Vredeburg, Cinta dan Lorong Sejarah Trah Martowirono
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Belanda memisahkan. Trah Martowirono menyatukan. Pesan itu mencuat kuat pada sajian film parodi pendek impresif, berjudul “Seboeah Perjoeangan”
Film garapan trio sineas aliran New Sheepskin Cloud (aka Awan Wedus Gembel Baru) yang menegaskan betapa “cinta, ibarat jarum dan benang yang mampu menyatukan keluarga.” Inilah kemudian yang terjadi.
Kain-kain keluarga Trah Martowirono yang bisa bersatu itu kemudian tampil warna-warni. Juga jarumnya. Juga benangnya. Juga hati yang menggerakkannya. Di Benteng Vredeburg, Djogdjakarta, Rabu, 23 September 2009, rangkaian kain-kain indah milik warga Trah Martowirono seolah terentang menembus liku lorong-lorong sejarah. Dari masa lalu, masa kini, dan menyongsong masa depan.
Terima kasih, Aningtyas.
Terima kasih, Bakoh Putra.
Terima kasih, Chandra Gatot.
Akhirnya, tidak terelakkan, benteng Vredeburg itu pula kini menjadi bagian sejarah Trah Martowirono. Begitu juga sebaliknya. Keduanya saling jalin-menjalin dari masa kelam, masa penjajahan, dan kini bersinar di masa untuk mengisi kemerdekaan.
Kita mundur dulu ke masa lalu. Sejarah mencatat, benteng Vredeburg merupakan simbol politik pecah belah Belanda. Berdirinya benteng ini tidak dapat dipisahkan dari sejarah Traktat Giyanti, 13 Februari 1755. Traktat yang dirancang Belanda itu memang mengakhiri perseteruan antara Paku Buwono III dengan Pangeran Mangkubumi (yang kemudian bergelar sebagai Sultan Hamengku Buwono I).
Tetapi pada hakekatnya perjanjian tersebut adalah perwujudan usaha Belanda untuk membelah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Pendirian benteng Vradeburg di Yogya dan Vastenburg di Solo, tak lain sebagai pos penjagaan tentara kolonial Belanda untuk mengawasi kedua keraton tersebut. Politik pecah belah Belanda itu membekaskan perseteruan semu antara Solo versus Yogya. Bahkan lukanya masih mudah kembali menganga, misalnya ketika meledak perseteruan Djogdja-Solo berupa tawuran massa di kancah sepakbola. Sampai saat ini.
Momen cinta. Trah Martowirono yang berakar dari Kedunggudel, Sukoharjo, kini menyerbu Djokdjakarta. Tidak dengan pedang atau sambitan batu. Tetapi dengan cinta. Dengan kerinduan. Karena, antara lain, ibarat sebuah pohon maka kini cabang dan ranting trah ini sudah menjulur sampai Djogdja.
Banyak warga trah ini yang bersekolah, bahkan hingga beranak-pinak di kota gudeg ini pula. Ibu Dwi Hastuti (foto), dari Taler 1 yang kelahiran Tekaran, Selogiri, dan kini tinggal di Kaliurang, meringkas hal itu dalam gurat puisi renungan yang ia bacakan dalam suasana hening reuni itu :
“Ketika memilih jalan yang hendak dilalui, aku memilih jalan yang mengarah ke barat. Jalan itu bermula di hutan masa kanak-kanak, dan berujung di kota keberhasilan.”
Kota keberhasilan itu juga dijejaki adiknya, Untung Suripno.Dirinya menuntut ilmu, sejak SMP sampai perguruan tinggi, di kota pelajar ini pula. Juga bekerja. Sehingga berkeluarga, pada tanggal 16 Agustus 1982, sebagai tanda berdirinya “Kerajaan Bantul”-nya. Bantul itu singkatan slengekan : PramBANan (asal sang istri, Ibu Erry) dan Tekaran bergaUL.
Dua puluh lima tahun kemudian, 16 Agustus 2007, Benteng Vredeburg ini mulai memiliki relevansi sebagai bagian sejarah Trah Martowirono. Karena pesta syukuran perkawinan perak Untung (berpidato ; dari kiri, Bunga,Mayor Haristanto dan Hanum) dan Erry, dirayakan di sini. “ Chains do not hold a marriage together,” tutur Simone Signoret (1921–1985), aktris Perancis. Rantai tidak mampu mempertahankan perkawinan, katanya.
Tetapi, “jalinan, ratusan jalinan benang-benang kecil yang mampu menjahit kebersamaan seseorang untuk mampu melewati tahun-tahun perjalanan. Itulah yang membuat perkawinan menjadi langgeng, lebih dari gelora syahwat dan nafsu.”
Jalinan benang-benang kecil itu termanifestasikan, misalnya, dan tak terlupakan, ketika muncul momen pemberian seuntai bunga kuning oleh Mas Untung ketika mBak Erry tampil di panggung. Juga sebaliknya. Julio Iglesias, penyanyi romantis Spanyol yang tepat berulang tahun ke 66 pada saat reuni trah itu dilangsungkan, seolah hadir sebagai tamu yang mengabadikan momen perayaan cinta itu dalam salah satu lagu indahnya :
Take my hand (take my hand)
Take my whole life too (life too)
For I can't help falling in love with you
Dalam kehangatan di bawah lindung selimut cinta siang itu, lalu menerbangkan harapan : “Aku ingin hidup seribu tahun lagi.” Itu merupakan bagian dari lirik indah lagu “Pertemuan” yang dilantunkan Bunga Clara Persada saat membuka acara.
Celotehan mahasiswi cantik jurusan Teknik Industri UGM yang bersinergi dengan Hanum, mahasiswi hiperaktif dan cemerlang (“apalagi kalau malam memakai bedak terbuat dari fosfor”) yang kini belajar di Teknik Kimia UGM, saat menjadi hostess acara, kemudian ibarat benang indah yang menjalin harmoni perpindahan satu acara ke acara berikutnya.
Kata Bunga dalam SMS setelah acara yang ia pandu sukses : “Memang kalau kerja keras benar2 dari hati gak akan terasa berat.Saya senang jika semua orang juga senang.”
Terima kasih, Bunga.
Terima kasih, Hanum.
Dua ratus empat tahun lalu, akibat ulah liciknya, Belanda berhasil memecah Mataram menjadi dua kubu : Yogya vs Solo. Kini, sejarah mencatat hal lain. Saat reuni Trah Martowirono berlangsung, suatu kebetulan ada wisatawan bule yang keblasuk masuk arena. Malah ia kemudian ikut bergabung beberapa waktu dalam acara reuni yang disambut warga Trah dengan senang hati.
Ia seorang insinyur, projectorganisator dari BAM Rail bv. Namanya : Bart van Zwam. Berasal dari Breda, Belanda. Dalam foto ia nampak dikawal “pasukan gerilya republieken”, Mayor Haristanto. Bart mendapatkan sambutan meriah ketika dengan fasih menyebutkan nama trah kami :
Martowirono !
Momen yang ajaib. Di masa lalu, Belanda menggunakan politik untuk memisahkan. Di masa kini, Trah Martowirono dengan pendekatan hati, mempersatukan.
[Cerita heboh hip-hop dari Trah Martowirono di Benteng Vredeburg masih akan berlanjut.]
Wonogiri, 24/9/2009
trahmw
No comments:
Post a Comment