Out of The Box Berbuah Penghargaan MURI
Oleh : Broto Happy W.
Email : brotohappy (at) yahoo.com
Konsep ide-ide liar selama ini dianggap nyleneh. Atau tidak berguna, dan kemudian kerap masuk kotak sampah.
Padahal, konsep ide liar ini adalah bagian dari kreativitas yang juga layak diapresiasi. Bahkan, banyak pihak menyebut bahwa konsep ide-ide di luar kebiasaan sehari-hari ini harus ditumbuh-kembangkan. Sudah saatnya kita memang dituntut melahirkan sesuatu konsep di luar kebiasaan. Istilah kerennya sekarang harus memiliki konsep berpikir out of the box!
Out of the box! Ya, itu yang dilakukan anggota warga Trah Marto Wirono, Broto Happy Wondomisnowo saat diberi mandat organisasi bulutangkis Indonesia, PB PBSI untuk menyelenggarakan pertandingan simulasi Piala Thomas-Uber. Pertandingan pemanasan, sekaligus uji coba ini ditujukan untuk menghadapi Putaran Final Piala Thomas-Uber di Stadion Putra, Bukit Jalil, Kuala Lumpur, 9-16 Mei 2010.
Broto Happy, yang jadi wartawan, seperti kejuaraan-kejuaraan bulutangkis internasional sebelumnya, bakal dikirim Tabloid BOLA untuk meliput langsung ke Malaysia. Putaran Final Piala Thomas-Uber nanti adalah liputan dia yang ke delapan tanpa terputus sejak 1994 di Jakarta, 1996 (Hong Kong), 1998 (Hong Kong), 2000 (Malaysia), 2002 (Cina), 2004 (Jakarta), 2006 (Jepang), dan 2008 (Jakarta).
Konsep berpikir menggelar sesuatu hanya sebagai rutinitas, saya buang jauh-jauh. Akhirnya, pertandingan simulasi ini pun bisa dipindahkan ke Solo. Maklum, rutinitas selama ini simulasi hanya berlangsung di Bandung atau di Pelatnas Cipayung, Jakarta Timur.
Ternyata hasilnya mengejutkan semua pihak. Simulasi Piala Thomas-Uber di Solo, Minggu (25/4) sore berlangsung sukses. Kendati harus membayar tiket Rp 40.000 untuk tribun dan Rp 100.000 untuk VIP, ternyata tidak mengurangi animo pecinta bulutangkis masyarakat Kota Bengawan untuk berbondong-bondong datang ke GOR Sritex Arena.
Saat ditanya pengurus PB PBSI, mengapa memilih Solo sebagai tempat simulasi, tentu bukan karena alasan saya bisa pulang ke rumah. Tetapi, karena rutinitas simulasi harus dihentikan. Broto Happy pengin sesuatu yang baru dan menyegarkan. Tak hanya bagi pemain, tetapi juga penonton. Selain itu, atmosfer Solo terhadap olahraga tepok bulu demikian dahsyat.
Maklum, Kota Bengawan dalam sejarahnya termasuk rajin melahirkan pemain bulutangkis kelas dunia. Dari kota ini bak mata air sungai Bengawan Solo, tidak pernah putus menghasilkan pemain bintang. Sebut saja, Indra Gunawan, Indratno, Djaliteng, Lanny Tedjo, Icuk Sugiarto, Joko Suprianto, Gunawan, Bambang Suprianto, Dwi Arianto, Luluk Hadiyanto, dll.
Dengan memindahkan pertandingan simulasi Piala Thomas-Uber ke Solo, apakah itu sudah cukup? Jawabnya tidak! Itu hanya sebagian kecil dari konsep berpikir keluar dari kebiasaan yang saya jalani.
Kejutan Membatik. Saya pun berusaha memberikan kejutan berikutnya kepada pemain bulutangkis terbaik Indonesia saat ini. Pemain harus dikenalkan dengan tradisi dan budaya adi luhung Kota Solo. Apa itu? Batik! Apalagi, Solo sendiri sudah memproklamirkan dirinya sebagai Kota Batik. Klop sudah!
Batik di sini bukan hanya sekadar melihat, namun seluruh rombongan pemain harus dikenalkan bagaimana susahnya membatik secara langsung. Menciptakan secarik kain batik ternyata membutuhkan sebuah usaha keras, sungguh-sungguh, hati-hati, teliti, dan juga kreativitas tinggi! Nilai-nilai inilah yang ingin saya bagi kepada pemain betapa susahnya membatik.
Akhirnya seluruh rombongan bulutangkis pun bisa membatik di Gerai Batik Putra Laweyan, Laweyan, Solo, Sabtu (24/4) sore. Inilah pengalaman pertama mereka bersinggungan dengan batik. Inilah untuk kali pertama pemain memegang canting dan membatik di atas selembar kain putih yang sudah diberi pola gambar tertentu.
Ternyata, tidak mudah. Perlu kesabaran, feeling, dan ketelitian untuk bisa menggoreskan cairan lilin berwarna coklat (malam) ke atas kain putih. Belum lagi, pemain takut kena cairan lilin yang panas itu.
“Ternyata membatik itu tidak semudah mengayunkan raket. Perlu teknik-teknik dan mengandalkan perasaan,” komentar Greysia Polii, pemain ganda.
“Acara membatiknya seru. Ini pengalaman pertama saya. Saya jadi punya pengalaman bahwa membatik itu begitu susah dan membutuhkan kesabaran. Makanya, budaya batik harus kita dilestarikan,” ujar Adriyanti Firdasari, pemain tunggal.
“Membatik ini merupakan pengalaman terbaru saya. Seumur-umur, baru kali ini saya membatik,” timpal Markis Kido (foto atas, kiri), pemain ganda yang bersama Hendra Setiawan merebut medali emas Olimpiade Beijing 2008.
Acara inilah yang saya harapkan akan selalu diingat semua pemain. Selama di Solo, mereka tidak hanya melulu bertanding bulutangkis yang sudah menjadi rutinitas sejak kecil hingga sekarang. Pemain harus mendapatkan sesuatu yang baru yang belum pernah mereka alami. Oleh-oleh berupa sensasi pengalaman terbaru inilah yang ingin saya bagi kepada pemain sebelum kembali ke Jakarta.
Oleh-oleh berupa sensasi membatik ini saya kira tidak akan habis, kendati terus dibagi dan diberikan kepada sana-keluarga pemain. Mereka pun pasti akan menceritakan pengalaman seru ini kepada teman, pacar, famili, dan sanak-keluarga. Kesan mereka terhadap Solo dan membatik tidak akan lekang ditelan zaman!
Setelah seluruh pebulutangkis Indonesia saya kejutkan dengan berbagai acara seru selama di Solo, saya pun ternyata tidak luput kena kejutan. Atas prakarasa menggelar acara out of the box dengan membatik ini, oleh Museum Rekor MURI, saya juga kecipratan mendapat penghargaan. Namun, saya memilih penghargaan itu diberikan kepada lembaga tempat bekerja, yaitu Tabloid Olahraga BOLA.
Penghargaan layak diterima BOLA, kendati ini juga adalah prakarsa saya untuk menyelenggarakan acara “Pebulutangkis Top Indonesia Membatik Bersama”.
Aksi ini pun diberi penghargaan oleh Rekor MURI Nomor 4245, bersama PB PBSI, Pengkot PBSI Solo, serta Republik Aeng-aeng Solo. Penghargaan itu diterima oleh Wakil Ketua PB PBSI Sabar Yudo Suroso (paling kanan), Ketua Pengkot PBSI Solo, Susanto (nomor tiga dari kiri), saya, dan Mayor Haristanto, dari Republik Aeng-Aeng (nomor dua dari kiri).
“Saya bangga dengan penghargaan Rekor MURI ini. Sebetulnya, itu ide liar tetapi ternyata mendapat tanggapan positif. Hanya, penghargaan ini bukan untuks aya saja, melainkan bagi Tabloid BOLA, tempat saya bekerja, dan juga pembacanya,” komentar Broto Happy.
Cuma, agar semua acara di Solo sukses, bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Saya harus bekerja all-round. Kendati jabatannya wakil ketua penitia pelaksana, saya tidak ragu untuk ikut membersihkan dan merapikan sendiri kursi pemain. Di bawah tatapan ribuan penonton, saya tidak canggung untuk mengumpulkan botol-botol minuman bekas untuk dibuang ke tempat sampah.
Selebihnya, saya juga harus menjadi media officer untuk menggelar konferensi pers antara pemain dan pelatih dengan wartawan lokal Solo. Stage manager pun harus dilakoni. Ini agar wartawan foto tidak berebut untuk mengabadikan momen di podium juara.
Selebihnya, menjadi humas PB PBSI dadakan, dan penghubung pemain dengan panitia lokal juga jadi menu wajib. Bahkan, saya pun menjadi wasit untuk menggelar pertandingan eksibisi yang mempertemukan pemain kelas dunia melawan pebulutangkis dari Yayasan Pembina Olahraga Cacat (YPOC) Solo.
Nah, komplet sudah!