Kokoh tersebut kiranya merupakan sebutan untuk santapan nasi yang sudah terlanjur bercampur dengan sayur dan lauk, tetapi begitu saja ditinggalkan belum habis tuntas dimakan oleh si penyantapnya.
Bapak H. Mualim, ulama Wonogiri terkemuka yang sering berkhotbah di masjid agung At-Taqwa Wonogiri dengan topik yang fokus dan menarik, malam itu tidak sedang berbicara tentang makanan. Beliau yang mewakili fihak tuan rumah, yaitu Drs. Bhawarto, MM, sedang berpidato dan mengilas balik sejarah keluarga almarhum/almarhumah Bangin Martosuwiryo (foto) yang malam itu sedang diselimuti kebahagiaan.
Malam itu adalah malam syukuran ijab qobul pernikahan putri beliau, Basriyatun yang dipersunting oleh Haryono Sukiyo, putra Bapak/Ibu Karyosemito dari Duren, Jatiroto, Wonogiri. Seperti kita ketahui Bapak/Ibu Bangin Martosuwiryo memiliki 4 putra/putri, yaitu Bawarti, Bhawarto dan dua putri kembar, Basriyati dan Basriyatun.
“Walau pun kembar, nasib tidak selalu sama,” tutur lanjut H. Mualim yang masih kerabat dekat keluarga. Katanya, Basriyati telah lebih dahulu menikah dan memiliki putra seumuran TK. Kini, alhamdullilah, saudari kembarnya baru bisa menyusul. Artinya, kokoh yang tertinggal sekarang telah dituntaskan malam tersebut.
Hari bahagia dan penuh syukur dari keluarga ini tidak hanya menebarkan kebahagiaan kepada kedua pengantin (“Lik Tun banyak menebar senyum malam itu, termasuk ketika sang calon suami rada grogi dan terlupa teksnya komplitnya ketika mengucapkan ijab…”), tetapi kepada warga Kajen (kepala lingkungan/kaling, Bapak Suroto, menjadi pranoto coro), termasuk sumarambah juga kepada warga Trah Martowirono. Liputan foto dan ceritanya, silakan Anda nikmati :
Dalam foto kedua nampak wakil rombongan Duren itu disambut oleh Bapak H. Mualim selaku wakil keluarga yang didampingi oleh Bapak Broto Prastyono (kiri) dan Bapak Bajuri. Intinya, selain mengucapkan selamat datang, juga menyambut dengan syukur atas berlangsungnya penyatuan keluarga dalam ikatan pernikahan putra-putri mereka.
Sebagai wali adalah Drs. Bhawarto, MM. Sebagai saksi adalah M. Nur Hidayat dan Tamiyo.
Karena malam itu sebagai anak lelaki tertua Drs. Bhawarto, MM telah menuntaskan tinggalan kokoh dari kedua orang tercinta.
Mereka malam itu menghadirkan penyanyi serba bisa Gunarsi (kiri) dan Umi Nurfiana. Memenuhi permintaan lagu dari rombongan Duren Jatiroto, keduanya nampak kompak dan serasi menyanyikan lagu “Tombo Ati” yang terkenal itu.
“Ia anak buahnya Pak Bhawarto yang camat Giriwoyo. Tetapi Mas Agus punya kelompok musik Pesona yang berasal dari Selogiri, dan konon sebagian warganya adalah para mahasiswa yang berkuliah di Yogyakarta,” tutur Ibu Bawarti kepada Bambang Haryanto, reporter blog Trah Martowirono.
Reuni dua marinir. Di perjamuan malam itu saya duduk di belakang dari Ibu Sri Utami Sriawan dan putranya, Imanuel Dwiatmojo. Di kluster yang sama nampak Ibu Endang Wiranto berdampingan Ibu Harti Priyono.
Hadir juga Santoso Priyoutomo (“kebetulan cuti di bulan Juni-Juli ini, dan Sabtu depan sudah harus kembali ke medan tugas di Kalimantan”), bersama istri, dan putranya yang bikin pangling, nampak makin besar dan tampan, Banu yang konon suka mendalang itu. Di kluster yang lain hadir Ibu Bastion “Iwin” Taufik dan Ibu Betty.
Bapak Tri yang manajer Jasindo Takaful Cabang Solo adalah kakak ipar Bapak Bhawarto. Muncul cerita menarik dari mereka.
Saat itu, antara lain, Ibu Tri Wahyuhadi Kustoyo sempat menduga saya sebagai “wartawan CNN yang pernah beliau temui saat berlangsungnya Solo Batik Carnival di Solo.” Tentu saja, sambil senyum, saya tidak mengiakan dugaan itu. Lha wong saya hanya reporter untuk blog Trah Martowirono ini, walau memang media ini bisa bercakupan global seperti halnya CNN.
Saya duduknya saat itu di sebelah kiri dari Bapak Wiyono, kerabat dekat dari keluarga Ibu Bangin Martosuwiryo, asal Kalijaten, Taman, Sidoarjo. Ketika saya usai memotret upacara ijab dan kembali ke tempat semula, sudah nampak bergabung Bapak Wiranto di deretan kursi kluster saya. Merasa sok tahu, saya lalu memberitahukan kepada Bapak Wiyono bahwa Bapak Wiranto itu juga pernah bertugas di Surabaya.
Cerita yang muncul dari Bapak Wiyono membuat saya rada kaget. Ternyata kedua bapak berinisial “double-double yu” itu, yaitu Bapak Wiranto dan Wiyono, sudah saling mengenal. Ternyata keduanya sama-sama marinir dan sama-sama pula bertugas di Surabaya.
“Kapan tahun terakhir bertemu ?,” selidik saya. Keduanya tak bisa mengatakan pastinya. Tentu saja ketika kedua beliau itu ketika masih aktif di militer. Mungkin pertemuan itu sudah 20-30 tahun yang lalu. Kini keduanya sudah bisa saling pamer jumlah cucu. Syukurlah, gara-gara Lik Tun menjadi pengantin, kedua pensiunan marinir itu bisa bertemu kembali di Kajen.
Kita semua, termasuk keluarga besar Trah Martowirono pantas bersyukur karenanya.
tmw
No comments:
Post a Comment