Reuni Balung Pisah Yang Betul-Betul Terpisah
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com
Pemakaman Kedunggudel, 21 September 2009. Makam adalah tempat reuni yang mungkin terasa aneh. Tetapi makam sebenarnya juga mampu memberikan wawasan yang mendalam dan hakiki mengenai makna kehidupan.
Bukankah orang Jawa punya ucapan terkenal tentang sangkan paraning dumadi, wacana tentang asal-usul manusia hingga sesudah akhir perjalanan hidupnya selama di dunia ? Makam merupakan tempat terbaik untuk perenungan itu. Tetapi makam juga sekaligus tempat terbaik untuk melakukan pengingkaran kita tentang akhir kehidupan yang menakutkan rata-rata orang itu.
Boleh jadi, pergulatan di atas itu menunjukkan keunikan kita sebagai manusia.Seperti halnya ucapan bahwa banyak orang merindukan surga, tetapi kalau bisa momen itu tidak usaha datang terlalu segera. Bahkan sutradara, penulis dan aktor Woody Allen punya pendapat sendiri tentang kematian. Rada-rada jenaka.
Katanya : “It's not that I'm afraid to die. I just don't want to be there when it happens”. Bukan karena saya takut mati. Saya hanya ingin tidak berada di tempat itu ketika kematian itu tiba.
Setahun lalu, saat nyekar di makam Kedunggudel ini, ucapan Allen yang jenaka itu belum berkelebat di benak. Tetapi pengalaman yang rada-rada lucu, toh terjadi saat itu pula. Saat itu saya bersama Bari Hendriatmo, seusai mendoakan arwah mBah Dung Kakung Martowirono (wafat 11 Desember 1972) dan mBah Dung Putri, Jiah Martowirono (data di batu makam wafat tanggal16, bulan tak jelas, dan tahun 1996) dan Bapak Sutono (31 Mei 1931-15 September 2002).
Kemudian saya menyapa keluarga yang usai nyekar di bangunan sebelah timur makam mBah Dung Putri itu. Makam mBah Dung Kakung berada di depan bangunan yang terkunci itu. Dulu, ketika mBah Dung masih sugeng, kunci itu dititipkan di rumah beliau.
Teori Big Bang. Keluarga itu terdiri bapak, ibu dan dua putri remajanya. Keluarga Bapak Sukiyanto (foto), asal Banyuanyar, Solo. Merasa kita telah nyekar di makam yang sama, kita pun mudah tergoda untuk berasumsi bahwa di antara kita pasti ada kaitan kekerabatan.
Obrolan yang kemudian terjadi antara kita segera mengingatkan saya akan Teori Dentuman Besar, Big Bang Theory, yang menjelaskan asal-usul terjadinya semesta ini. Yaitu ketika gumpalan gas raksasa meledak, lalu terciptalah milyaran beragam planet serta benda-benda angkasa lainnya. Benda-benda itu masing-masing lalu punya garis edar perjalanannya sendiri-sendiri. Kadang ada yang saling mendekat, bertabrakan, atau kemudian saling menjauh lagi.
Karena keterbatasan rujukan, obrolan kami berempat itu (putrinya hanya ikut senyum-senyum) banyak yang tidak nyambung. Saya tidak tahu, Mas Sukiyanto itu berasal dari keluarga mana di Kedunggudel ini. Tetapi ketika ia menyebut sesuatu nama, garis edar planet kita sepertinya mendekat. Misalnya ia menyebut nama “Pakde Warsono, Panularan, Solo.” Radar saya segera nyambung.
Saya ingat di album foto keluarga, ibu saya Sukarni pernah menunjukkan foto “Pakde Warsono” itu. Bekerjanya di Kantorpos Solo. Salah satu putranya, bernama Mas Joko. Boleh jadi, moga saya tak salah ingat, bapak saya (Kastanto Hendrowiharso) saat itu bertugas di Solo, lalu ibu melahirkan anak pertamanya di Rumah Sakit Tentara DKT Gendengan. Rumah sakit ini dari kampung Panularan, tidak jauh jaraknya. Anak yang lahir itu, adalah saya sendiri.
Ketika kami (saya and Bari) menyebut nama “Sukarni” dan “Wonogiri,” Mas Sukiyanto segera menyahut bahwa rumah kami ada “di timur Pasar Wonogiri.” Saya tidak tahu, apa maksudnya di “timur” itu. Jawaban ini sekaligus benar, juga bisa salah. Selebihnya, seingat saya, hanya menunjukkan bahwa garis edar planet kita segera saling menjauh lagi.
Tetapi yang pasti, saya telah memberikan kartu nama saya. Lalu Mas Sukiyanto, memberikan nomor HP-nya. Walau mungkin kita saling merasa heran, obrolan itu toh menyenangkan. Minimal, kita telah ketemu waris yang sama-sama memiliki akar leluhur di Kedunggudel ini pula.
Semoga kita bisa ketemuan lagi. Dengan cara itu mungkin hubungan antara kita itu, walau selama ini benar-benar sebagai balung yang terpisah, dengan aksi jlentreh sana dan jlentreh sini, termasuk melalui tulisan di Internet ini, siapa tahu akhirnya akan muncul hal yang benar, jelas dan indah yang mampu mengaitkan kita-kita ini.
Salam sejahtera dari Trah Martowirono untuk Mas Sukiyanto dan keluarga !
Wonogiri, 6 September 2010
No comments:
Post a Comment