mBah Sus, Trah Karmo Kertiko, Dan Masa Depan Bersama
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com
Dongeng Kancil. Rumpun bambu itu mudah mengingatkan dongeng tentang Nabi Suleman.
Dalam fabel atau dongeng terkait binatang, nabi satu itu yang konon mampu berbicara dengan hewan telah berkali-kali menjadi “kambing hitam” bagi binatang kancil untuk menyelamatkan nyawanya dari ancaman harimau.
Kita tahu, kancil melambangkan binatang yang kecil, lemah, tetapi cerdik. Termasuk ketika ia julig menggunakan akalnya, yang berbau tipu muslihat, mememanfaatkan rumpun bambu sebagai senjata untuk berkelit dari ancaman sebagai mangsa sang macan.
Konon, si kancil lagi apes. Ia kepergok macan ketika sedang berjalan di antara rumpun pohon bambu. Ia mendengar, ketika dihembus angin, bambu-bambu itu saling bergesekan, memperdengarkan suara geritan yang berirama. Kancil saat itu tak bisa melarikan diri dari kejaran macan. Kancil berkata, ia menyerah.
Tetapi sebelum mati, ia meminta agar si macan itu mau meniup seruling Nabi Suleman sebagai penghiburan yang terakhir baginya. Kancil menunjuk suara-suara derit bambu yang berirama itu.
Macan setuju. Ia lalu menurut saja ketika dibimbing kancil untuk mendekati pohon-pohon bambu yang bersilangan. Kata kancil, untuk bisa meniup seruling, si macan harus menempatkan lidahnya di antara bambu-bambu itu. Kebetulan saat itu angin lagi reda.
Kancil pun lalu sedikit menjauh. Ketika terdengar angin kuat akan berhembus, ia pun berteriak kepada macan agar bersiap-siap menempatkan lidahnya. Begitulah, saat angin berhembus, justru tak terdengar derit musik pohon bambu. Yang terdengar justru raung kesakitan dari si macan. Lidahnya pun putus dan ia menemui ajalnya.
Rumpun bambu ori yang memicu fantasi masa kecil saya itu terletak di bagian belakang rumah mBah Dung di Kedunggudel. Selain terdapat sumur, kamar mandi, jamban, pohon kedondong besar, juga deretan rumpun pohon bambu. Di utara rumpun bambu itu terdapat rumah tembok milik orang lain. Seingat saya, rumah itu tidak berpenghuni.
Pada sisi timur pekarangan rumah tembok ini yang berbatasan dengan jalan, terdapat pagar yang terbuat dari bata. Pagar ini mudah memicu fantasi sebagai “tembok Cina” yang terkenal itu. Karena ketika hendak pergi ke pasar, karena jalan bagian utara rumah mBah Dung itu selalu kronis berlumpur, maka satu-satunya jalan agar terhindar dari lumpur adalah dengan meniti di atas pagar tembok ini.
Bisnis binatu. Turun dari tembok sudah ditemukan jalan yang relatif kering. Belasan meter kemudian, kita sudah dapat menemukan rumahnya mBah Sus. Kalau belok kanan ke arah pasar, akan melewati rumahnya mBah Harjo. Siapakah mereka ?
Menurut cerita Bu Minten yang ibunya Titis dan Nugroho, yang saya temui di Kedunggudel saat kami bersilaturahmi Lebaran 2009, pada tanggal 21 September 2009, terdiri dari saya, Bari, Nuning dan Taufik, telah diwedar silsilah dari mBah Martowirono Kakung.
Ternyata mBah Martowirono Kakung adalah putra pertama. Beliau wafat tanggal 11 Desember 1972. Adik beliau adalah Darmowantoro, terkenal sebagai produsen karak. Kemudian mBah Suhardjo/Tasripin, ayah dari Om Muhyidin, Lik Sukarsih yang meninggal dunia di Wuryantoro saat menjadi pembantu bapak dan ibu dalam kecelakaan kebakaran, lalu Om Mulyono almarhum. Urutan keempatnya adalah Eyang Putri Asmuri, dan terakhir, mBah Susilo.
Seingat saya, mBah Sus itu memiliki bisnis binatu. Begitu memasuki rumah, di sisi kanan rumah terdapat pohon mangga, di bawahnya terdapat gentong padasan untuk berwudlu. Di sisi kanan rumah banyak tumbuh pohon belimbing.
Dalam foto nampak mBah Sus memakai peci putih. Berdiri dari kiri : Broto Happy, Bari Hendriatmo, Budi Haryono, ibu saya Sukarni Kastanto Hendrowiharso, Bastion Hersaptowiningsih, Bonny Hastutiyuniasih, dan paling kanan saya, Bambang Haryanto. Posisi duduk dari kiri : Betty Hermisnawaningsih, mBah Sus kakung, Basnendar Heriprilosadoso dan mBah Sus Putri. Foto diambil, datanya tidak tercatat.
Seingat saya, saat itu saya memakai kaos dengan logo Case Western Reserve University dari Michigan, Ohio, AS. Kaus itu oleh-oleh dari dosen saya, Prof. Sulistyo Basuki dari Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, yang pada tahun 1984 menyelesaikan gelar doktornya. Mungkin foto itu diambil pada tahun 1985.
Keluarga Uncle Sam ! Kenangan tentang mBah Sus itu semoga menjadi relevan bila warga Trah Martowirono dapat mengingat kembali suasana dan para kerabat yang hadir dalam acara reuni Trah Martowirono XXII/2008, 5 Oktober 2008, di Kajen,Wonogiri.
Saat itu, sebagai tamu kehormatan telah hadir keluarga Trah Bangin Martosuwiryo, yaitu Bapak Bawarto dan saudara (Wonogiri), keluarga Agus Budi Santoso dan Ibu Retno Winarni dari Solo, dan tak bisa dilupakan adalah rombongan Ibu Sukamti Samsu Harsosuwiryo beserta putra-putri dari Solo dan sekitarnya. Mereka kita kenal sebagai “rombongan Baturono” dari Solo.
Ibu Sukamti adalah putri dari mBah Susilo. Komisaris Toko Kawan Kita Pojok Baturono Surakarta yang memiliki hobi karawitan hingga pengajian ini, menikah dengan Bapak Samsu Harsosuwiryo dan telah dikaruniai 10 putra dan putri.
Kerabat kita tersebut adalah : 1. Sri Samtini (almarhumah), 2. Ir. Sri Samtuti, 3. Ir. Joko Samtono, 4. Drs. Sam Hudiyanto, 5. dr. Sam Eddyanto, Sp.KJ., Mkes, 6. Sam Agus Indriyanto, SH, 7. Sri Samtari, SPd, 8. Sam Indah Wartini, SPd, 9. Sam Agus Heru Subagio, dan, 10. Sam Koniatun, SH.
Mereka semua produk domestik. Jadi tidak ada kaitannya dengan sutradara film Sam Peckinpah atau sebutan Uncle Sam bagi negerinya Barack Obama. Juga tak ada kaitannya dengan Sam Po Kong, yang terkenal di Semarang itu. Mungkin ada yang cakap bernyanyi lagu-lagu relijius, tetapi jelas tidak ada pula hubungannya dengan Sam Bimbo.
Pin trah. Kontingen Baturono ini sudah dua kali hadir dalam pertemuan trah Martowirono yang berlangsung di Wonogiri. Kehadirannya membuat mongkog semua warga trah kita. Untuk memperat persaudaraan, nampak juru bicaranya, drs. Sam Hudiyanto (kaus bergaris biru) memperoleh cenderamata berupa pin trah kita, diserahkan oleh Broto Happywondomisnowo.
Tali asih silaturahmi. Kontingen Baturono dalam kesempatan silaturahmi tersebut juga menyumbang dana. “Jangan dilihat nilainya, tetapi lihatlah sebagai tanda cinta, tanda peduli, tanda gembira, karena memperoleh kesempatan untuk bertemu dengan sesama saudara,” tutur Drs. Sam Hudiyanto saat menyerahkan amplop yang diterima Bapak Kristiyo Sumarwono (Yogya).
Kibarkan Merah Putih. “Jauh-jauh dari Karanganyar kok diminta untuk berlatih kayak Paskibraka, berfoto dan melambaikan bendera merah putih.” Mungkin itu kata hati Bapak dan Ibu Sam Agus Indriyanto, SH, ini. Tetapi nampak bendera nasional kita tersebut menjadi aksen yang serasi dalam potret, juga menjadi pengikat trah kita sebagai warga negara untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara tercinta kita ini.
Keakraban keluarga. Selaku tuan rumah, Bhakti “Nuning” Hendroyulianingsih (berbatik, kiri) sedang berbincang akrab saat menjamu rombongan putri dari kontingen Baturono ini.
Keterangan foto, dari kiri (depan): 1. Sri Samtari, SPd., guru SMA Al-Islam I Surakarta (PNS), 2. Sam Indah Wartini, SPd., guru SLB, dan 3. Sam Koniatun, SH.
Jajaran belakang, dari kanan: 4. Kiki, anak pertama Drs. Sam Hudiyanto, kuliah HI-UGM Yogyakarta, 5. Fidyani Samantha, anak pertama dr. Sam Eddyanto, Sp.KJ., Mkes, sekarang duduk di kelas III SMAN I Sukoharjo yang bersiap memasuki bangku kuliah, kemudian 6. Hanna, anak kedua dari Sri Samtari, SPd., kini masih belajar di kelas III SMP Al-Islam Surakarta.
Semoga pertemuan tahunan ini semakin membuka mata dan hati kita bahwa banyak saudara yang dapat disegarkan keterkaitannya dalam silaturahmi tahunan semacam ini.
Dipererat di dunia maya. Silaturahmi antar trah tersebut kini semakin dipermudah dengan hadirnya media-media sosial, seperti blog sampai Facebook. Sungguh suatu kegembiraan, dalam emailnya tertanggal 20 Januari 2010, dr. Sam Eddyanto, Sp.KJ., Mkes telah memberitahukan hal menarik :
“Assalamu'alaikum, gimana kabar Mas Bambang, saya beberapa kali membuka Blog Trah Martowirono. Sangat bagus penampilannya, sangat profesional.
Terus terang saya baru belajar membuat blog juga untuk trah di Solo, yaitu Trah Karmo Kertiko dari silsilah Bapak Samsu Harsosuwiryo. Mohon ijin Mas Bambang saya pasang Blog Trah Martowirono sebagai Blog Tamu, siapa tahu ada yang berminat untuk membuka-buka salah satu contoh Blog Trah yang cukup serius digarap dan eksis sudah lama dan banyak ketawanya ....
Terima kasih, wassalam.”
Terima kasih pula, dik Eddy. Sesama blog memang wajib ain untuk saling membuat link, tautan. Saya sudah pula membuat tautan tersebut, juga memberikan komentar dan dukungan. Pada artikel seputar Gus Dur, Bulik Sukamti, dan juga pada buku tamu.
Untuk warga Trah Martowirono lainnya, silakan kunjungi Blog Trah Karmo Kertiko ini. Silakan pula memberikan salam dan komentar. Untuk meneguhkan bahwa di antara kiat terdapat persaudaraan yang diikat oleh para leluhur kita di masa lalu.
Juga diikat oleh tujuan mulia bersama dalam mengarungi masa kini dan masa depan. Yaitu sama-sama ingin membaktikan diri kita dan karya-karya kita bagi kemaslahatan bersama.
Wonogiri, 22 Januari 2010
trm