*Sedikit kisah hari-hari terakhir orang yang kami kasihi :
Herpadmiatun (3 Juni 1956-30 Juli 2012)
Oleh :
Untung Suripno
Hari Yang Ku Kenang. Hari Kamis, 26 Juli 2012 yang lalu adalah hari sangat terkenang bagi keluargaku.
Saat itu, pukul 01.00 wib dini hari.
Isteriku belum tidur, saya belum tidur. Isteriku di kamar melamun merenda angan, saya di meja makan melihat acara televisi.
Tiba – tiba ada suara nyaring dari dalam kamar. Isteri saya merasa dadanya sesak tidak lancar bernafas.
Saya bergegas menghampiri. Isteriku terus merasa sakit dadanya. Saya memutuskan untuk membawa isteri pergi ke Rumah Sakir Bethesda.
Saya mengangkat isteri masuk ke mobil. Tidur di tempat duduk bagian tengah. Saya mengemudi.
Mobil terpacu kencang menuju rumah sakit dan masuk di IGD Rumah Sakit Bethesda.
Isteriku ditangani dokter jaga. Dadanya sudah berkurang sakitnya. Siang hari dia sudah diijinkan pulang sambil diberi obat untuk pemulihan. Obat itu untuk penyembuhan selama lima hari dan Senin harus kontrol lagi.
Setelah itu, hari–hari penyembuhan dimulai. Isteriku istirahat dirumah. Saya tidak bekerja keluar rumah. Kamis, Jum’at, Sabtu saya menemani isteri di rumah.
Di saat – saat pemulihan kesehatan, isteri saya sering duduk merenung. Tidur tidak nyenyak, makan apapun dirasa kurang enak.
Sabtu malam isteri saya memanggil saya untuk menemani duduk. Dia memgang tangan saya dan dia berkata lirih … “ saya minta maaf pa. “ Saat itu saya tidak tahu apa makna kata–kata itu. Karena saya merasa bahwa isteri saya tidak punya salah dengan saya.
Minggu Yang Tak Terlupa. Minggu itu (29 Juli 2012), pagi hari, isteri saya sudah bangun lebih awal. Dia membuat minum susu untuk saya dan Rico, anak saya. Saya bangun, seperti biasa saya menuju meja makan untuk minum pagi.
Ketika saya minum di meja makan, Rico masih tidur, isteri saya di kamar mandi. Ketika keluar dari kamar mandi, isteri saya berteriak
“tolong, tolong… “ dan dia jatuh di depan kamar mandi.
Saya berlari, Rico berlari menghampiri dia yang jatuh. Isteri saya lemas. Dia ingin dibawa ke rumah sakit. Saat itu kurang lebih jam 07.00 pagi. Dengan kencang mobil dipacu Rico menuju rumah sakit. Saya memijit tangan isteri saya yang merasa lemas. Isteri saya masuk IGD RS Bethesda yang kedua.
Ada tindakan penyembuhan yang dilakukan oleh dokter dan perawat. Akan disuntik obat pengurang rasa sakit tetapi tensi rendah sehingga harus dipacu agar tensi naik. Hasil telaah medis, isteri saya dinyatakan sakit jantung dan disarankan untuk dibawa ke rumah sakit Dr. Sarjito. Saat itu jam 09.00 pagi. Bunga yang masih kerja di Jakarta saya telepon segera pulang.
Setelah berkomunikasi dengan RS Sarjito dan minta bantuan dr. Rendi yang ada di RS Sarjito, maka isteri saya bisa diterima di RS Sarjito. Saya tidak melihat ambulan yang membawa isteri saya ke Sarjito.
Dia ditemani Rico dan saya harus pulang ke rumah untuk mengambil sesuatu. Saya bergegas dari rumah ke RS Sarjito. Jarak itu terasa sangat jauh…..karena saya merasa harus segera tiba di Sarjito. Disana sudah ditunggu dokter Rendi, Rico dan isteri saya yang sakit.
Di IGD RS Sarjito saya ditemui dokter Rendi. Saya diberi informasi bahwa isteri saya sakit penyumbatan saluran darah di jantung. Dia harus dioperasi untuk di pasang ring. Saya setuju. Isteri saya ditanya oleh Rico dan dia setuju. “ Aku pingin cepat sembuh dan pulang, “ katanya sambil terisak. Saat itu pukul 10.00 pagi.
Ruang operasi disiapkan, isteri saya menunggu, saya dan Rico menunggu di dekat isteri saya yang terbaring lemas, sesak nafas dan sakit di dada. Saya diberi obat untuk diminumkan ke isteri saya, segera akan saya minumkan. Saya sedang mencari air putih untuk meminumkan obat. Saat itu isteri saya mengeluh kepalanya pusing….. hanya dalam hitungan detik dan isteri saya tidak sadarkan diri.
Seluruh dokter yang ada disitu bergerak untuk menangani isteri saya. Nafasnya berhenti. Oksigen dan nafas buatan tidak mampu memacu kerja jantungnya. Isteriku harus dibantu dengan ditekan dadanya untuk membangun pernafasan ekstra. Dokter yang ada mengatakan bahwa isteri saya kritis. Saya diminta berdoa. Saya berdoa di dekat telinga isteri saya.
Saya menangis, Rico di dekat saya menangis. Inilah air mata yang jarang saya keluarkan membasahi pipi saya. Rico juga tidak pernah menangis. Kali ini saya baru melihat Rico menangis yang pertama kali. Masa koma ini berjalan hampir dua jam. Saya hanya berharap menyaksikan keajaiban untuk hidup isteri saya. Saya bisikkan ke telinga isteri saya bahwa Bunga, anak yang dicintai sedang dalam perjalanan dari Jakarta.
“Sebentar lagi Bunga datang,”kata saya. Isteri saya menghela nafas pelan dan terus berangsur–angsur nafas itu ada. Kata dokter, nadi itu berdenyut lagi. Inilah kemukjizatan pertama yang saya lihat atas hidup isteri saya. Saya menghela nafas. “Terima kasih Tuhan,“ kata saya lirih. Dalam hati saya menyatakan bahwa isteri saya telah “hidup” kembali.
Saat itu saya mulai memberi informasi ke banyak saudara bahwa isteri saya masuk rumah sakit dan akan operasi jantung.
Kita semua merindukannya. Keluarga Untung Suripno sedang melakukan presentasi di tengah acara reuni Trah Martowirono di Polokarto, 2 September 2011. Diwakili oleh Frederico Ario Damar, disaksikan oleh adiknya Citra Bunga Persada, mamanya Ny. Eri Herpadmiatun Untung Suripno dan Untung Suripno. Di tempat yang sama hampir sepuluh tahun yang lalu, pada pertemuan Trah Martowirono XVI, Sabtu, 7 Desember 2002,
sarjana geologi UGM itu secara tulus, jenaka dan terbuka mengatakan tentang
mamanya dengan ungkapan : “Mama adalah
mama yang luar biasa !”
Momen itu, hadirnya ekspresi kerukunan dan kehangatan hubungan keluarga,merupakan momen yang akan selalu dirindukan oleh seluruh warga Trah Martowirono. Reuni tahun 2011 ini ternyata menjadi perjumpaan terakhir dengan mamanya Rico dan Bunga, dan juga kekasih Bapak Untung Suripno. "Sugeng tindak, mBak Eri. Kita semua merindukan Anda." [BH].
Pukul 13.07 WIB tempat tidur isteri saya mulai didorong masuk ke ruang operasi. Pintu ruang operasi itu ditutup pelan. Saya dan Rico ada di depan pintu. Kami berdua diam sambil menahan rasa sedih. Kami malu untuk menangis lagi.
Saya mengajak berdoa Rico, Nino dan Paul. Kami berdiri berempat. Kami berdoa dan tidak mampu menahan air mata. Saat penantian itu terasa terlalu lama. Pendeta Apy Heny datang. Beliau mengajak berdoa lagi. Saat itu saya ingin terus berdoa. Karena doa ini menjadi kekuatan dan pengharapan yang bisa saya lakukan.
Pukul 14.12 wib saya dipanggil dokter untuk masuk ke ruang operasi. Untuk mendapat penjelasan tentang proses operasi yang sudah dilakukan untuk isteri saya. Saya melihat isteri saya terkulai diam. Isteri saya tidak bisa melihat saya yang sedang berharap atas kesembuhannya.
Tempat tidur dorong itu keluar dari ruang operasi. Isteri saya tetap tidak sadar. Saya ingin membawa isteri saya segera pulang. Saya berbisik di telinganya tetapi dia diam. Hanya helaan nafas yang pelan. Itu saja sudah cukup memberi harapan bagi saya dan anak – anak saya untuk menunggu dia pulang.
Tempat tidur isteri saya memasuki ruang ICCU. Saya menemui beberapa saudara yang sudah datang dengan air mata. Semua duduk diam dengan angan yang sama yaitu kesembuhan isteri saya.Bunga datang di RS Sarjito. Dia langsung menemui ibunya yang sering mengirim pesan padanya.
Air mata Bunga membasahi kaki ibunya. Air mata yang tidak pernah keluar sejak kecilnya. Bunga datang tapi ibunya tidak tahu kalau Bunga sedang membasahi kakinya dengan air mata.
Hari Terakhirnya. Hari kedua di ruang ICCU ternyata menjadi hari terakhir bagi isteri saya. Pagi hari, saya dan anak–anak saling bergantian menghampiri tempat tidur isteri saya.
Dia tidur. Matanya terpejam. Kami sering menyeka air mata yang keluar dari matanya yang terpejam. Saya dan anak–anak membicarakan tentang perkembangan kesehatan isteri saya. Kami menyimpulkan bahwa perkembangan isteri saya semakin baik.
Nafasnya mulai berangsur teratur walau masih lemah. Kami berharap ibunya anak–anak saya segera pulang. Bunga ingin mengajak ibunya untuk tetirah di Jakarta menunggui dia bekerja.
Jam berkunjung hari kedua ternyata hari terakhir isteri saya beristirahat di rumah sakit. Pukul 16.00 yang merupakan jam kunjungan di ICCU yang senantiasa kami tunggu ternyata membawa duka.
Saya dipanggil dokter untuk ketemu secara khusus. Dokter menjelaskan tentang kondisi isteri saya yang memburuk. Rico dan Bunga saya panggil untuk mendekati ibunya yang sedang melawan penyakitnya. Dokter meminta kami semua berdoa dekat dengan isteri saya.
Kami tidak siap melepas orang yang kami cintai. Inilah saat–saat yang kami benci. Kami harus melepas orang yang kami cintai dengan sakit yang menghantar perginya. Waktu menjadi beku, tidak ada kata yang dapat terucap kecuali isak dan air mata.
Kekasih hatiku pergi dengan tenang tanpa pesan yang terucap di akhir hidupnya. Isteriku telah pergi, ibuku telah pergi. Tuhan berfirman bahwa kekasihku telah pergi ke sorga.
Dia telah pergi meninggalkan orang yang dicintai. Dia belum dapat menikmati hasil jerih payahnya selama ini. Dia ingin menimang cucu-cucu yang lucu. Dia ingin menyaksikan keluarga baru bagi anak–anaknya.
Selamat jalan kekasihku.
Kita semua akan bertemu di alam kelanggengan.
Isteriku pulang kerumah disambut oleh banyak orang. Para tamu menyanyikan lagu Doa Ibu. Isteriku diam. Tetapi kami semua percaya bahwa kekasihku telah tenang di sorga. Dia akan bahagia ketika menyaksikan belahan jiwanya hidup dalam kasih Tuhan.
Saya baru sadar, ketika dia minta maaf kepada saya karena ternyata dia meninggalkan saya lebih dahulu dan dia titip anak - anaknya agar saya dampingi dalam membangun keluarga.
Banguntapan, 30 Juli 2012