momen itu ditempel di papan, dibingkai plastik, bersama prasastinya, telah dipajang di rumah mBah Dung. Tempatnya di gebyog sisi timur laut ruang tamu, di dekat pintu menuju bango dan juga ke dapur.

kedung gudel,trah martowirono,sukarni

Foto reuni ?. Foto ini saya jepret sekitar tahun 1980-an dengan kamera SLR Zenith, buatan Cina. Nampak Eyang Martowirono Putri (kiri) dan Eyang Darmowantoro Putri (kanan). Suami Eyang Darmo ini adalah adik nomor dua dari eyang Martowirono Kakung. Tengah, ibu saya, Sukarni Kastanto Hendrowiharso. Saya tidak tahu apakah foto-foto yang berada di latar belakang beliau-beliau itu merupakan foto-foto pertemuan trah yang pertama, tahun 1987 itu.

Ada momen human interest terkait foto-foto itu. Suatu ketika saat berkunjung ke Kedung Gudel, saya menemukan ada tambahan foto baru, yang di-blesekkan di dalam bingkainya. Agak setengah “memaksa” masuk.

Ternyata itu merupakan foto keluarga Om Priyardjodriyono Markoes dan Bulik Gunarni, yang kini tinggal di Purwokerto. Keluarga ini dikarunia putra-putri : Santoso Priyo Utomo, Didut, Ida, Ririn dan Dian.

Bulik Gun, istri Om Pri yang kariernya panjang di Lembaga Pemasyarakatan, adalah putri dari Eyang Walijan Ratmowijoyo. Eyang Ratmo ini adalah adik nomor dua dari mBah Dung Putri, Jiah Martowirono. Adik terkecil dari mBah Dung Putri adalah Eyang Bangin Martosuwiryo, yang anak-cucunya, seperti Bapak Bhawarto, kini ikut pula bergabung dalam Trah Martowirono.

Jadi blesekan foto itu merupakan niat baik, di mana gugus keluarga kategori vertikal yang ingin bergabung di gugus horisontal.

Trah kita untuk dunia. Saya tidak tahu di mana arsip foto-foto lama itu kini berada. Saat itu belum ada kamera digital, sehingga untuk berbagi foto agak mengalami kendala. Berbeda dengan kini, ketika pengambilan, penyimpanan dan pengiriman foto jauh lebih mudah ketika dilakukan secara digital, sehingga catatan sejarah lebih mudah untuk disimpan.

Alangkah lebih baik, seperti yang coba saya lakukan dengan arsip-arsip foto lama dari trah kita, termasuk dengan meluncurkan dan mengelola blog ini, adalah dengan membagikannya. Informasi yang tersimpan hanyalah informasi yang sia-sia. Tak menebar berkah.

Di era sharing pengetahuan ini kita sebaiknya membagikannya kepada keluarga lainnya. Juga kepada sesama umat manusia, sebagaimana visi blog ini pula. Apalagi blog di Internet, secara teoritis, tak akan terhapus untuk sepanjang masa.

Merujuk hal itu, saya dapat mengutip ringkasan yang pernah dibuat oleh Bapak Untung Suripno :

“Pertemuan pertama : 19 Desember 1987. Pertemuan trah Martowirono dimulai pertama kali tanggal 19 Desember 1987 dan berlangsung di Kedung Gudel. Sayangnya mBah Kakung tidak dapat mengikuti karena sudah wafat.

Ibu Suripti tidak bisa mengikuti karena sudah wafat 30 November 1986. Bapak Haswosumarto tidak dapat mengikuti karena sudah wafat 3 November 1987 dan Bapak Sutejo tidak dapat mengikuti karena sudah wafat tahun 1967.

Para sepuh yang hadir adalah mBah Martowirono Putri, Bapak Sutono dan Ibu Sukarni.”

Cakrawala ke depan. Sungguh suatu prestasi dan berkah, pertemuan trah kita masih bisa lestari kelangsungannya setiap tahun. Hingga pertemuan yang ke-23, yang berlangsung di lingkungan Benteng Vrederburg, Yogyakarta, 23 September 2009 yang lalu.

Prestasi unik trah kita itu patut kita syukuri. Karena selain mampu berlangsung setiap tahun sejak tahun 1987 tersebut, kini memiliki isi, sajian, ragam sampai jangkauan yang melebar untuk mampu memberikan manfaat bagi kita bersama.

Di saat indah ini, marilah kita menundukkan kepala. Berdoa sejenak kepada Tuhan Yang Maha Esa agar para leluhur kita, pepunden kita, para orang tua dan kakek-nenek yang kini tidak lagi berada di samping kita, senantiasa mendapatkan tempat yang layak disiNya.

Kita teruskan api keteladanan, nama baik dan prestasi mereka, oleh kita-kita saat ini pada jalur kehidupan yang telah kita pilih untuk menebar kemaslahatan bagi sesama. Berbanggalah sebagai warga Trah Martowirono. Berprestasilah, dan ceritakannya kepada dunia yang senantiasa menantikannya.

Cocet krusa Trah Martowirono !
Hidup, Trah Martowirono !


Wonogiri, 19 Desember 2009

trah mw

Thursday, December 10, 2009

Makna 9 dan 11 Desember Bagi Trah Martowirono



Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com


Hari intifada. Tanggal 9 Desember 2009 kita di Indonesia heboh dengan aksi demo memperingati Hari Anti Korupsi Internasional.

Pada tanggal yang sama juga tercatat kejadian bersejarah di tahun 1990 saat Lech Walesa, pemimpin serikat buruh Solidaritas, memenangkan pemilu langsung pertama Polandia untuk meraih kursi presiden. Pada tahun 1987 terkait konflik Israel-Palestina, pada tanggal tersebut dimulai gerakan intifada di Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Pada tahun 1909 lahir di dunia Douglas Fairbanks, Jr., bintang film AS. Sedang pada tahun 1916, lahirlah bintang film yang lain, juga terkenal, Kirk Douglas, yang ayah aktor/sutradara Michael Douglas. Sonia Gandhi, politisi India kelahiran Italia, lahir pada tahun 1946.

Pemain sepakbola Perancis dan bek klub Bayern Muenchen, Bixente Lizarazu, lahir tahun 1969. Tanggal 9 Desember 1982 adalah tanggal lahir dari atlet balap sepeda Rusia, Tamilla Abassova dan Nathalie De Vos, atlet terkenal Belgia.

Bagi warga Trah Martowirono, khususnya Taler IV, tanggal tersebut, 9 Desember 1982 itu, cukup menggugah kenangan. Karena tepat 27 tahun meninggalnya Bapak Kastanto Hendrowiharso (foto, saat beliau menjadi pengantin, tahun 1952). Beliau meninggal tanggal 9 Desember 1982 di RSUD Wonogiri dalam usia 54 tahun.


Menuju bulan. Peristiwa bersejarah terjadi pada dua hari kemudian, tetapi 10 tahun sebelumnya. Tepatnya, tanggal 11 Desember 1972.

Dunia mencatat usaha manusia menjelajah ruang angkasa. Yaitu : pendaratan wahana ruang angkasa Apollo 17 yang menjadi misi Apollo yang keenam untuk mendarat di bulan.

Itu terjadi di Amerika Serikat. Sementara di belahan dunia yang lain, pada tanggal yang sama, adalah saat meninggalnya Eyang Kakung Martowirono (foto atas). Beliau wafat hari Rebo Legi, 11 Desember 1972, di rumah Kedunggudel. Hari ini kita memperingati 37 tahun meninggalnya beliau.

Tanggal yang sama pada tahun yang lain tercatat, Che Guevara berpidato di depan Sidang Umum PBB di New York (1964). Protokol Kyoto yang mengatur emisi gas rumah kaca demi mencegah bahaya pemanasan global ditandatangani (1997).

Juga ditangkapnya Bernard Madoff, bankir AS, yang melakukan penipuan finansial memakai rumus Ponzi, alias penggandaan uang secara berantai, menimbulkan kerugian sampai 50 milyar dollar. Ia kini dihukum 150 tahun penjara (2008).

Tanggal yang sama pada tahun 1940 adalah tanggal lahirnya David Gates, musikus dari kelompok Bread. Lagu-lagu indahnya antara lain “Aubrey,” sampai “Make It With You.”

Politisi AS dari Partai Demokrat, John Kerry yang gagal bertarung vs Bush, lahir pada tahun 1943.

Kembali ke Kedunggudel. Saat itu, saat Eyang Martowirono wafat, saya duduk di kelas 2 STM Negeri 2 Yogyakarta. Menjelang Eyang Martowirono wafat, seingat saya, saya dan Ibu Endang menyapa beliau di tempat tidur.

“Mbah Kakung, ini Bambang. Mbah Kakung, ini Endang,” kira-kira begitu. Hanya itu saja yang saya ingat. Saya tidak tahu apakah pada saat itu pula beliau wafat dan dimakamkan.

Tetapi rumah Kedunggudel itu menyimpan banyak kenangan. Di rumah itu, bagi saya, banyak bacaan menarik. Dari buku Babad Pacitan, majalah Sosiawan keluaran Departemen Sosial, sampai tumpukan majalah berbahasa Jawa, Penyebar Semangat.

Di majalah ini yang saya sukai adalah komik Panthom dan kartun Pak Klombrot. Leluconnya seperti orang kejatuhan buah kelapa. Lelucon jadul.

Selamat jalan, Pak Kastanto. Selamat sejahtera, mBah Kakung Martowirono. Semoga kedua pepunden itu kini senantiasa sejahtera di sisi Yang Maha Kuasa. Para keturunanmu kini bangga membawa misi hidup masing-masing, dengan bangga senantiasa mengibarkan nama keduanya..

Untuk kebaikan sesama. Di mana-mana.


Wonogiri, 11 Desember 2009.

Sunday, December 06, 2009

Batik, Bisnis dan Budaya Trah Martowirono



Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com


Reuni trah di batik. Sikap sok tahu mudah memicu bencana. Tetapi juga bisa membawa berkah.

Di tengah suasana Gelar Expo UMKM Kota Yogyakarta dengan tema “Batik Jogja untuk Indonesia,” syukurlah saya memperoleh kedua-duanya.

Di halaman Griya UMKM Jl. Taman Siswa No. 39 Yogyakarta, tempat gelar karya batik itu berlangsung, terdapat panggung untuk demo membatik.

Tersedia beberapa carik kain, seukuran sapu tangan, yang tersedia cuma-cuma bagi pengunjung untuk mempraktekkan aksi membatik. Saya ikut mencobanya.

Beberapa saat kemudian hadir seorang bule, perempuan. Dengan sok tahu, ia saya beri kain itu dan memintanya untuk mencoba membatik. Si bule itu mendengarkan. Tetapi rekannya dari Batik Winotosastro segera memberitahu saya, bahwa si bule itu ahli membatik. Inilah bencana yang saya alami. Saya meminta maaf, dan malah terjadi obrolan.

brigitte willach

Pembatik dari Jerman. “Saya sudah membatik sejak 40 tahun yang lalu,” kata si bule yang bernama Brigitte Willach itu. Pada kartu namanya terdapat label : Batik-Atelier. Nampak dalam foto ia didampingi Shinta Pertiwi, ST (kiri) dan Antik Anggreni dari stan Gama Blue Indigo ND.

Ia berasal dari kota Hannover, Jerman. Brigitte cerita bahwa canting untuk membatik di Jawa itu merepotkannya. Brigitte cerita bahwa dirinya memiliki canting tersendiri. “Better ?,” sergah saya. “No. Just different,” jawabnya. Menurutnya, canting di Jawa itu mudah menghadirkan dot, dot, dot. Bahasa Jawanya, sering ndlodok.

Saya tergelak mendengar kisah Brigitte itu.

Karena kecelakaan berupa tumpahan malam pada kain di tempat dan dengan ukuran yang tidak direncanakan, sebuah bencana desain bila terjadi, juga baru saja saya alami. Yaitu ketika sok bisa membatik, saat membuat kacu biru “Trah Martowirono” pada foto di atas tadi. Kalau karya batik geradakan itu ketahuan Bude Tejo dari Polokarto, Sukoharjo, mungkin kuping saya sudah dijewer atas bencana desain batik seperti ini.

Blogger trah. Pada obrolan lain, Brigitte merasa heran mengapa saya yang lelaki tertarik kepada batik. Sambil bertukar kartu nama, saya menjelaskan bahwa saya seorang penulis. Blogger. Saya bercerita bahwa event organizer acara ini, Persada Promosindo Yogyakarta, adalah milik salah satu keluarga dari trah saya.

Ditambah lagi bahwa salah satu peserta gelaran ini, Gama Blue Indigo ND, dengan misi khusus memromosikan penggunaan pewarna alami untuk proses pewarnaan batik, adalah juga keluarga dari trah saya.

Saya katakan, saya yang tinggal di Wonogiri, Solo, antara lain datang untuk mendokumentasikan, dengan menulis kiprah mereka. Ia nampak memberikan apresiasi. Termasuk menyarankan saya untuk berbincang dengan Ibu Ani dari Batik Winotosastro terkait pemanfaatan pewarna alami, natural dyes, untuk produk-produk batiknya.

Nama Winotosastro ini juga terpateri di otak saya sejak kecil. Ketika duduk di SD, tahun 1960-an, bapak saya bekerja sebagai prajurit TNI-AD di Yogya. Keluarganya masih di Wonogiri. Pernah di hari-hari menjelang Lebaran beliau membawa pulang kain batik, untuk seragam bakdan bagi anak-anaknya. Seingat saya, berupa batik printing merah dengan dasar putih. Batik Winotosastro.

Kilas nostalgia semakin mengental karena Gedung UMKM itu berada di Kemantren Mergangsan. Inilah kecamatan tempat ayah saya, tahun 1960-an, pernah menjabat sebagai Komandan Koramil di kawasan ini. Kembali ke pembatik yang ramah asal Jerman tadi.

“Apakah Brigitte dalam membatik memakai pewarna alami ?”
“Tidak. Saya masih memakai kimia.”


Motif Bokor Mengkurep. Baik memakai pewarna kimia atau alami, tetapi bagi saya bau khas malam batik mampu memicu sensasi tersendiri. Mengembalikan saya ke masa lalu. Parade kenangan tentang batik itu lalu bisa menyeruak warna-warni.

Kata malam itu sendiri sempat saya celotehkan kepada Ibu Irawani, dosen Jurusan Seni Kriya ISI Yogyakarta dan putri pematung sohor Edhie Sunarso di mana bersama Ibu Pandan sebagai kurator acara itu.

Di depan mahasiswinya yang sedang demo membatik saya katakan bahwa pembatik itu dilarang bilang “selamat pagi,” “selamat siang” atau pun “selamat sore.” Mereka hanya boleh bilang : “selamat malam.”

Ah, trik ini ini disebut sebagai double entendre dalam dunia komedi guna memancing tawa.

Begitulah, bau khas malam batik dari wajan kecil berisi malam meleleh di atas kompor di halaman Gedung UMKM Yogya saat itu bisa melemparkan kenangan. Antara lain saat saya masih duduk di SD tahun 60-an. Seingat saya saat itu, warga Trah Martowirono yang saya ketahui beraktivitas membatik adalah Bude Hj.Warsiti Tejosuwarno (foto), ibunda dari Siti Fatimah, Tri Setyaningsih dan Untoro Setyabudi.

Ketika memasuki halaman rumah beliau yang halamannya berpasir dan diteduhi pohon sawo, letaknya di bagian barat laut dari rumah mBah Dung, sudah nampak pemandangan menarik.

Di rumah sisi timur, sudah nampak Bude Tejo dan ibu beliau, Eyang Trisnowiyo asyik di depan gawang atau stand untuk meletakkan kain yang sedang dibatik. Kedua beliau itu sedang membatik. Dari kontak SMS dengan Mas Parmono, motif-motif batik yang beliau gurat saat itu adalah Sriwedari, Bokor Mengkurep dan Semen Rantai. Judul-judul motif yang terdengar eksotis.

Masih di Kedunggudel, sensasi batik juga teruar dari rumah Eyang Sutomulyono. Ketika diajak ibu saya, Sukarni, untuk bersilaturahmi dengan beliau, segera terlihat jajaran lemari berkaca di ruang tamunya. Ketika memasuki pintunya di sisi, timur, kita harus menaiki undakan cukup tinggi. Dapat dimaklumi, rumah harus dibuat tinggi karena saat itu banjir masih menjadi langganan Kedunggudel.

Almari-almari berkaca dari rumah tembok yang berada di sebelah barat pasar Kedunggudel ini penuh dengan jajaran jarik atau kain batik. Koleksi itu menunjukkan status terhormat sekaligus status kekayaan dari sang empunya kala itu.


Kuli usung-usung batik. Bau malam batik juga kuat terpancar dari Pasar Klewer. Pada tahun 1974-1979 saya tinggal di Tamtaman, Baluwarti Solo, di bagian rumah milik Eyang Laksmintorukmi. Beliau adalah mantan istri Bupati Wonogiri, garwo ampil PB XI dan sekaligus guru tarinya Guruh Sukarnoputra. Eyang Laksmintorukmi ini adalah juga seorang pembatik.

Dari rumah ini, ketika ibu saya mampir untuk bersilaturahmi dengan Bu Wiryo (juga pembatik), pemilik kamar tempat saya kos yang masih di lingkungan komplek rumah eyang Laksmintorukmi itu, saya kemudian rutin menemani ibu ke Klewer. Berurusan dengan batik.

haswosumarto,endang markiningsih,wiranto,menikah

Kajen-Tekaran Jaman Dulu. Nampak ibu saya Sukarni (duduk depan paling kanan), bapak saya, Kastanto Hendrowiharso, bersama keluarga Sukirman Haswosumarto saat pernikahan Endang Markiningsih dan Wiranto di Selogiri. Saya yang menjadi juru potret perhelatan saat itu.

Ibu saya bisa terkait kain batik, karena semata beliau menjualnya. Beliau membuka bisnis pakaian dan komoditi sejenisnya di Kodim 0728 Wonogiri dan lalu di Kantorpos Wonogiri. Tempat kulakan-nya, termasuk kain batik, di Pasar Klewer itu. Saya jadi tukang usung-usung, mengikuti kemana beliau mblusuk-mblusuk lorong pasar terkenal itu. Ketika tahun 1980 saya berkuliah di Jakarta, Broto Happy Wondomisnowo yang menggantikan status sebagai tukang usung-usung kemudian.

Persinggungan menarik antara warga Trah Martowirono dengan batik, rupanya berlanjut. Hingga kini. Dengan beragam wujud dan konteks terkait karier dan pilihan hidup masing-masing.

Laskar biru alami. Misalnya, masih ingatkah Anda akan salah satu sesi dalam reuni Trah Martowirono XXII di Wonogiri ? Saat itu Dr.Ir. Edia Rahayuningsih, MS (foto,baju biru) yang mengajar di Teknik Kimia Universitas Gajahmada telah memperkenalkan serbuk pewarna alami blue indigo untuk kain batik yang ramah lingkungan. Merek dagangnya Gama Blue Indigo ND.

Produk yang sama bisa kembali saya temui saat berlangsungnya Gelar Expo UMKM Kota Yogyakarta itu. Bahkan saya ikut mempraktekkan kegunaannya. Warna gemilang dari sapu tangan biru “Trah Martowirono” merupakan bukti dari keandalan pewarna alami dari tanaman indigofera tinctoria tersebut.

shinta pratiwi,dyah suminar,batik jogja untuk  indonesia

Walikota Yogyakarta, Herry Zudianto, sesudah meresmikan acara berkeliling mengunjungi stan yang ada. Ia sempat memperoleh cenderamata sebuah dasi bermotif batik dari Gama Blue Indigo ND. Bahkan secara spontan mencetuskan anjuran agar PNS di lingkungannya mengenakan dasi bermotif batik. “Bukan yang buatan Pierre Cardin,” katanya.

Dasi kreasi Gama Blue Indigo ND berwarna biru, yang langsung dicoba saat itu, menjadi serasi karena Pak Wali dan juga istri memakai baju bernuansa biru. Nampak dalam foto Ibu Walikota, Hj. Dyah Suminar, diapit Shinta Pertiwi, ST (kiri) dan Antik Anggreni di stan Gama Blue Indigo ND.

Batik Dasamurka. Dari Yogya, kita pindah ke Solo. Arak-arakan Solo Batik Carnival (SBC) a la karnaval legendaris Rio de Janeiro yang diusung Pemkot Solo menjadi arena persinggungan kreatif bagi warga Trah Martowirono lainnya.

Yaitu : Mayor Haristanto, termasuk kedua putrinya, Ayu Permata Pekerti dan Lintang Rembulan. Tentu saja, terkait batik.

Selama dua kali penyelenggaraan SBC, 2008 dan 2009, Mayor selalu ikut berparade dengan menyajikan kostum batik yang ia beri label “Dasamurka.” Dengan penampilannya itu ia ingin menunjukkan kemarahan terhadap problema salah urus yang membuat negeri makmur ini justru mengakibatkan banyak rakyatnya sengsara kehidupannya.

Harian The Jakarta Globe (22/7/2009) secara khusus menulis : “Mayor was the man who wore the most outlandish costume at the Solo Batik Carnival in Central Java on June 28th – a tunic fashioned out of red and gold ribbons, patches and braid, with a matching headdress and shield and spikes pointing out like a Catherine wheel firework.”

mayor haristanto,sbc 2009,republik aeng-aeng

Nampak dalam foto ketika dirinya mengenakan kostum itu saat diprofilkan di koran Suara Merdeka (7/8/2009) dengan judul : Berjuang Untuk Kebaikan.

Di bawah panji Republik Aeng Aeng, ketika eforia menggelegak saat diakuinya batik sebagai warisan dunia bukan benda asal Indonesia oleh UNESCO, ia pernah menyelenggarakan aksi massal anak-anak pelajar melukis motif batik di aspal di Solo.

Gebrak di batik dunia maya. Terkait penyelenggaraan Solo Batik Carnival 2009, saya sendiri meluncurkan ide futuristik yang terjangkau. Saya telah menulis artikel berjudul “SBC, Gebraklah Publikasi Dunia Maya !” di harian Solopos (22 Juni 2009).

sbc,solopos,bambang haryanto,media sosial

Saya tulis, “Ketika karnaval SBC berjalan, saya membayangkan kejadian menakjubkan seperti dikisahkan oleh ahli strategi Internet, John Blossom, asal AS. Dalam situs yang menyertai penerbitan bukunya, Content Nation : Surviving and Thriving as Social Media Changes Our Work, Our Lives, and Our Future (2009), ia bercerita tentang suasana peristiwa olah raga terakbar di Amerika Serikat, yaitu final kejuaraan Super Bowl XLIII awal Februari 2009 yang lalu.

Kiprah ribuan penonton yang sekaligus “wartawan” itu, dengan bersenjatakan media jaringan sosial Facebook dan microblogging Twitter, menjadi fenomenal adanya.

John Blossom menulis : ‘Di tengah kerumunan itu stadion riuh berhias pendar-pendar nyala layar telepon genggam. Puluhan ribu warga biasa mengirimkan video, audio, foto dan pesan-pesan pendek kepada rekan-rekan mereka sebagai bagian integral peristiwa itu melalui sarana telepon genggam mereka. (Fenomena ini) menegaskan betapa penerbitan melalui media sosial telah menjadi bagian dari selebrasi diri kita sebagai umat manusia.’

Solo Batik Carnival pasti juga merupakan bagian dari selebrasi warga Solo atas batik sebagai karya kebanggaan budaya mereka. Saya memimpikan dan membayangkan betapa dahsyat bila rasa bangga itu, baik sebagai pelaku sampai sebagai saksi dari arak-arakan megah yang mempertontonkan karya kreatif dalam karnaval SBC itu, dapat secara masif mereka ceritakan secara bersama-sama kepada dunia.

Tujuan akhirnya : Solo yang lebih kuncoro bukankah mampu mendatangkan maslahat bagi seluruh warganya ?”


Batik ikan buas. Simpul-simpul kenangan dan kiprah warga trah kita terkait dengan batik, bermuara di Gedung UMKM Yogyakarta ini, 4-6 Desember 2009. “Dik, apa bisa bergabung ?,” demikian tulis SMS Mas Untung Suripno kepada saya, 30/11/2009.

Saya tiba di “keraton” Banguntapan, Rabu, 2 Desember 2009. Langsung diajak kru Cipta Gatra ke lokasi pameran di Jalan Taman Siswa. Frederico Ario Damar nampak memimpin para anak buahnya, membangun belasan booth dan panggung untuk keperluan peserta pameran dan upacara pembukaan.

Bagi saya, ini ajang untuk mempelajari hal-hal baru. Buku-buku milik Balai Besar Batik dan Kerajinan Yogyakarta, sempat saya baca-baca. Termasuk mengetahui bahwa pohon alpukat di belakang rumah di Kajen itu juga merupakan sumber pewarna alami untuk batik. Bahkan lombok, juga bisa. Saya pun mengetahui mengapa muncul istilah batik wonogiren dalam dunia batik Indonesia.

Skripsi dari ISI yang dibawa Ibu Irawani, juga sempat saya buka-buka. Ada topik skripsi menarik, yang membincangkan ikan piranha sebagai sumber inspirasi motif batik. Dengan Sutik dari Cipta Gatra, sempat saya obrolkan : mengapa Arwin Hidayat, penulisnya, tidak memilih gereh atau lele saja, sebagai inspirasi motif batik Indonesia? Nanti batik bermotif ikan piranha itu akan disebut sebagai batik Indonesia atau batik Brasil ?

Yang juga menarik, dalam acara tersebut terdapat lima pengusaha batik di Yogyakarta yang akan mendaftarkan merk produk mereka. Pendaftaran tersebut difasilitasi oleh Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta bersama Klinik Hak Kekayaan Intelektual Provinsi DIY.

untung suripno,dekranas yogyakarta

Dalam pertemuan dengan lima pengusaha batik itu, yang dihadiri Ibu Ny. Hj. Tri Kirana Muslidatun, S.Psi, istri Wawali Yogyakarta dan Wakil Ketua Dekranasda itu (foto atas), Mas Untung Suripno hadir sebagai aktor pendamping bagi UMKM untuk pendaftaran merek mereka. Selama ini salah satu kiprahnya adalah menjadi nara sumber untuk topik tersebut.

erry untung suripno

Sementara mBak Erry dan kawan-kawan pada hari kedua, 5/12/2009, juga menyempatkan berkunjung ke pameran. Nampak mereka sedang berbincang di stan batik Winotosastro.

Ketika mengobrol secara lesehan di warung hik di kawasan Gembiraloka, sambil beranda-andai terdapat ribuan UMKM (di Yogya sendiri terdapat 18.000 UMKM) yang kelak tergerak untuk mendaftarkan merek-merek mereka, medan satu ini merupakan bidang usaha yang menantang di masa depan.

Merupakan persilangan antara bisnis, hukum, sastra sampai desain grafis. Termasuk, sambil guyon, upaya jualan saran terkait seluk-beluk ritual nglakoni poso senin-kemis guna menemukan nama merek yang mampu ngrejekeni bagi pemiliknya.

Saya teringat ujaran teman Facebook saya, pakar bisnis kreatif dari Inggris, David Parrish, yang mengatakan kredo menarik : jangan menjadi pionir yang malang dan melarat. Inti pesannya : lindungi kreasi kreatif Anda, baik dengan paten, hak cipta atau pun pendaftaran merek milik Anda.

Trah kita bagi batik dunia. Hari Sabtu sore, 5/12, saya minta pamit untuk kembali ke Wonogiri. Saya hanya bisa pamit kepada Bunga Persada. Dengan diantar Mas Untung, saya nyengklak bis untuk pulang menuju Solo. Syukurlah, saya masih bisa mengejar bis terakhir, Solo-Batu, menuju Wonogiri.

Ketika saya mencari tahu apa masih ada bis Solo-Praci, karena rutenya meliwati Kajen, muncul jawaban menarik.

Sopir yang melayani taksi gelap, menyatakan tidak ada. Ia pun lalu menawarkan taksinya. Seseorang lain juga menyatakan tidak. Ia menyarankan saya untuk menginap di losmen Solo (“murah,” katanya) dan naik bis jurusan Praci, esok jam 4 pagi. Sementara pedagang asongan bilang, masih ada bis itu, Serba Mulya. Semua orang memberikan saran yang terkait dengan keuntungan yang bakal mereka raih.

Wajarlah. Mau tak mau, saya harus naik saja bis jurusan Solo-Batu itu.

Ketika bis Jaya Guna tersebut jalannya rada merambat karena Solo diguyur hujan, lamat-lamat saya masih mendengar beberapa baris kalimat yang saya tulis di Kajen dan menjadi materi pidato sebagian pejabat dalam acara di Jalan Taman Siswa itu. Itulah salah satu sumbangan kecil saya, atas fasilitasi Mas Untung, betapa kita warga Trah Martowirono punya budaya memberi. Kali ini mampu ikut pula memajukan batik Indonesia.

Saya tiba di rumah Kajen, jam 20.30. Saya lalu mengirim SMS ke Mas Untung bahwa saya sudah tiba kembali di Wonogiri. Dengan selamat.


Wonogiri, 6-8/12/2009


trahmar

Sunday, November 29, 2009

Pohon Mojo, Kenangan dan Prestasi di Balekambang




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Gajah gabres. Apakah kelapa merupakan buah yang mewah dan mahal pada jaman Patih Gajah Mada hidup ?

Kalau tidak, mengapa ia harus bersumpah tidak akan memakan kambil itu sebelum dirinya berhasil menyatukan Nusantara ?

Mungkinkah pada era saat ia memerintah di kerajaan Mojopahit, makanan utama dirinya dan rakyatnya adalah buah mojo yang terasa pahit itu ?

Apakah di Jawa Timur buah mojo itu terasa pahit ?

Melakukan kilas balik ke masa lalu, buah mojo bukanlah buah yang pahit. Itulah obrolan yang sempat muncul antara saya dan Mayor Haristanto, di Balekambang Solo, Sabtu pagi, 21 November 2009. Kami berdua masih ingat bahwa di tebing batas tanah sisi selatan rumah Kajen, Wonogiri, tahun 1960-an, terdapat pohon mojo itu.

balekambang,mojo beruk,pelajar sd solo,cinta lingkungan hidup,mayor haristanto,tps food tbk

mojo beruk,taman balekambang,mayor haristanto,tps food tbk,pelajar sd solo

Mojo di Balekambang. Ratusan anak-anak sedang bersiap secara bersama untuk mendirikan pohon mojo (foto atas) dan kemudian mereka menyaksikan pohon langka itu kini berdiri. Peristiwa menarik itu akan membekaskan kenangan positif bagi mereka untuk tertanamnya rasa kecintaa terhadap pelestarian lingkungan dalam tahap kehidupan mereka di masa mendatang. [Foto-foto : Is Arianto/OI Bento Solo.]

Juga berbuah. Buahnya bundar, sebesar kepalan tangan, berbatok keras. Kalau matang batok itu berwarna kuning, mengeluarkan bau harum. Cara memakannya harus dibakar dulu. Saat matang ia akan mengeluarkan bunyi ledakan kecil ketika batoknya pecah dan merekah.

Mojo sebenarnya bukankah buah yang nyaman untuk dikonsumsi. Karena pada buahnya itu terdapat ceruk-ceruk biji yang terbungkus dengan lendir sebening kristal yang lengket. Untuk memakan daging buahnya, kita harus bersibuk menyingkirkan lendir kristal tersebut. Tetapi dasar anak-anak di masa itu, yang nggragas, bahkan di masa itu buah salam pun diembat, buah mojo itu pun jadi sasaran.

Selain di Kajen, saat itu di halaman depan rumah dinas bupati Wonogiri, juga terdapat pohon mojo. Saat saya duduk di SDN Wonogiri 3, ada teman sekelas bernama Joko Waluyono yang kerabat dari Eyang Laksmintorukmi yang istri bupati saat itu, Brotopranoto.

Pertemanan tersebut yang membuat halaman belakang dan depan rumah dinas bupati ini menjadi salah satu tempat saya bermain-main. Kalau ke masjid, kami dari Kajen bisa lewat pintu butulan, berada tepat di depan rumah Bapak Sularso/Venus Cellular.

Ini rute jalan singkat, meliwati dapur, lalu melipir pada bagian sisi barat rumah bupati sehingga lebih singkat sampai di masjid. Kini rute itu tak bisa dilalui umum lagi.

Pohon prestasi. Pohon mojo di Kajen atau pun di halaman rumah dinas bupati Wonogiri itu kini tak berbekas lagi. Tetapi di Balekambang, Solo, atas prakarsa Mayor Haristanto dari Republik Aeng-Aeng, bisa berdiri pohon mojo lagi. Tepatnya jenis Mojo Beruk (Crescentia cuyute).

Saat itu Republik Aeng-Aeng dipercaya oleh PT Tiga Pilar Sejahtera (TPS) Food, Tbk., untuk mengemas acara cetak serentak dalam 1 hari 3 Rekor MURI dalam rangka menandai usia 50 Tahun PT TPS Food, Tbk tersebut.

mayor haristanto,muri,etta sulistiawati

Kolaborasi serasi. Prestasi akan lebih mudah dicapai dan mampu memberi kebanggaan kepada banyak kalangan bila dilakukan dengan melibatkan pelbagai fihak untuk bekerjasama. Nampak para penerima piagam rekor MURI, termasuk Etta Sulistiawati (tengah, dari Standard Pen) dan eksekutif PT TPS Food, Tbk bergembira dengan prestasi yang mereka raih.

mayor haristanto,tatv,balekambang,solo,muri

Menularkan virus. Keberhasilan harus ditularkan sehingga mampu menjadi inspirasi bagi orang lain untuk bertindak positif pula. Nampak Mayor Haristanto sedang mengobrol dengan reporter TATV, Aris Gopinda. Hasil wawancara itu disiarkan pada tanggal 26 November 2009.

Salah satu adegan spaktakuler pencetakan rekor MURI itu adalah kerjasama ratusan anak-anak pelajar SD secara bersama mendirikan pohon mojo yang langka itu setinggi 9 meter. Pohon ini semula merupakan koleksi dari Bapak Djumadi Anom Gunadi, penguasaha furnitur Era yang terkenal di Solo dan sebagai kolektor tanaman langka.

khana,sd kristen manahan,teks pancasila,balekambang,21 november 2009


Menulis teks Pancasila. Pengetahuan yang hanya diucapkan akan lebih mudah terlupakan dibanding ketika harus dituliskan. Nampak Khana dan kawan-kawan dari SD Kristen Manahan (atas) sedang menuliskan teks dasar negara kita dengan ceria.

Pemecahan rekor yang lain adalah tujuh ribu anak-anak menulis teks Pancasila dan mengonsumsi biskuit secara bersama-sama. Peserta aksi cetak rekor MURI itu diikuti oleh murid 36 Sekolah Dasar dan TK yang berada di seputar Balekambang. Termasuk SD Kristen Manahan, sekolahnya Azalia “Zaza” Sastrika (ia ikut serta dalam aksi ini) dan Banurasmi.

Anak-anak tersebut, para guru dan orang tua, menikmati hari itu sebagai saat berekreasi, belajar di luar ruang dan menghayati lingkungan di Taman Balekambang yang kini menjadi nampak asri dan indah.

mayor haristanto,bambang haryanto,muri

Dengan kegiatan tersebut kini Mayor Haristanto telah mengemas rekor MURI untuk nomor ke-23 dan 24. Maju terus demi mencetak prestasi yang lebih gemilang, dan semoga dapat menjadi inspirasi bagi warga Trah Martowirono lainnya.

trahmw

Sunday, October 25, 2009

Seboeah Perdjoeangan, Kreativitas dan RI Kita




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at)hotmail.com


Bom di Vredeburg. “Demi menjaga kehormatan Bapak Proklamator, sejuta laskar Blitar siap serbu Kaliurang !” [Blitar Herald Tribune, 24/9/2009].

“Bung Doyo [dalam foto berkacamata hitam] dan keluarga harus dibuang ke Digul !” [Nationalism Inquirer, 24/9/2009].

“Demi menjunjung kebebasan berekspresi, keluarga Bung Doyo berpeluang dinominasikan sebagai peraih Nobel Perdamaian 2010.” [Stockholm Express Daily, 25/9/2009].

Situs YahoaxNews.com (1/10/2009) muncul berita lebih mendetil : “Pemerintah RI didesak kalangan nasionalis ultra kanan yang menganut garis keras agar Paguyuban Trah Martowirono dibekukan.

Tetapi tuntutan ini ternyata membuahkan backlash, serangan balik dari manca negara. Dari kalangan yang mendukung kebebasan berekspresi dan pentingnya memacu kreativitas sebagai senjata survival bagi generasi masa depan.

Untuk itu, kalangan young scientists dari perusahaan raksasa elektronik Samsung dan LG dari Korea, Sharp dan Sanyo dari Jepang, Maytags dan General Electric dari AS justru terpacu membantu warga trah itu. Mereka kini berkompetisi mendisain lemari es raksasa yang khusus agar nyaman dihuni tiap-tiap anggota Trah Martowirono yang terancam “dibekukan” itu. Ada yang desainnya seperti rumah tahan gempa yang berdiri di Sleman, yang dikenal sebagai rumah Teletubies.

“Rumah hiper-modern itu juga ada sentuhan fantasi anak kecil. Karena dilengkapi baling-baling bambunya Dora Emon,” tutur Isokuiki Mugimurakabi, chief scientists dari Sanyo Corporation, Tokyo, Jepang. “Rumah itu juga didesain dengan teknologi dalam film Transformers. Ia bisa diubah sekehendak pemiliknya. Juga dapat terbang, berlayar atau berjalan, bahkan bisa menggendong penghuninya, ke mana-mana,” tuturnya sambil tersenyum.

Perusahaan lain, ikut mendukung. Raksasa produsen telepon genggam pintar Research In Motion (RIM) di Kanada telah mengeluarkan telepon Blackberry terbaru. Dengan sebutan seri Giant Trah Marto 2010 Smart Device. ™ Perangkat seberat 250 kilogram ini dilengkapi tombol khusus berhuruf TM. Gadget super itu juga dilengkapi dengan gerobak listrik beroda 20 untuk mudah membawanya ke mana-mana.

Sekali pencet, dengan mengentakkan kaki yang berlumur bletok atau embel, lumpur asli dari tanah Kedunggudel saat era banjir jaman dulu, di layar akan muncul gambar berisi aktivitas terbaru dari masing-masing warga Trah Martowirono, di mana pun mereka di dunia. Peranti lunak Google Latitude sudah menyatu di dalamnya.

Bukan bletok biasa. Dibeberkan dalam Wikipedia pada lema Trah Martowirono [seri 1.0., yang beredar dengan akses terbatas], wacana tentang bletok atau embel asli Kedunggudel itu sarat dengan nilai-nilai filosofi. Adalah mBah Dung, Martowirono putri, pernah menasehati cucu-cucunya saat berjalan di tanah licin dan berlumpur setelah banjir surut.

“Cengkeramkan kuat jari-jari kakimu ke tanah. Sehingga jalanmu tidak mudah terpeleset atau terjatuh,” tutur beliau.

Anjuran ini dapat diwedar dengan beragam tafsiran. Beliau mungkin ingin mengajarkan nilai-nilai luhur kehidupan, bahwa para anak, cucu dan keturunannya harus memiliki fondasi yang kuat dalam hidup. Sehingga jalannya tidak terpeleset, atau terjatuh. Fondasi itu bisa beragam. Bisa jadi fondasi itu berupa nilai-nilai reliji, keluhuran, kebaikan, memberi manfaat bagi orang lain, cita-cita, impian, sampai ilmu pengetahuan.

Stephen Harper dari RIM dalam blog perusahaannya menulis : “Tanpa kaki Anda bersalut bletok atau embel asli asal Kedunggudel, sistem tak mau bekerja. Karena ramuan kimiawi dari bletok Kedunggudel tersebut, dipadu dengan unikum dari gene masing-masing keturunannya, itu yang membuat Trah Martowirono ini kompak selama ini. Itu seperti DNA dan hal itu sangat sulit dipalsukan !”

“Uniknya lagi, walau berasal dari satu akar, keturunan Trah Martowirono kini beragam. Baik dalam agama, kepercayaan, profesi, cita-cita, sampai bakat. Meminjam kata-kata “life is plurality” dari Octavio Paz (1914-1998), diplomat, penulis dan penyair asal Meksiko, dan “death is uniformity,” maka keturunan trah ini ikut andil “membuat dunia ini berputar : karena terjadinya saling memengaruhi antara pelbagai perbedaan, yaitu daya tarik dan juga daya tolaknya.”

Kita kembali ke gadget tadi. Bahkan tulis Harper dengan berderet emoticon :-), bahwa pada saat-saat hari tertentu, seperti Jumat Kliwon, dari peranti keras canggih itu dapat diprogram untuk mengeluarkan hidangan. Ada daftar menu yang bisa dipencet.

Bisa berupa jenang “joko lelur” produksi Priyanto Wisnu Nugroho, opak gambir, emping melinjo produksi Lik Yatno, sampai karak ketan dengan resep asli mBah Darmowantoro (adik Martowirono kakung).

“Dengan menginstal peranti lunak baru, Wijil Hill 3.0., layar telepon ini dapat menyajikan beragam konfigurasi desain gunungan yang unsurnya terdiri dari pelbagai makanan khas Kedunggudel itu. Mungkin Bapak Untung Suripno, Frederico Ario Damar dan Cipta Gatra dari Banguntapan dapat mengaplikasikan desain ini untuk memperoleh MURI-nya yang kedua,” sambung Stephen Harper dengan tersenyum.

Seperti di Cannes. Berita bagus juga muncul dari markas Besar PBB di New York. Dalam siaran pers (25/9/2009) menyatakan bahwa Sekjen PBB, Ban Ki Moon, siap terbang ke Kaliurang untuk menengahi persoalan di atas yang dipicu sebuah film pendek berjudul Seboeah Perdjoeangan, yang kontroversial.


PS : Trio sineas ABC [Aning, Bakoh, Chandra] yang mengkreasi film tadi ternyata tidak selalu mudah dihubungi untuk tulisan ini. Terakhir, pada baris akhir pesannya selalu tertulis data “1601 S. California Ave., Palo Alto, CA 94304.” (Ini alamat kantor Facebook). Merujuk hal itu, sori, tulisan ini terhenti dulu. Akan dilanjutkan kok. [BH].

Kabar Indah Trah Dari Kedah dan Tabalong



Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com


Semalam di Malaysia. “Dua hari ini saya [Broto Happy W.] jalan-jalan ke Alor Setar, negara bagian Kedah, Malaysia. Saya diajak pemilik PB Tangkas-Alfamart, Justian Suhandinata untuk menjadi saksi penyerahan Suhandinata Cup untuk diperebutkan kali pertama kepada panitia Kejuaraan Bulutangkis Junior Beregu Campuran.

Perjalanannya lumayan melelahkan. Dari Jakarta ke Singapura, lalu sambung lagi dengan pesawat sejam ke Penang. Diteruskan naik kendaraan 90 menit menuju Alor Setar. Karena semalam datang malam, jadi nggak sempat jalan-jalan. Sekarang pagi-pagi sudah harus balik ke Penang lagi dan sambung ke Singapura, baru Jakarta.

Itu saja kabar saya. Wah nyesel juga nggak hadir di pertemuan Trah Martowirono di Yogya lalu. Salam sukses selalu dan salam buat semua.“

Itu email pertama Broto Happy W. kepada Bambang Haryanto, 23/10/2009. Email keduanya, diterima 25 Oktober 2009 menyajikan cerita yang “makin seram.”


Dikira juara ! ”Nambahi info yang sudah dimuat, ini saya kirimkan foto-foto saat berada di Alor Setar, negara bagian Kedah, Malaysia.

Saat membawa trofi Suhandinata Cup keluar dari bandara Sultan Abdul Halim Airport, Alor Setar, wah, saya dikira atlet yang baru saja menjadi juara. Banyak petugas di bandara dan juga para pelancong yang memberikan salam atas keberhasilan membawa piala.

Mereka bertanya, juara apa Anda? "Saya juara bulutangkis!" Pengakuan bohong-bohongan ini semata-mata agar orang sana juga makin menghormati orang Indonesia! Ternyata orang Indonesia juga hebat dan bisa berprestasi di Malaysia. Tidak hanya melulu TKI yang dibayar murah dan kerap dirampas hak-haknya di negeri jiran itu.

Wisata kuliner batal. Sempat juga malam-malam sebelum tidur, saya sempatkan untuk menikmati Alor Setar. Saya pun sempat berpose di pusat kota.

Ternyata kotanya kecil dan sudah tidak ada tanda-tanda keramaian. Toko banyak yang sudah tutup, tinggal beberapa kedai makanan Cina yang masih buka. Namun karena takut tidak halal, saya urungkan menikmati wisata kuliner.

Meski hanya kurang sejam, sempat mendapat pengalaman menarik. Berempat bersama Pak Tommy Vanalu, Hendro, dan Yose Sulawu, keluar hotel dari kejauhan tampak ada keramaian di sebuah gedung terbuka yang lumayan besar. Yang pasti tempat tersebut

begitu terang benderang dengan lampu warna merah dan kuning. Juga tampak banyak orang berkumpul dan hilir mudik.

"Wah, pasti di sana ada keramaian menarik!" gumam saya. Dasar wartawan yang haus akan sesuatu yang baru dan mencari tantangan unik, saya pun mendekat. Ternyata, begitu mendekat, pusat keramaian itu bukanlah sebuah hiburan atau tontotan khas Alor Setar.

Tontonan itu adalah acara khas orang etnis Cina setempat yang tengah melakukan penghiburan dan persembahyangan bagi anggota keluarga yang meninggal dunia dan akan dikubur keesok harinya. Pantasan di tengah bangunan itu ada peti mati dan asap dupa hio berterbangan ke mana-mana!

Itulah pengalaman menarik selama beberapa jam di Alor Setar. Salam sukses selalu untuk seluruh warga Trah Martowirono.

Kabar Plong Dari Tabalong. “Dengan sarana komunikasi yang sudah sedemikian hebat, jarak dan waktu terasa tidak begitu menjadi penghalang bagi kita warga Trah untuk saling menyapa dan berkomunikasi.

Contohnya saya [Santoso Priyo Utomo di Tabalong, Kalimantan Selatan] dengan waktu hanya bisa bertemu "fisik" selama 12-14 hari dengan keluarga [di Solo], setelah itu dipisahkan secara "fisik" juga 1,5-2 bulan.

Sarana komunikasi canggih ini bisa menjadi media mengurangi kerinduan dan kekangenan. Pak Bambang, si pengelola blog Trah, terasa menjadi oasis di padang kerinduan akan informasi dan kabar anggota trah.

Kiranya Blog Martowirono ini tetap dan senantiasa ada, sebagai salah satu wahana yang paling SIP (mungkin) saat ini. untuk ajang komunikasi dan informasi antar anggota trah.” (Posting status melalui Facebook ke temboknya Bambang Haryanto, 23/10/2009. Foto : Bapak Santoso saat menghibur di Reuni Trah Martowirono, 23 September 2009, di Yogya).


Wonogiri, 26/10/2009

trahmw

Kajen, Kompor Minyak Tanah dan Komputer




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com

Nostalgia 10 tahun. “Saya harus juara dan merenggut hadiah I, sebuah komputer !” Itulah impian saya (Bambang Haryanto) sebagai finalis Lomba Karya Tulis Teknologi Telekomunikasi & Informasi (LKT3I) III/1999 yang diselenggarakan PT Indosat. Untuk tampil ke Jakarta saya diberi tiket pesawat pulang-pergi.

Impian kandas. Saya tetap Juara 1, tetapi harapan. Dapat cek senilai 1,6 juta rupiah. Saat itu tak bisa untuk membeli komputer. Saya pindah haluan. Tak dapat komputer, dapatnya kompor (foto). Seharga 100 ribu. Merek Butterfly. Untuk masak sehari-hari.

Tetapi di tahun 2009 ini, sepuluh tahun kemudian, my favourite kerosene stove is dying. Kompor saya itu nafasnya tinggal menghitung hari. Sekarat. Karena harga minyak melambung. Stoknya pun semakin dibatasi. Kalau beli, harus mau antri di mana-mana.

Keajaiban terjadi, ketika sekitar bulan Mei 2009, Bhakti “Nuning” Hendroyulianingsih, menjadikan rumah Kajen sebagai pangkalan minyak tanah. Putranya, Yudha (foto) dan dirinya, kadang ikut melayani. Sehingga kesulitan memperoleh mitan, bagi saya teratasi. Tetapi jatah dari atas, yang semula 4 drum, di bulan Oktober 2009 ini tinggal satu atau dua drum saja.

Akibatnya, halaman rumah Kajen setiap hari dihiasi berderet-deret jeriken minyak dan riuhnya para pembeli yang antri. Sebagian besar, para tetangga. Kalau pertemuan trah mampu membuat kita seolah linggo-lico, lali tonggo-lali konco, tetapi bisnis salah satu warga trah kita ini tidak melupakan mereka. Berusaha dibagi secara adil untuk kebaikan bersama.

Bagaimana kalau jatah itu benar-benar berhenti ? Kompor saya akan menjadi benda kenangan. Mungkin saya akan mempelajari bagaimana biji avocado, yang tumbuh lebat setiap Oktober di Kajen ini, bisa diolah menjadi bahan bakar nabati. Tetapi itu cerita lain kali.

Thursday, October 15, 2009

Saat “Keraton” Banguntapan Meraih MURI




Oleh : Bambang Haryanto


Prestasi Cipta Gatra. Kedua gunungan itu hanya tinggal bekasnya. Siang hari, Rabu, 15 Oktober 2009. Gunungan kakung dari Keraton Nyogyakarta Hadiningrat, tak ada sisanya sama sekali.

Kerangkanya pun, yang terbuat dari besi, sudah kembali ke keraton. Ikut lenyap pula rangkaian telur bebek rebus asin, disebut dengul, yang dirangkai Pak Fani bertiga dari Keraton yang saya ajak ngobrol Minggu malam, 11/10/2009, menjelang esok saat pembukaan.

bambang haryanto,jana,petr,gunungan buah,cipta gatra

Ikut pula ludas rangkaian kacang panjang, yang mirip rambut penyanyi reggae asal Jamaika Bob Marley atau mBah Surip itu. Rangkaian hijau-hijau dengan ujung cabai besar merah ini sempat ditanyakan oleh Jana, turis bule asal Ceko. Dalam foto Jana paling kiri, Bapak Klono Sewandono yang “juru kunci” kedua gunungan itu, Bambang Haryanto dan Petr di depan kedua gunungan bersejarah itu.

Jana dan Petr tak hentinya menabur senyum saat menjadi “bintang dadakan” karena laris diajak berpotret bersama oleh para pengunjung pada hari puncak peringatan Hari Pangan Sedunia XXIX-2009, 12 Oktober 2009.

paduan suara mahasiswa ugm,clara bunga persada,gunungan buah,cipta gatra,bambang haryanto,prambanan 12/10/2009

Gunungan sebagai ikon HPS nampak juga dimanfaatkan oleh anggota paduan suara Universitas Gajahmada sebagai latar belakang untuk mengabadikan keikutsertaan mereka dalam acara puncak tersebut. Dalam pesannya di Facebook, Clara Bunga Persada yang mahasiswi Teknik Industri UGM, menyatakan “mengenal sosok mereka yang terekam dalam foto tersebut dan Bunga berjanji akan mentags mereka.”

Gambar gunungan utuh di atas, kini tak ada lagi. Kerangka gunungan buah dan sayur hasil kreasi “keraton” Banguntapan, masih utuh.Karena untuk mencuri atau membawanya orang harus membawa mobil truk. Pada dindingnya masih tersisa beberapa buah terong ungu. Bersama sayuran dari gunungan kakung, maka beragam jenis buah dan sayuran lainnya dari gunungan jumbo itu telah menjadi berkah bagi warga sekitar yang memperebutkannya.

Secara fisik, memang kedua gunungan itu memang sudah tidak ada lagi. Tetapi kedua maskot Hari Pangan Sedunia XXIX-2009 itu tetap abadi sebagai kenangan banyak orang. Termasuk kenangan saat digoreskannya prestasi bagi Bapak Untung Suripno, Frederico Ario Damar dan Cipta Gatra Exhibition Partner. Karya gunungan buahnya itu kini tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) yang bergengsi tersebut.

Sukses berbuntut sukses. “Piagam ini mahal sekali, Om,” demikian cetus Frederico Aria Damar. Ia berkata saat piagam itu saya pegang dan Rico hendak memotretnya. Beberapa saat sebelumnya, di ruang resepsi dari hall International Food Expo 2009, dalam acara penutupan, Piagam MURI itu diterima oleh Bapak Untung Suripno.

cipta gatra,hari pangan sedunia,gunungan buah dan sayur,untung suripno,trah martowirono,prambanan 15/10/2009

Nampak dalam foto, Ibu Wida dari MURI sedang membacakan keputusan dan Bapak Untung berada di tengah penerima lainnya.

Saya setuju ucapan Rico itu. Ia yang berhari-hari telah bekerja keras bersama krunya di lapangan. Piagam MURI dengan nomor 3928/R.MURI/X?2009 itu memang mahal. Langkah pertama kiranya memang selalu menuntut pengorbanan ekstra. Apakah hal ini akan mengerutkan nyali atau menyurutkan langkah Cipta Gatra dalam upaya meraih MURI berikutnya ?

Lihatlah, dalam obrolan sesusai acara, nampak Untung Suripno dan Mayor Haristanto, riuh berbagi gagasan. Keduanya melakukan brainstorming untuk menemukan ide-de baru guna meraih prestasi MURI berikutnya. “Bulan November 2009, Cipta Gatra akan membuat sesuatu kehebohan lagi,” tulis Bapak Untung di sms kepada saya.

Hari-hari ini “keraton” Banguntapan semoga lagi diisi dengan kegembiraan. Termasuk menular kepada Ibu Erry dan juga Clara Bunga Persada. Saya yang telah menerima 2 rekor MURI, Mayor Haristanto sebanyak 21 rekor, tetap saja di sore itu kami berdua tetap merasakan kegembiraan yang menggetarkan ketika salah satu warga Trah Martowirono kini sukses pula meraih penghargaan serupa.

Kami bertiga berpisah di Prambanan. Mas Untung sempat bertanya kepada saya, “mau pulang ke rumah barat atau ke rumah timur ?” Rumah barat adalah rumah beliau di Modalan, Banguntapan. Rumah timur, di Kajen Wonogiri.

Saya bersama Mayor lalu naik bis menuju Solo. Saya sore itu ingin pulang dulu ke rumah timur. Tetapi dalam obrolan dengan Mas Untung, tak tertutup kemungkinan, saya akan rada sering tinggal di rumah barat itu pada hari-hari mendatang.

Cerita dan foto-foto lainnya dari momen bersejarah di Prambanan itu semoga akan bisa menyusul. Saya lagi menunggu kiriman dari Rico.

Sampai jumpa di obrolan mendatang.


Wonogiri, Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober 2009


trahmar

Saturday, October 10, 2009

Gunungan Keraton Banguntapan di Hari Pangan Sedunia 2009




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Tugas mulia. Mobil merah bak terbuka itu penuh sayuran dan buah. Bagi yang tidak mengetahui, mobil yang pada sisi kiri dan kanan bertuliskan Rico Promo itu mudah diduga sebagai mobil milik tukang sayur yang berkeliling menemui pelanggan.

Apakah makan buah-buahan dan sayuran kini sedang gencar dipromosikan ?

Bisa juga begitu. Tetapi ketika mobil itu memasuki lot candi Siwa di komplek candi Prambanan, menjelang senja jatuh 10/10/2009, dugaan bisa makin rumit. Apakah buah dan sayuran itu akan digunakan sebagai sesaji bagi Betara Siwa agar dirinya tidak mengamuk, merusak dan menghancurkan isi dunia, seperti karakter yang tertakdir bagi dirinya ?

Dugaan satu ini keliru. Buah dan sayuran yang dibeli oleh Pak Klono bersama anak buahnya dari Kulon Progo itu digunakan untuk tujuan mulia. Salah satunya adalah untuk mencatatkan prestasi bagi Cipta Gatra, korporasi yang berkiprah sebagai mitra penyelenggaraan pameran, kegiatan promosi dan pemasaran. Kiprah ini dirintis sejak 1998 di Yogyakarta oleh Bapak Untung Suripno dan operasinya di lapangan kini di bawah komando Frederico Ario Damar, sang putra.

Ikon HPS 2009. Buah dan sayuran itu akan digunakan sebagai bahan membuat maskot upacara tingkat nasional dari Hari Pangan Sedunia 2009 yang dipusatkan di Yogyakarta. Maskot itu berupa gunungan buah, replika dengan ukuran lebih besar dibandingkan dengan gunungan kakung yang secara rutin tiap tahun diarak oleh Kraton Yogyakarta pada upacara Garebeg Syawal.

Gunungan buah itu nantinya akan tercatat di Museum Rekor Indonesia/MURI. Sehingga secara guyon dapat dikatakan bahwa di Yogya kini telah muncul “keraton baru” :-), yang ikut membawa-bawa nama Trah Martowirono, karena juga mampu mengeluarkan gunungan. Keraton satu ini, katakanlah sebagai keraton kreativitas, lokasinya di Banguntapan, Bantul.

gunungan buah,hari pangan sedunia 2009,cipta gatra,rico promo,badan ketahanan pangan diy,frederico ario damar,untung suripno,bambang haryanto,trah martowirono

Ketika saya pertama kali mengunjungi lokasi “keraton baru” itu, 8/10/2009, nampak kerangka gunungan itu (foto) sedang dibangun. Di halaman bengkel kerja Cipta Gatra di Bantul. Mengamati sekitar, memang tidak nampak puluhan sentono yang bersurjan atau sedang membakar dupa, tetapi mereka semua mengerjakan gunungan itu dengan sepenuh hati.

Gambar rancang bangun gunungan itu hasil olahan Sutik, lulusan Geologi UGM dan kawan akrab Rico, yang main klak-klik di atas tombol komputer di ruang kerja, akhirnya mampu mewadahi pesan-pesan yang visioner, yang menjangkau akhir perjalanan hidup setiap umat manusia. Ujudnya pun cukup indah dan spektakuler.

Makna gunungan itu bila dikaitkan dengan ajaran Islam dan falsafah Jawa, dapat diwedar bahwa puncak gunung adalah melambangkan keesaan Tuhan Yang Maha Esa. Gunung juga melambangkan ajaran manunggaling kawula gusti, bersatunya antara manusia dengan Tuhannya, juga sebagai gambaran perjalanan manusia menghadap Sang Khalik guna menuju kesempurnaan hidup di alam keabadian, alam kelanggengan.

Cipta Gatra yang dalam membangun maskot itu sebagai mitra kerja Badan Ketahanan Pangan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menyajikan data bangunan sebagai berikut : tinggi gunungan 4,5 meter, diameter landasan bawah 2,5 meter dan tinggi vustek 60 cm. Materi gunungan meliputi jagung, kobis, pisang, nanas, jambu, buah naga, wortel dan bahan lainnya.

Sinergi dan harmoni. Gunungan buah tersebut akan bersanding dengan gunungan kakung dari Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat yang bahan dan ukurannya sesuai dengan pakem yang ada dan dibuat oleh abdi dalem kraton.

Duo gunungan itu boleh jadi nantinya menggambarkan suatu sinergi yang harmoni antara keluhuran nilai-nilai masa lalu yang dapat diterapkan untuk menjawab tantangan umat manusia masa kini dan masa depan. Termasuk tantangan berat dunia ini, yaitu ketersediaan pangan bagi milyaran manusia penghuninya.

Tidak meleset bila pesan penting dari peringatan Hari Pangan Sedunia XXIX-2009 ini bertujuan menumbuhkan kesadaran seluruh lapisan masyarakat terhadap potensi sumber daya alam serta tantangannya untuk mewujudkan ketahanan pangan, serta meningkatkan kesadaran masyarakat dan dunia usaha dalam menyikapi masalah ketahanan pangan baik tingkat nasional, global maupun regional serta memperkokoh solidaritas antarbangsa dalam usaha memberantas kekurangan pangan dan gizi yang masih dialami oleh sebagian penduduk dunia terutama di negara berkembang.

Gambar dan pesan-pesan besar itu hari-hari ini ikut juga dikampanyekan oleh Cipta Gatra. Di tengah kemeriahan peringatan hari penting itu, juga ditengah hiruk-pikuk pameran International Food Expo 2009 yang berlangsung, sebuah karya dari salah satu warga Trah Martowirono nampak menjulang cantik di tengahnya.

Memang, mungkin nanti tak banyak orang akan mencatatnya. Tetapi ribuan bunyi tombol komputer di bengkel Cipta Gatra atau di ruang kerja Bapak Untung dan Rico di rumah Modalan, juga hentakan palu mengunjam paku di Prambanan, sampai percikan indah air mancur mini yang asri di base kedua gunungan itu berdiri, menandakan sebuah monumen tekad untuk memberi manfaat bagi orang lain telah kokoh berdiri di persada bakti.

Setiap hati warga trah mencatatnya. Dunia pasti juga segera ngikut, senantiasa mengabadikannya. Di masa depan, percayalah, berkahnya pun mampu menebar : ke mana-mana, di mana-mana !


Banguntapan, 8-10/10/2009

trahmar

Monday, October 05, 2009

Sukses Gorda, Sukses Rico, Sukses Trah Martowirono



Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com


Bekerja pada kami ! Upacara wisuda sarjana di Virginia Tech berlangsung meriah di sebuah stadion tertutup.

Sesudah upacara usai, kelompok wisudawan dari jurusan Teknik terdengar menggemuruhkan yel-yel dengan penuh kebanggaan.

“Kita lulus, langsung bekerja !”
“Kita lulus, langsung bekerja !”

Barisan wisudawan dari jurusan Bisnis langsung menimpali yang tidak kalah serunya : “Bekerja pada kami ! Bekerja pada kami !”

Lelucon di atas merupakan sebagian dari isi buku kumpulan lelucon saya yang diterbitkan masa jadul, tahun 1987. Lelucon itu kembali berparade di kepala saya ketika terjun dalam kemeriahan acara Reuni Trah Martowirono XXIII-2009 di Museum Benteng Vredeburg, 23 September 2009.

Utamanya ketika mewakili Taler 1 sebagai tuan rumah untuk menyampaikan ucapan selamat datang, telah tampil ke panggung Slagen Abu Gorda, SE yang diikuti “ajudan tiban,” Chandra Gatot Pribadi yang nampak nuklun dan bersahaja a la pak guru Umar Bakri yang pegawai negeri.

Seperti terwakili dalam foto dan adegan, ulah keduanya jelas sebuah parodi yang mampu menggelitik tawa. Tawa sekaligus menggaruk kepedihan ketika mengenang jaman masa lalu. Ketika negeri kita ini dicengkeram oleh sosok tiran yang ucapannya halus tetapi tindakannya mengerikan.

Aksi Gorda mengingatkan sosok Butet Kertarajasa ketika monologer sohor itu seringkali melakukan mimicking terhadap aksi sosok tiran yang sama. Dan, lihatlah Chandra Gatot Pribadi, ia nampak serasi dalam :-( berakting mengenakan baju Korpri kebanggaan para pegawai negeri sipil, termasuk bokapnya :-( di masa sebelum reformasi bergulir. Dan lihatlah lagi bahasa tubuhnya, menunjukkan kepatuhan yang berselimut ketakutan terhadap sang tiran bersangkutan.

Beragam krida untuk dunia. Syukurlah, masa lalu itu kini telah menjadi bahan parodi, termasuk di panggung reuni trah kita. Tetapi dalam realitas, kedua pelaku adegan itu memiliki jalur hidup dan karier masing-masing. Walau pun sama-sama memiliki akar yang sama, berasal dari pasangan Martowirono, kini cucu, cicit dan keturunannya memiliki panggilan hidup masing-masing. Ibarat nyala kunang-kunang yang menyebarkan cahaya dan keindahan, “ke mana-mana, di mana-mana.”

Salah satu nyala kunang-kunang yang membesar cahayanya, adalah yang disandang oleh Abu Gorda. Lewat perjuangan gigih, ia baru saja terpilih sebagai wakil rakyat untuk berkiprah di DPRD Kabupaten Sukoharjo. Seperti dalam foto koran Solopos (22/4/2009) di bawah ini, foto dirinya nomor 4 dari kiri, disebut sebagai muka-muka baru di kancah pengabdian sebagai legislator di Kota Makmur itu. Sebagai warga trah, kita semua bangga untuk prestasi Abu Gorda yang mampu meraih cita-citanya.

Kita semua mencatatnya. Tentu kita masih ingat, saat ia memproklamasikan tekadnya menjadi anggota legislatif saat Reuni Trah Martowirono XXI di komplek mewah, mepet sawah, rumah Bapak/Ibu Untoro Setyabudi di Polokarto, 15 Oktober 2007. Hal serupa kemudian diteguhkan saat reuni tahun berikutnya, di Kajen Wonogiri, 5 Oktober 2008. Setelah sukses, saat di Yogya, 23 September 2009, Abu Gorda mengucapkan terima kasih kepada keluarga besar Trah Martowirono yang telah menyengkuyung doa sehingga ia berhasil.

Termasuk khusus memberikan apresiasi yang tinggi kepada keluarga Mulyono/Titis dari Taler 2 asal Gayam Sukoharjo dan keluarga Parmono/Siti Fatimah dari Taler 3 asal Polokarto yang ia sebut sebagai tim sukses andalan bagi keberhasilannya.

“Sukses saya karena banyak dibantu teman-teman,” kata Abu Gorda seperti terungkap dalam wawancara via telepon dengan wartawan Solopos. Gorda pantas masuk berita karena dianggap sebagai kuda hitam, tokoh muda sekaligus wajah baru di kancah perpolitikan, tetapi dirinya meraih perolehan suara paling tinggi di Sukoharjo. Fantastis dan membanggakan.

“Inilah gaya politikus Facebook,” gumam saya ketika membaca-baca koran tentang Gorda di Perpustakaan Umum Wonogiri. Karena situs jaringan sosial di Internet itu denyut hidup, popularitas dan manfaatnya disukai lewat cara menfasilitasi setiap individu untuk memperluas jaringan pergaulannya dengan cara mudah dalam menambah teman. Dengan klik dan klik semata. Mungkin Gorda menang karena melakukan strategi Facebook yang serupa.

Dalam konteks “politikus a la Facebook” itu maka sosok dan kerja keras Bapak Teguh Priyono dan Ibu Suharti, sebagai orang tua, mungkinkah tak lebih dari seorang “friend” bagi legislator muda kita itu ? Saya sempat usil membayangkan adegan ini. Suatu saat keluarga trio ini tiba di depan rumah, yang menurut Gorda isinya kembang dan lemari :-) itu, secara bersamaan. Salam Gorda kepada Bapak Teguh Priyono dan Ibu Suharti, akankah berbunyi : “Hallo, friends. Apa kabar hari ini ?”

Menebar berkah. Sori friend, itu hanya canda semata. Abu Gorda saya sebut sebagai friend karena saya sebagai pengelola akun Warga Trah Martowirono, legislator asal PDIP Kabupaten Sukoharjo itu memang telah menjadi friend saya di Facebook juga.

Semoga akun Facebooknya itu dapat ia manfaatkan dalam berkiprah sebagai wakil rakyat. Yang pasti, kita tak ragu mengucapkan salut dan sukses untuk Gorda. Termasuk harapan sukses untuk cita-citanya yang tinggi, berkiprah di dunia perpolitikan tingkat nasional, di masa depan.

“Semoga anak ini tidak mengecewakan keluarga besar Trah Martowirono dalam berbakti kepada bangsa dan negara,” demikian balas SMS dari Bapak Teguh “Ahli Kebersihan Kapal” Priyono ketika membalas SMS di hari saat putra semata wayangnya itu dilantik sebagai anggota legislatif. Berkiprahlah, Gorda, untuk terus mampu menebar berkah.

Ucapan yang sama dengan nada optimis serupa, semoga warga trah masih ingat, juga dilantangkan oleh Frederico Ario Damar di panggung. Di acara reuni itu ia tak memakai baju Korpri jadul lungsuran dari sang bokap, tetapi tampil sebagai sosok anak muda yang mantap untuk menyusuri “jalan pedang” a la pendekar Musashi, alias jalan untuk memenuhi panggilan hidup sebagai seorang entrepreneur di bidang pameran. Kini Rico memimpin usaha Cipta Gatra Exhibition Partner di Yogyakarta.

Setelah reuni usai, saya sempat mengirim email ke Rico. Saya menyatakan salut dan terkesan atas presentasinya, yang menyatakan bahwa kiprah perusahaannya itu telah mampu menebarkan berkah bagi banyak orang.

Berbeda dengan lelucon tentang wisudawan sarjana teknik dari Virginia Tech yang begitu lulus langsung ingin mencari pekerjaan, Rico justru menempuh jalan orisinal, menempuh rute yang lebih berat. Ia memilih untuk mengkreasi pekerjaan. Untuk dirinya sendiri. Juga untuk orang lain. Berkahnya pun kemudian mampu menebar, “kemana-mana, di mana-mana.”

Sungguh membanggakan.

Perjuangan dan sukses Abu Gorda, juga sukses Rico, merupakan inspirasi bagi semua warga trah kita. Dunia ini adalah dunia yang melimpah ruah, semua insan mampu memperoleh roti dalam hidupnya, tanpa perlu menggerogoti roti jatah jalan hidup milik orang lain.

Atau dalam kalimat yang lebih bernas muncul dari penulis Amerika, Christopher Morley (1890–1957), bahwa “hanya terdapat satu jenis sukses, yaitu mampu menjalani hidup dengan menyusuri jalan yang telah Anda pilih.”

Di Museum Benteng Vredeburg, warga trah kita bersatu. Setelah usai, kita kembali menyusuri jalan hidup masing-masing. Ada pesan luhur yang harus kita cerna dan camkan ketika kita masing-masing pulang dari Benteng Vredeburg itu. Yaitu saat kita pulang dengan diganduli tas kain pro-gerakan cinta lingkungan hidup yang berisi ulih-ulih : sebungkah roti yang manis.

Itulah roti sukses warga Trah Martowirono dalam beragam krida sebagai insan yang berguna bagi sesama. Dalam kiprah yang dipilih, ditekuni dan juga dicintai dengan sepenuh hati.


Wonogiri, 6/10/2009

trahmar

Sunday, October 04, 2009

Trah Martowirono, Cinta, Banu dan Zaza




Oleh : Bambang Haryanto
Email :humorline (at) hotmail.com


Anugerah hebat. Arsenal mengalahkan Blackburn Rovers, 6-2. Sayangnya, tidak semua enam gol yang dilesakkan tim asuhan Arsene Wenger itu bisa saya saksikan langsung melalui saluran Indovision, Minggu Malam, 4/10/2009 yang lalu.

Saat beberapa gol itu terjadi saya sedang mengembara, menunggangi remote control untuk menonton potongan siaran dari televisi lain. Antara lain acara Golden Ways-nya motivator Mario Teguh di MetroTV. Salah satu ucapan dia yang menohok malam itu adalah ketika menjelaskan tentang konsep diri mengenai “saya” dalam kosmologi ke-Illahi-an.

Banyak orang, menurut Mario Teguh, sering terlalu menyederhanakan kehadiran diri “saya” itu di dunia. Orang seringkali hanya melihat “saya” sebagai suatu kehadiran yang bersifat fisik, tanpa melihat bahwa di belakang atau yang bersama sosok “saya” itu berimpit didalamnya beragam anugerah Tuhan yang membuat sosok komprehensif “saya” itu memiliki keistimewaan dalam kehadirannya di dunia ini.

Anugerah itu disebutnya, misalnya kharisma, pengaruh, aura sampai misalnya ucapan dirinya yang dapat menggerakkan atau mampu memengaruhi orang lain untuk berbuat kebaikan.

Malam itu tema acara Mario Teguh adalah “Saya + Tuhan = Cukup.” Sayang, malam itu tabiat saya yang jelek masih muncul. Saya tidak ditemani dengan bloknot untuk menulis hal-hal penting dari siaran itu. Padahal beberapa hari sebelumnya, 30/9/2009, ketika memberikan kuliah umum di depan mahasiswa baru Sekolah Tinggi Manajemen & Ilmu Komputer (STMIK) Sinar Nusantara, Surakarta, saya mengajurkan mereka untuk membawa bloknot dan bolpoin, “kemana-mana dan di mana-mana.”

Untuk apa ? Untuk mencatat segala hal yang penting dan menarik bagi mereka. Karena ingatan mudah lupa, aktivitas mencatat itu juga merupakan kiat untuk mengasah ketajaman otak mereka.Sekaligus membuat hidup sampai karier profesional mereka menjadi lebih sukses dan produktif.

Mungkin malam itu saya masih terbius ucapan pendiri Apple Corp., Steve Jobs. Ia bilang : hidupkan komputer otak Anda menjadi hidup, tetapi hidupkanlah televisi maka otak Anda pun segera mati.

Oleh karena di depan layar tv itu otak saya lagi “mati,” maka sepanjang yang bisa saya ingat adalah satu-dua ucapan kunci Mario Teguh yang menjelaskan hal menarik. Bahwa menurutnya, bila kita selalu merasa bersama Tuhan maka yang terjadi hidup kita menjadi damai, berupaya (koreksi tambahan dari Anna Sari), bermakna (?) dan berani. Suatu saat saya akan mengunjungi situsnya, untuk mengelaborasi ajarannya ini.

Tradisi a la Mafia. Yang pasti, kata “berani” itu mengingatkan saya akan salah satu adegan saat berlangsungnya Reuni Trah Martowirono XXIII-2009 yang lalu. Muncul dari Ibu Retno Winarni bersama suami, Bapak Agus Budi Santoso yang berkarier di BCA Solo, untuk rela keroyo-royo untuk bisa hadir di Yogya. Anda masih ingat akan kedua beliau yang memiliki posisi unik sebagai warga Trah Martowirono ?

reuni trah martowirono XXII-2008,agus budi santoso,bambang haryanto,retnowinarni,kajen,wonogiri

Kedua beliau pertama kali hadir dalam reuni kita yang ke-20/2006 di Kedunggudel. Lalu hadir di reuni yang ke-22/2008 di Kajen, Wonogiri. Saat itu, seperti nampak dalam foto, sedang disemati pin Trah Martowirono. Dalam reuni di Yogya saya sempat mengingatkan beliau, bahwa untuk resmi diakui secara lahir dan batin sebagai warga keluarga besar Trah Martowirono bagi mereka yang di luar hubungan darah, “harus memenuhi syarat tertentu.” Ketentuan itu mengacu pada tradisi Mafia di Italia Selatan.

Syarat yang berat. Pada tahun ketiga, mereka harus mendaftar 3.650 orang yang menjadi musuh-musuh Trah Martowirono. Lalu setiap hari harus menemukan 10 orang dari mereka, dan membunuh mereka satu persatu. Dalam setahun, akan komplit sekitar 3.650 musuh-musuh Trah Martowirono enyah dari dunia ini.

“Tetapi karena Trah Martowirono merasa tidak punya musuh,” seperti saya katakan dalam acara reuni Yogya untuk menyambut kedua beliau, “maka syarat di atas tidak berlaku. Anda dan keluarga adalah warga kami.” Buktinya, keluarga Agus dan Retno Winarni ini juga mendapat kesempatan untuk tampil di panggung.

Sayangnya, beliau belum banyak bercerita tentang keluarga asal Solo ini. Sebaliknya, justru memberikan apresiasi kepada warga Trah Martowirono yang ia sebut sebagai berani untuk tampil, berani untuk berbicara di depan audiens.

banu

Secara khusus ia menyebut Banu dan Zaza, putra/putri Bapak Santoso Priyo Utomo. Nampak dalam foto keduanya yang masih duduk di bangku SD, tanpa menunjukkan rasa takut atau ragu-ragu, langsung naik ke panggung. Mantap dan ceria memegang mik, lalu bercerita mengenai keluarganya kepada seluruh hadirin.

Terima kasih, Ibu Retno Winarni.
Salut untuk Zaza.Salut untuk Banu.

Mengapa mereka berani ? Karena mereka berdua, dan semua warga trah kita, sama-sama tahu bahwa diri mereka akan tidak dihakimi, melainkan akan selalu diterima. Diapresiasi. Dicintai. Apa adanya. Apalagi acara reuni trah itu masih dilekati oleh suasana hari Idul Fitri, hari ketika antarpribadi dengan kerelaan dari sanubari, untuk saling memberi maaf, alias menerima masing-masing fihak sebagai insan yang mulia sebagai makhluk Tuhan.

Pesan ini sering tidak secara jelas terkatakan. Tetapi selalu merambati hati. Dalam acara reuni XXII/2008 di Kajen, Wonogiri, Bapak Untung Suripno mengatakan : “Bila tanggal pertemuan itu tiba maka acara apa pun dihindari, karena ingin jumpa saudara di acara temu trah ini. Jujur saja, acara pertemuan trah ini membikin usia awet muda, linggo-lico, lali tonggo-lali konco, isinya cuma satu yaitu : seneng.”

Terima kasih, Mas Untung.

Api seneng yang sama, yang terus berkobar setelah acara usai, sehingga memicu hadirnya tulisan ini. Untuk mengabadikannya dalam kenangan yang bisa dibagikan. Untuk bisa menceritakan pernak-pernik unik trah kita ini kepada dunia.

Dalam acara reuni trah kita, memang tak ditampilkan lagu legenda “Just The Way You’re” dari Billy Joel. Tetapi saat pulang dan hari-hari berikutnya, sebagian lirik lagu itu senantiasa mendengung di hati saya :

I said I love you (warga Trah Martowirono), and that's forever
And this I promise from the heart,
I could not love you any better
I love you just the way you are


Wonogiri, 5/10/2009


trahmar

Saturday, October 03, 2009

Tas Ulih-Ulih, Trah Kita Menyelamatkan Dunia




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Cinta dalam segenggam cabe. “Mobil, mebel, istri sampai anak, semuanya disposable, mudah dibuang. Karena yang utama dewasa ini adalah berbelanja.” Demikian kata Arthur Miller, dramawan terkenal dari Amerika Serikat.

Potongan dialog dalam naskah dramanya yang berjudul The Price (1968) itu membuat saya tersenyum. Sebagai bujangan tua, ya pasti saya belum pernah membuang istri, apalagi membuang anak. Membuang mobil sampai mebel, baik milik sendiri atau milik tetangga, juga belum pernah. Tetapi mental suka “berbelanja,” sebagaimana orang kebanyakan, adalah sebagian aktivitas sehari-hari saya.

Aktivitas berbelanja adalah keharusan. Karena saya masak sendiri. Di Pasar Wonogiri saya memiliki kios favorit tertentu untuk membeli 6 T : tahu, telur, tempe, teri, tomat sampai terasi. Juga ada kios untuk membeli cabe yang murah. Atau membeli cabe di mana pedagangnya yang cantik memberi bonus istimewa.

Berupa mata yang berkilat-kilat, yang setiap kali bertemu memberi isyarat bisu yang getarnya menderu-deru : “Apa kabar, sayang ?” Selama masih doyan cabe, saya baik-baik saja. Kita akan selalu bertemu. :-).

Begitulah. Sebagaimana slogan a la mBah Surip bahwa “Trah Martowirono ada di mana-mana,” isyarat cinta juga ada di mana-mana. Termasuk tersembunyi di balik tumpukan cabe keriting di kios pasar. Tetapi di swalayan, selama ini, belum saya temukan isyarat-isyarat indah seperti di kios lombok itu. Malahan tatapan mata yang mengandung keheranan.

Sumber tak terbarukan. Kasir swalayan, baik di Tiptop dan Terminal Arto di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, atau Baru di Wonogiri, sering memandangi saya dengan heran. Yaitu ketika saya tidak mau barang-barang yang saya beli mereka bungkus dengan tas plastik. Karena saya memang membawa tas sendiri dari rumah. Tas itu pun bisa saya pakai berkali-kali. Sebuah buku memberi saya ilham untuk berbuat itu.


Tahun 1992 saya memfotokopi dari perpustakaan American Cultural Center di Jakarta sebuah buku menarik : 50 Simple Things You Can Do To Save The Earth (1989). 50 Hal Sederhana Yang Dapat Anda Lakukan Untuk Menyelamatkan Bumi Kita. Tentang tas-tas plastik yang sering kita peroleh saat berbelanja di swalayan (foto), buku itu membeberkan fakta mengejutkan.

Misalnya : tas-tas plastik itu tidak bisa diurai, terbuat dari minyak tanah, sumber energi yang tidak terbarukan. Bila plastik itu terbawa ke laut berpotensi membunuh satwa laut, karena disangka sebagai makanan yang membuat buntu pencernaannya. Tinta cetak di tas itu mengandung cadmium, logam berat beracun. Bila sampah itu dihancurkan maka cadmium tersebut akan mengapung ke udara kita.

Merujuk ancaman pencemaran yang serius oleh milyaran tas-tas plastik itu membuat pemerintah Cina melarang toko-toko swalayan membagikan sarana pembungkus itu. Sebagaimana dikutip situs koran The New York Times (http://www.nytimes.com/2008/01/09/world/asia/09iht-plastic.1.9097939.html?_r=1), sejak 1 Juni 2008 larangan itu diberlakukan. Kemudian penduduk Cina dianjurkan pergi ke toko dengan membawa tas kain dan keranjang belanja.

Langkah Cina itu tidak sendirian. Peraturan yang melarang penggunaan tas-tas belanja plastik itu juga diberlakukan di Afrika Selatan, Irlandia, Taiwan, juga Bngladesh dan kota-koat kecil di negara bagian Alaska di Amerika Serikat. Tahun lalu, San Francisco (AS) juga melarang produk serupa. Di Jakarta, Bandung dan kota-kota lainnya di Indonesia, akhir-akhir ini juga muncul gerakan cinta lingkungan yang mengajak masyarakat pergi berbelanja dengan membawa tas kain dari rumah.

Photobucket


Trah kita harus juga ikut serta. Bagaimana langkah trah kita ? Dalam acara reuni Trah Martowirono XXIII/2009 di Yogyakarta, keluarga besar Taler 1 Haswosumarto-Suripti sebagai tuan rumah, telah membekali masing-masing peserta reuni berupa bingkisan ulih-ulih yang berkesan. Dalam foto nampak “Jenderal” Wiranto dari Tekaran sebagai model yang menjinjing bingkisan bersangkutan.

Ketika hiruk-pikuk Benteng Vredeburg surut, isi bingkisan yang manis itu seolah membuat aroma pertemuan bersejarah kembali berparade di kepala. Semakin menjadikan momen berkesan yang sulit dilupakan.

Tetapi yang juga sangat istimewa adalah tas kain yang membungkus ulih-ulih itu. Juga pesan disebaliknya. Bagi saya, tas kain itu di hari-hari mendatang akan selalu saya bawa bila hendak berbelanja, terutama bila ke swalayan. Mungkin kasir toko akan merasa keheranan.

Mungkin secara sekilas mereka akan membaca tulisan “Reuni Trah Martowirono XXIII-2009” dari tas yang berkontur batik itu. Mungkin mereka juga tidak sempat berpikir bahwa dengan membawa tas unik itu saat berbelanja ke tokonya memiliki makna yang tidak kecil bagi warga trah kita tercinta dalam ikut berupaya menyelamatkan dunia.

Dengan tas itu, sekali lagi seperti plesetan lirik lagunya mBah Surip, bisa membawa bendera “Trah Martowirono ada di mana-mana.” Bila itu yang terjadi, saya merasa almarhumah Bude Haswo (wafat 30 November 1986), alias Ibu Suripti dan Pakde Haswosumarto, pasti berbangga dengan gagasan dan kiprah putra-putri, sekaligus cucu-cucunya di reuni trah kita itu.

Yang antara lain secara elegan mampu memberi warna Reuni Trah Martowirono XXIII-2009 dengan pesan yang luhur bagi semua warga trah, bahwa mulai hari itu kita mampu berbuat untuk ikut serta menyelamatkan dunia. Caranya mudah : bawalah dan gunakanlah tas kain bersejarah saat berbelanja.

Di mana-mana.
Ke mana-mana.

Wah, Trah Martowirono, mantep to ?


Wonogiri, 4/10/2009

trahmar

Selebritis Pejuang 45 Tiban di Benteng Vredeburg




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Bung Karno Jaya ! Jenderal Sudirman harus mengaku kalah ketika bersaing melawan Bung Karno.

Sosok Jenderal Sudirman diperani oleh Bari Hendriatmo dari Jember. Dalam foto di atas, ia dikawal oleh putranya Reza Ahimsa Hendriano yang berseragam gerilya dan bersenjata. Bung Karno juga sukses mengalahkan “Rambo” dari Wonogiri.

Masihkah ingat, saat kita ramai-ramai bertemu di Reuni Trah Martowirono XXIII, 23 September 2009, di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta, yang lalu ? Ketiganya berkontes bukan lewat adu dalam piawai dalam berpidato. Bukan lewat coblosan. Bukan pula lewat perang gerilya.

reuni trah martowirono XXIII-2009,benteng vredeburg,hompimpah,busana terheboh dalam reuni itu

Lihatlah dalam foto koleksi Anna Sari itu. Ketiganya berusaha merebut kemenangan dengan metode hompimpah tanpa alaiyung gambreng sebagai penutup mantra. Ketiganya nampak benar-benar jago hompimpah, karena hasilnya selalu draw. Dan pada putaran keempat baru hadirin mengetahui siapa juaranya. Siapa juaranya ?

reuni trah martowirono XXIII-2009,benteng vredeburg,sudoyo,bari hendriatmo,bambang haryanto

Sosok Bung Karno yang aslinya Bapak Sudoyo asal Kaliurang dari Taler 1 yang berhasil sebagai juara. Suami Ibu Dwi Hastuti itu meraih piala sebagai warga Trah Martowirono yang berbusana paling heboh dalam acara reuni ke-23 yang lalu.

Jago di luar arena. Saya yang memperoleh sebutan “Rambo” itu, ternyata memperoleh kemenangan di medan lain. Sekedar info, nama “Rambo” itu diciptakan secara spontanitas saat itu oleh Mayor Haristanto, sebagai juri. Mungkin karena saya memakai kostum dengan berselempang rangkaian peluru berkaliber 12,7 alias setengah inci.

Bila saja Pakde Sukirman Haswosumarto (wafat 3 November 1987) atau bapak saya Kastanto Hendrowiharso (wafat 9 Desember 1982) masih hidup, kedua beliau yang sama-sama tentara pejuang 1945 itu pasti bisa bercerita mengenai “kesaktian” bedil yang memakai peluru berkaliber besar itu.

Menjadi Rambo sehari, haruslah mau berkorban. Yang saya rasakan, memang rada berat membawa peluru-peluru itu saat jalan kesana-kemari. Tetapi demi bisa ngeceng di depan sesama warga trah, beban itu tidak terasa apa-apa.

Syukurlah, selempang peluru itu menjadi rada match ketika saya diberi peci pejuang oleh Mayor. Peci saya polos, sementara yang dipakai Yudhis (anaknya Betty) ada tulisannya, “Merdeka !.” Lalu kami bertukar peci itu.

Selebritis tiban. Peci putih khaki tersebut ternyata membawa tuah, justru ketika acara reuni kita usai. Ketika rombongan Wonogiri keluar dari komplek beteng, menuju mobil yang dipiloti Hening Kristanto (putra Bulik Yam Selogiri) yang parkir dekat alun-alun Yogya, saya memperoleh kejadian mengejutkan.

Begitu keluar dari pintu beteng, persis di bawah tulisan “Benteng Vredeburg” (?), ada pengunjung rada meneriaki saya. Ia sedang memotret keluarganya dan ia meminta saya ikut bergabung. “Bapak kan berkostum pejuang, dengan peci “Merdeka,” mari saya abadikan bersama keluarga kami.”

Dengan senang hati saya memenuhi permintaan itu. Kamera pun menyalakan lampu kilat beberapa kali. Sambil berbagi senyum, keluarga itu lalu berpamit. Peran saya sebagai selebritis tiban yang memerani pejuang 1945, selesai. Terlalu cepat. Rada GR dan setengah kecanduan, lalu saya agak berteriak ke pengunjung lainnya : “Siapa ingin berpotret bersama pejuang 45 ? Siapa ingin berpotret bersama pejuang 45 ? “

Saya agak menyesal, karena selama ini saya belum punya kartu nama, business card, untuk mempopulerkan Trah Martowirono. Kalau punya kan, hmm-hmm, minimal mereka akan tahu siapa oknum “pejuang” yang baru saja ia potret itu.

Siapa tahu untuk menambah kenalan dan persaudaraan. Termasuk mengenalkan dan menularkan sejarah, polah sampai seluk beluk trah yang heboh ini. Tentu saja itu trah kita semua : Trah Martowirono tercinta.


Wonogiri, 3/10/2009

trahmar