Enam Djam Di Djogdja, 2009 !
Satoe Akar, Ranting Jang Berboeah, Koenang-Koenang Jang Menjinari Doenia
Reuni Trah Martowirono XXIII-2009, Museum Benteng Vredeburg, 23 September 2009
Serangan Oemoem ! Mesin kangen-kangenan untuk bertemu mulai panas lagi. Menggelegak dari Lampung, pedalaman Kalimantan, sampai di sela hiruk pikuk keramaian kota Djogdja yang semakin metropolis. Di antara mega-mega wedus gembel yang tipis ramah memayungi euforbia cantik yang tersenyum di Kaliurang.
Ia membara di antara nyanyian cengkerik di lindung semak padi di Boyolali, Polokarto, di interval desis ban-ban bis di sebelah barat rumah Selogiri, menyelip langit musim gugur di Perth, keriuhan angkot Bogor, suara pasar dan dengung layar televisi berisi liputan ESPN di kantor Palmerah.
Deru kangen itu bercampur warna-warni parade sunyi yang menghamburkan embrio gagasan gila di Kadipiro, dengung santri mengaji di Jember sampai meniti buih ombak Gilimanuk, di antara bau minyak tanah, bensin dan denting besi-besi onderdil bis di Ngadirojo, sampai tarian di antara kedip-kedip kursor layar komputer di warnet Wonogiri.
Semua memiliki nada sambung yang sama. Mari kita serbu Djogdja dengan cinta. Kesanalah, keluarga Trah Martowirono di tahun 2009 ini, di lindung suasana Idul Fitri 1430 H, akan berkumpul kembali. Serangan oemoem untuk merekatkan kembali cinta dan suara hati itu, akan segera terjadi. Kita merindukannya !
Pohon perindang. “Pada tahun 2009 ini Trah Martowirono memilih tema spiritual, “Ranting yang berbuah. Kita sebagai anggota Trah Martowirono ibarat suatu ranting dari pohon besar Keluarga Martowirono. Pohon itu adalah pohon yang tumbuh subur dan menjadi perindang bagi tanaman lain yang membutuhkan,” tutur Untung Suripno, selaku Kepala Suku Trah Martowirono.
Pohon itu memiliki ranting yang kuat dan bercabang banyak, lanjutnya. Pohon itu dengan akarnya yang kuat mencari mata air agar ranting yang ada tetap tidak kering dan mampu berbuah lebat. Kita sebagai ranting dari pohon yang besar tentu akan berusaha berbuah.
Buah itu berupa saling memperhatikan bot-repot saudara kita, memberi penghiburan bagi yang bersedih, saling berbela rasa dan menjadi suri tauladan bagi sesama. Harta yang kita miliki bukan satu-satunya kekayaan tetapi perlu dilengkapi dengan budi pekerti yang luhur sehingga kita dapat menjadi jalan berkat bagi orang lain.
Marilah kita sebagai anggota trah dapat menjadi ranting yang berbuah sehingga orang lain dapat menikmati buah yang kita hasilkan. Orang bijak mengingatkan bahwa ranting yang tidak berbuah akan di potong dan di buang ke dalam api. Selamat memasuki tahun 2009, tahun penuh tantangan. Tuhan memberkati kita semua.
Terima kasih, Mas Untung.
Trah kita menyapa dunia. Ranting-ranting pohon Trah Martowirono kini memang semakin menjulur keluar pagar. Bukan dalam konotasi negatif, tetapi merupakan perwujudan dari keinginan agar mampu berguna bagi masyarakat yang lebih luas.
mBah Dung punya dongeng, yang bagi saya kemudian menjadi metafora yang menarik. Dongeng ini saya kira masih membekas pada diri mBak Endang, juga para cucu lainnya. mBah Dung bilang, “kuburkan serpihan potongan dari kuku-kukumu. Serpihan kuku itu bila malam akan berubah menjadi kunang-kunang.”
Waktu saya (Bambang Haryanto) kecil, saat duduk di SD (1961-1966), tentu tidak mempercayai cerita beliau. Walau memang, bila menginap di Kedunggudel, di antara kerlip nyala merah lampu ting terbuat dari botol Brylcreem nampak seliweran puluhan kunang-kunang menari di gelap malam. Ditimpali suara burung hantu, dari pohon besar di kuburan, sebelah selatan rumah beliau.
Rupanya dongeng beliau itu merupakan metafora. Ibarat. Pesan moral yang baru akan diketahui maknanya berpuluh tahun kemudian. Bagi saya, reuni Trah Martowirono, adalah reuni para kunang-kunang. Kalau Mas Untung menyebutkan kita sebagai ranting yang berbuah, sejalan dengannya saya menyandingkannya dengan metafora kunang-kunang.
Karena masing-masing kita memiliki cahaya. Memiliki keindahan. Yaitu ketika kita, eksistensi kita, mampu memiliki dan memberi manfaat bagi banyak orang di sekitar kita.
Kepala suku Indian Kaki Hitam, Crowfoot (c. 1830–1890), sebelum meninggal dunia pada tanggal 25 April 1890, seperti dikutip oleh John Peter Turner dalam bukunya The North-West Mounted Police: 1873–93 (1950), antara lain sempat mengatakan : What is life? It is a flash of a firefly in the night. Apakah hidup itu ? Ia adalah pendar nyala kunang-kunang di waktu malam.
Bersyukurlah. Berbanggalah.
Anda telah membuktikan pendar-pendar nyala dalam kehidupan Anda. Untuk itu, kini saatnya kita menyerbu Djogdja. Untuk berbagi cerita. Setahun sekali, sembari mereguk oasis sebagai insan yang fitri, mari berbagi cerita-cerita kita itu, untuk sesama kita, dengan beragam warna, dalam upaya memayu hayuning buwono.
Almarhum Michael Jackson menyebutnya sebagai upaya heal the world, yang tak lain identik dari niat luhur ajaran mBah Dung kita : membuat diri kita, para keturunan dan keluarganya, mampu membawa dan memberi kemaslahatan bagi dunia.
Kini saatnya kiat membuat heboh. Seperti tahun lalu, 2008, saat Reuni Trah Martowirono XXII di Wonogiri. Bahkan saudara jauh kita pun, ikut pula merayakannya, seperti terekam pada foto di bawah ini.
Tagline untuk penanda kehebohan tahun 2009 berbunyi : satoe akar beragam krida kita oentoek doenia. One root colourful efforts serve to the world.
(us/bh)
No comments:
Post a Comment