Monday, August 25, 2008

17 Agustusan dan Trah Martowirono di Tiga Kota

Oleh : Bambang Haryanto



Daster dan detik-detik proklamasi. Anda tahu persamaan antara keduanya ? Keduanya sama-sama ngetop di bulan Agustus. Bagi warga Trah Martowirono, daster merupakan asesoris yang mengantarkan sebagian warganya untuk meraih kemenangan.

Di Bogor, juga di Wonogiri.

Sebelum membahas mengenai daster-daster mukjijat, sekaligus pembawa berkah itu, untuk awalnya mari kita simak laporan mengenai suasana acara 17-an di Bogor. Dari Broto Happy W. Petikan laporannya :

“Suasana Agustus di Samiaji heboh. Selain ikut acara di RT, warga di Samiaji 4 juga membuat acara sendiri. Acara RT, saya biasa tetap jadi MC. Sebelumnya, kita membuat gapura unik. Yaitu dari rangkaian kok bekas.

Hitung punya hitung ada 2000 kok yang kita pake untuk menghias jalan Samiaji 4 itu. Sementara dua kok raksasa kita buat dari bambu dan bahan sandal. Ini mungkin akibat dampak positif demam bulutangkis rupanya!”

Photobucket

Badminton-mania. Anda ingin mencari rujukan mengenai jenis-jenis shuttlecock, raket, sepatu, kaus kaki sampai daster yang cocok untuk bermain badminton ? Jangan bertanya kepada Christian Hadinata. Khusus untuk urusan daster sebagai sarana sport, tanyalah kepada warga Samiaji 4 dalam foto ini. Kalau dalam foto ada raket tennis dan bola untuk sepakbola, itu isyarat bahwa tahun depan mungkin akan dibuat gapura bertema tennis atau sepakbola.

Photobucket

Bulu para nenek moyang. Peraih medali emas untuk bulutangkis ganda putra Olimpiade Beijing 2008, Markis Kido dan Hendra Setiawan, menurut kabar burung segera mengunjungi kawasan Samiaji 4 ini. Untuk berterima kasih, karena berkat doa yang diwujudkan dalam kekompakan warga Samiaji 4 membuat gapura 17-an dengan tema bulutangkis, mereka mampu meraih juara. Kabar burung lainnya, konon ribuan angsa juga akan berkunjung kesini. Untuk melihat bulu-bulu nenek moyang mereka yang terpajang dan dilestarikan di gapura unik ini.

Photobucket

Objek wisata. Gapura kok tersebut ternyata menjadi daerah tujuan wisata para penggemar olahraga jalan kaki di kota Bogor. "Tidak percuma kita begadangan merangkai shuttlecock yang ternyata membuat orang lain senang," kata Pak Dudung. Seperti nampak pada gambar warga Samiaji sangat bangga dengan gapura yang segera tercatat sebagai salah satu keajaiban dunia bertema bulutangkis. Kalau peresmian dari Guinness atau MURI tak datang-datang, maka warga bersikeras untuk mengakuinya sendiri.

Semua menang, semua gembira. Kegembiraan warga makin tertumpah pada tanggal 18 Agustus. “Kita gelar Festival Samiaji dari pagi sampe sore. Selain lomba-lomba anak-anak hingga orangtua, juga digelar acara makan siang bersama. Menunya, sumbangan ibu-ibu.

Ada lomba makan krupuk, mewarnai, main bulutangkis on the street, engklek (mirip permainan sondah mandah), dan mengeluarkan bola pingpong dari dalam galon dengan diisi air secara estafet. Anak-anak seneng banget, juga ibu-ibu. Saya cukup jadi yurinya, karena punya peluit. Setelah itu, foto bersama dan bagi-bagi hadiah. Semua dapat, dan tamu juga kebagian,” lapor lanjut Broto Happy.


Kampung kita, kampung dunia. Kita tinggalkan Bogor sebentar. Kemeriahan 17 Agustusan juga muncrat warna-warni di Wonogiri. Utamanya di kampung Kajen, Giripurwo, di mana warga Trah Martowirono mengambil peranserta.

Yuriko Novean Mahendra, putra M. Taufik dan Bastion, mengikuti lomba nyanyi anak negeri. Ketika tampil di panggung, di depan rumah Kajen, ibunya ikut menjadi penari latar dari balik pagar.

Sementara itu Tito Bhawarto, putra dari Pak Camat Giriwoyo, memimpin tim futsalnya Bundas Liga mampu meraih juara. Dalam foto Tito (kiri) bersama rekan setimnya Eko bangga mempertontonkan hadiahnya. Bahkan ia pun telah menuliskan pengalamannya. Silakan klik disini untuk ikut merasakannya sebagai juara.

Peristiwa 17an kelas kampung semacam ini tidak layak untuk dilupakan. Juga harus diwartakan. Tetapi karena sangat mustahil untuk bisa tampil di koran-koran, maka blog menjadi media ideal untuk itu. Sebagai warga Kajen dan perintis komunitas blogger Wonogiri, Bambang Haryanto telah melaporkan acara 17 Agustusan di Kajen itu kepada dunia.

Bahkan sembari berbangga mengaku sebagai seorang blogger kampung ia telah mencoba menyebarkan ajakan agar setiap blogger menterkenalkan kegiatan kampungnya dan bahkan kotanya kepada komunitas blogger Indonesia.


Hujan prestasi di Solo. Warga Trah Martowirono di Solo, mungkin yang paling sibuk. Dengan kegiatan-kegiatan 17 Agustusan yang monumental. Adalah Mayor Haristanto sebagai pengibar bendera Republik Aeng Aeng, seperti dilaporkan oleh putrinya, Lintang Rembulan sebagai berikut :

Photobucket

“Suasana patriotisme kemerdekaan tanggal 17 Agustus 2008 kemarin, memang tak sempat dirasakan keluarga Mayor secara bersama-sama. Pasalnya, setiap anggota keluarga punya kesibukan masing-masing. Bapak yang sudah pasti punya seabrek acara unik untuk Kota Solo. Sebut saja Pesta Bendera Anak-anak Merdeka di pelataran sawah Kadipiro (12/8, foto), Aksi Kolosal 1945 Anak Melukis Kapur di Aspal Jalan yang berhasil mencetak rekor MURI.

Acara puncak kehebohan berlangsung tanggal 24 Agustus 2008. Hampir sepuluh ribu warga Solo melakukan jalan kaki pagi dai pusat kota menuju Balekambang. Di taman rekreasi ini para peserta secara simbolis menyatakan kecintaan kepada bangsa dan negara Indonesia a la atlet : satu persatu mencium Sang Saka Merah Putih dengan takzimnya ! Tak ayal hanya dalam kurun waktu sebulan, Bapak sudah menambah 3 rekor MURI atas nama dirinya.

Sedangkan ibu, Nani Mayor, yang notabene Lurah Kadipiro, berusaha mati-matian untuk membagi waktunya demi menghadiri puluhan undangan tirakatan di kampung-kampung. Bahkan sehari setelah peringatan HUT RI, Ibu pun juga punya agenda unik dengan ibu-ibu PKK Kadipiro, yaitu nyadran di komplek makam pahlawan Bonoloyo. Wah, Ibu tak mau kalah juga...

Apa kabar dengan si sulung Ayu Permata Pekerti ? Tentu saja, dia begitu ulet dan rajin nginthil Bapak untuk turut serta menjadi event organizer dan fotografer acara-acara unik. Di samping dia juga sedang sibuk mencari kos-kosan ekonomis di Jogja. Mengingat mulai September nanti dia akan melanjutkan studi S2 nya di UGM. Doakan saja...

Lain cerita dengan si bungsu, saya sendiri, Lintang Rembulan. yang di sepanjang bulan Agustus mengalami penghitaman kulit, alias di-pepe latihan paskibra di sekolahnya. Walau saat upacara saya hanya menjadi pemimpin paling kanan, tapi bukan berarti tanggung jawabnya kecil. Karena saya diberi mandat untuk melatih tim delapan (pengibar inti) setiap harinya.

Kabar buruknya, walau setiap harinya bergulat dengan lari lapangan, push up, dan jalan ditempat, begitu menakjubkan ketika itu semua tak mensukseskan program dietnya.” (Catatan : harap siap-siap bergabung sama Om Happy sebagai kandidat tim pemanjat pinang berbobot, maksudnya dengan berat badan di atas 80 kilogram).


Panjat pinang, merajut kekompakan. Itulah laporan dari base camp The Mayors di Kadipiro, Solo. Terima kasih, Lintang untuk reportasenya. Sekarang kita kembali ke Samiaji, Bogor. Cerita Broto Happy lebih lanjut : “Yang menghebohkan, saya ikut lomba panjat pinang. Wuih, nekat saja. Dampaknya, sudah seminggu ini badan pegel-pegel belum juga hilang. Saya tampil bareng dengan bapak-bapak Samiaji 4. Kita tampil dengan daster. He.... mengundang lucu penonton.”

Photobucket

Kulepas dikau dasterku, pahlawan. Dalam film anak-anak ada sebutan pahlawan bertopeng. Di suasana 17 Agustusan, di Samiaji 4, muncul istilah pahlawan berdaster. Lima sekawan-nya Enid Blyton (kalau tak salah tulis) pasti keder menghadapi lima sekawan dari Samiaji ini.

Dari kiri, Broto Happy W., bersama putrinya Gladys, Rozy, Bagus Nugraha, Ruli Rusliawan dan Dudung Syamsudin. Mereka berlima berangkat ikut lomba panjat pinang setelah memaksa istri-istri mereka untuk menandatangani surat perjanjian bermeterai bahwa para istri itu tidak akan protes bila daster mereka kembali ke rumah dalam keadaan tidak utuh.

Career climbers. Pundak sampai kepala kita rela untuk diinjak-injak agar teman kita yang paling ringan, paling lemah, mampu meraih puncak. Mereka yang paling kuat harus mau menahan beban yang paling berat. Apakah filosofi serupa, yang luhur itu, juga berlaku di dunia nyata, di dunia karier, politik dan kekuasaan ?

Lomba panjat pinang di kompleks Samiaji, Indraprasta, Bogor, barangkali bisa menjadi pengingat akan pesan moral yang luhur itukepada kita semua. Utamanya kepada para pemimpin kita. Kesediaan berkorban demi menjaga kekompakan dalam kerjasama selalu membawa kemenangan.

“Ternyata ikut panjat pinang itu berat dan melelahkan. Padahal, kita bukan lifter atau binaragawan yang tiap hari angkat beban. Tetapi, karena semangat saja, saya ternyata bisa menerima beban sampai 170 kg yang menimpa pundak. Dalam foto ketika saya mendapat beban beban sekitar 82 kg dari Pak Bagus,” lapor Broto Happy lagi.

Keberhasilan itu karena selain kompak, juga berkat strategi yang tepat. Layaknya di sepakbola, Tim Samiaji 4 mengandalkan formasi 2-1-1. Artinya, dua orang (saya/berat 87 kg dan Pak Suksma/86 kg) sebagai fondasinya, lalu Pak Bagus (82 kg) di level kedua, dan terakhir Pak Dudung (85 kg) di level terakhir. Formasi itu didapat setelah sebelumnya Pak Ruli dan Pak Rozy sebagai pemain level tiga tidak berhasil mencapai puncak pohon pinang.

Photobucket

Toss kemenangan. "Ternyata berat juga ikut panjat pinang. Saya baru pertama kali ini ikut lomba," ujar Pak Haji Suksma, pengusaha travel dan peralatan ibadah haji ini yang juga diiyakan peserta yang lain.Dalam foto ia berada paling kiri, disusul Ruli, Broto Happy, Dudung, Rozy, dan Bagus. Mereka merayakan kekompakan yang mampu mengantar tim meraih kemenangan.

Melihat lomba panjat pinang sepertinya mengasyikkan. Ternyata setelah menjalani sendiri, ternyata sangat sulit dan berat. Pertama, karena licin. Dan kedua, perlu mengerahkan segenap kekuatan untuk menjadi kuli panggul layaknya di Pasar Legi Solo atau manol di Pasar Wonogiri.

Yang tak kalah penting: kerja sama dan membuat strategi yang tepat. Siapa di bawah, tengah, dan siapa di level atas. Dengan strategi dan perhitungan yang tepat itulah tim Samiaji 4 berhasil mengondol seluruh hadiah.

Photobucket

Hujan hadiah. “Hebatnya, kita menang,” tegas Broto Happy, akhirnya. Hadiahnya kita sikat semua, karena tim kita menjadi satu-satunya tim yang berhasil memanjat sampai atas. Makanya, hadiahnya, mulai dari peralatan elektronik hingga kaus, sandal, sepatu, bola voli, dll, bersih-sih!

Dalam foto Broto Happy W. nampak eforia sambil membopong hadiah pesawat televisi plasma layar datar 300 inch yang bisa dilipat-lipat sebesar kotak magic jar (“apa ada merek televisi Miyoko sih ?”), sementara Pak Suksma dan Pak Bagus bersama penonton menyambut gembira datangnya hujan hadiah dari puncak pohon pinang yang sukses diokupasi anggota tim Samiaji 4.

Perjuangan yang mengesankan. Cuma, seminggu setelah lomba, badan, terutama pinggang, dan otot pundak, pegel-pegel semua. Otot betis pun terasa njarem. "Wah, sampai sekarang saya masih pegel-pegel," sebut Pak Bagus, karyawan perusahaan biskuit PT Arnott itu. "Ongkos pijatnya lebih mahal dibanding hadiahnya. Tetapi kita senang saja mengikuti lomba panjat pinang," komentar saya.

Mungkin, saat pertemuan Trah Martowirono nanti, seru juga digelar lomba panjat pinang. Syaratnya, pesertanya minimal memiliki berat badan 80 kg. Siapa yang ikut ya? Mungkin Mas Wiranto, Mas Untung, Mas Agus (mbak Endah), Mas Pri, saya, dan siapa lagi ya? Om Bas bisa juga. Dia kan belakangan termasuk kartunis berbobot. Maksudnya kini bobotnya lebih dari 80 kg! Oh ya, Iwin boleh ikut?

Catatan Bambang Haryanto : dalam pertemuan Trah 2003 di Kajen, telah diadakan ritus untuk mendata bobot-bobot dan bobot warga trah. Setiap peserta harus masuk jembatan timbang dulu :-). Tercatat antara lain yang memiliki bobot melebihi 80 kilogram adalah : Bude Suharni Sukiyo (85) dan Baroto nDandung (81).

Kabar menggembirakan dari Broto Happy W. tentang 17 Agustusan itu kemudian ditutup dengan kabar lain. “Kamis besok (28/8/2008), kalo jadi saya mau ke Malaysia. Saya diajak jalan-jalan pemilik Musica Studio yang sangat senang bulutangkis. Ini perjalanan saya kedua setelah sebelumnya tahun lalu.

Di Kuala Lumpur ada kejuaraan veteran bulu tangkis, jadi jalan-jalan sambil berolahraga. Saya sendiri tidak ngirim tulisan, karena ngambil cuti. Apalagi, sejak Maret lalu, saya dipindahkan ke desk ke Sepakbola Nasional. Meski begitu, kenalan saya tetap paling banyak dari bulu tangkis !”

Terima kasih, Happy. Kabar lanjutnya, juga dari Warga Trah Martowirono lainnya, sangat ditunggu. Sukses selalu untuk semuanya.

(Bambang Haryanto)


kkk