Great Time in Giritontro !
Catatan Dari Pertemuan Trah Martowirono XVII
Kantor Kecamatan Giritontro, Wonogiri,
Rabu, 17 November 2004
Oleh : Bambang Haryanto
Warga Trah Martowirono dari Taler IV
Pencetus Epistoholik Indonesia
PERJALANAN BERSEJARAH. Sebagai WNA, WoNogiri Asli, dengan ayah dan kakek berasal dari Wuryantoro, masa kecil pun tinggal di Wonogiri, tetapi baru di umur 52 tahun saya bisa sampai ke Giritontro. Kalau tidak ada Pertemuan Trah Martowirono XVII yang kali ini dengan host istimewa, yaitu Drs. Bawarto yang menjabat sebagai Camat Giritontro dan merupakan om saya, seumur hidup mungkin saya tidak bisa sampai ke sana.
Tetapi, di mana Giritontro ? Nama ini mudah menyuburkan angan-angn dan gambaran rada berbau penampakan honor, eh, horor : Giritontro itu, bagi yang belum akrab, adalah dunia lain, sepertinya daerah yang jauh dan sulit dijangkau. Wonogiri masih jauuuuuuh ke selatan. Konon tinggal kencing maka air seni kita sudah mencapai Australia. Bau khas amoniak pun segera menyelubungi Darwin.
Berita-berita yang sering muncul di koran dan televisi yang menonjol mengisahkan bila musim kering berkepanjangan maka air maha sulit di dapat di Giritontro, petani sampai jualan kambing untuk beli air dan rapat-rapat DPR Wonogiri selalu gaduh berisi teriakan dan desakan agar Bupati bertindak darurat guna menyelamatkan kondisi “SOS” sulit air di Giritontro dan sekitarnya.
Gambaran seperti itu mudah memunculkan jokes : sebelum ke Giritontro, siapkan dulu bergalon-galon air mineral. Bagi yang muslim, pelajari kembali tata cara bertayamum, menyucikan diri dengan debu bila tak ada air, sehingga sembahyangnya tetap sah.
Mengusut Kaitan Trah. Khayalan berbeda dari kenyataan. Hasilnya : pengalaman bersejarah dan kenangan yang indah. Sebab kali ini pertemuan Trah Martowirono dibuat bergabung dengan Trah Wiryorejo, yang memicu nostalgia dan jejak-jejak sejarah yang relevan untuk dijelujuri kembali.
Tetapi bagaimana menjelaskan kaitan antar dua trah ini untuk generasinya Hanum, Peter, Intan dan Mutiara, Ayu dan Lintang, Ega dan Gladys, Reza, Yuko dan Yasika, atau malah juga Sari, Baroto, Bakoh, Rico, Bunga, Gorda, Aning, Yoshua, Yoga dan Yudha ?
Apalagi pertemuan yang diramaikan oleh kedua trah kali ini, bila diurut jauh ke belakang, sebenarnya juga mampu membongkar misteri sejarah penting menyangkut erat ihwal eksistensi Trah Martowirono hingga masa kini dan masa depan !
Mari kita mulai. Secara ringkas dapat disebutkan : nenek saya, Jiah Martowirono, punya adik Bangin Martosuwiryo dan Suratmo. Kakek dan nenek saya itu tinggal di Desa Kedunggudel, Kelurahan Kenep, Sukoharjo. Mereka dikaruniai 4 anak : Suripti Haswosumarto, Sutono, Sutejo dan Sukarni Kastanto Hendrowiharso (ibu saya). Keempat anak ini, beserta anak dan cucunya membentuk komunitas kekeluargaan yang kini disebut sebagai Trah Martowirono.
Sementara itu, adik nenek saya, Bangin Martosuwiryo menyunting salah satu putri keluarga Wiryorejo, asal Wonogiri. Keluarga Wiryorejo (di Kajen terkenal dengan sebutan mBah Wir, yang putri jualan nasi pecel yang melegenda) mempunyai anak : Ibu Supatmo, Ibu Bangin, Ibu Soekemi Madyo, Ibu Arjo, Bapak Kodiran dan Ibu Mutiah.
Keluarga om kakek atau kakek om Bangin Martosuwiryo, yang tinggal di Kajen Wonogiri itu (sekampung dengan saya) mempunyai anak : Bawarti, Drs. Bawarto dan kembar Basriati dan Basriatun.
Begitulah. Selama ini pertemuan Trah Martowirono lajimnya dilakukan secara bergiliran pada keempat taler anak-cucunya. Tetapi tahun 2003 lalu, dalam pertemuan Trah Martowirono XVI di Wonogiri (tempat saya), telah diputuskan bahwa di tahun 2004 akan diselenggarakan oleh Drs. Bawarto dan Keluarga di Giritontro. Great ! Sebuah penyimpangan positif yang mampu memicu perbincangan dan ilham.
Siapa Yang Hadir ?. Dari Trah Wiryorejo, hadir Ibu Soekemi Madyo, Ibu Arjo, Bapak Kodiran (glidig-nya di Jakarta) dan Ibu Mutiah. Tentu saja bersama anak, anak mantu dan cucu. Salah satu anak Ibu Soekemi Madyo, Mas Bajuri, adalah mentor dan teman bermain saya waktu kecil. Saya duduk di SD dan dia di SMP.
Mas Bajuri saat itu tinggal bersama mBah Wir, rumahnya di sela satu rumah, di timur rumah saya. Saya sering mencuri baca buku pelajaran sejarah SMP-nya. Atau ke dapur, mencari sisa sambel pecel dari dagangan mBah Wir putri untuk lauk sarapan. Mas Bajuri dan saya saat itu membentuk kelompok tentara kecil, termasuk melakukan latihan menerjuni tebing dengan bergantung pada seutas tali, seperti layaknya latihan untuk para komando !
Ketika acara dimulai, ada ritus simbolik berupa sungkeman Hari Raya Idul Fitri, di mana yang muda memohon maaf dan mintapangestu kepada para pinisepuh. Ucapan itu diwakili Yoga dan untuk para sepuh diwakili Ibu Soekemi Madyo dan Bapak Kodiran. Ketika saya ikut meminta maaf, kontan Pak Kodiran masih mengenali saya dan berujar : “Kita tak pernah bertemu sejak tiga puluh tahun lalu”. Alhamdullilah, kita kini masih bisa bertemu. Tuhan Maha Pengasih.
Tamu kehormatan yang hadir adalah Ibu Suharni Soekiyo (mantan Kepala Sekolah SMA Negeri 2 Wonogiri), yang bila diurut adalah masih satu buyut dengan kakek-nenek saya. Juga hadir anak dari mBah Suratmo (adik nenek), Irawan. Bapak Brotoatmojo dan Bulik Yam, adik ipar bu de Suripti Haswosumarto dan putranya Kris yang tinggal di Bogor, menyempatkan pula bersilaturahmi di Giritontro ini. Siapa saja yang kali ini hadir dari Trah Martowirono ?
Taler Pertama. Rombongan Trah Martowirono yang hadir dari Taler I (keturunan Suripti Haswosumarto) meliputi : Ibu Endang Markiningsih (guru matematika SMAN VI Solo) dan suaminya Wiranto (ia mantan marinir, bukan calon presiden yang gagal dari Golkar itu) dan putranya, mahasiswa Teknik Mesin UGM, Baroto nDandung. Putri sulungnya, Sari, kini mengikuti suaminya yang bekerja sebagai dosen di Samarinda, tak bisa hadir.
Kemudian Ibu Dwi Hastuti dan Bapak Sudoyo yang tinggal di daerah wisata sejuk, Kaliurang, telah rela dan keroyo-royo dengan ikhlas menempuh perjalanan a la rally Paris-Dakkar, rute Kaliurang-Yogya-Piyungan-Wonosari-Semin-Giritontro pp. Selalu disertai putrinya Aning yang kali ini melakukan GTM, bisu, walau tidak tuli. Biasanya sregep pegang mik dan cerita lucu-lucu. Why ? ). Adiknya, Bakoh, yang kalau salaman selalu bergaya model suporter sepakbola. Maklum ia Slemania dari Kaliurang. Ia mengawal ketat kedua orang tuanya.
Bapak Untung Suripno dan Ibu Erry, yang berdomisili di Yogyakarta, hadir selalu komplit dengan putranya yang ganteng, Frederico Ario Damar dan putrinya Bunga “AADC 3”. Selanjutnya, keluarga Bapak Teguh Priyono dan Ibu Suharti yang bertempat tinggal di Sukoharjo, menghadirkan 2/3 keluarga. Karena Bapak Teguh Priyono diwartakan sedang kebeteng adanya rusuh di Ambon dalam rangka tugas pelayarannya, sehingga tidak hadir, dan diwakili Ibu Suharti dan putra semata wayangnya yang bernama artistik, Slagen Abu Gorda.
Pertemuan kali ini, sokurlah dapat kembali dihadiri secara lengkap oleh keluarga Ibu Edia Rahayu dan suaminya, Kristiyo Sumarwono. Ibu Edia adalah doktor ilmu kimia dan mengajar di Teknik Kimia UGM, berdomisili di Yogyakarta. Beliau berdua hadir bersama putranya, Yoshua, Hanum dan Peter.
Sebagai catatan, sejak dua tahun lalu Bapak Kristiyo sebagai ahli pertanian bertugas di Kamboja. Tahun lalu, dalam pertemuan di Kajen, beliau hadir tetapi secara virtual, mendekati fenomena penampakan. Jelasnya, antara Kajen dan ibu kota negaranya Hun Sen saat itu dilakukan kontak e-mail via Internet yang berhasil dan menggembirakan hati seluruh peserta pertemua. Sekaligus sebagai tanda penting, milestone, bahwa Trah Martowirono telah mengenal teknologi informasi mutakhir. Sebab saat itu juga diluncurkan situs blog Trah Martowirono ini sebagai media silaturahmi, media komunikasi.
Kalau ada seorang wanita cantik, semampai, ahli mengajar matematika di SMA de Britto Yogyakarta (walau main sinetron juga rada cocok), dan ringtone telepon genggamnya berbunyi ayam berkokok, pastikan dia adalah sosok Ibu Endah Sulastri. Dia dan suaminya, Bapak Agus Widiarto, adalah warga kelima dari Taler I Trah Martowirono. Bu Endah hadir dan dikawal dua peragawati yang cantik-cantik, Intan dan Mutiara, putrinya. Masalah misteri ringtone bunyi ayam, silakan tanya sendiri kepada yang bersangkutan di de Britto sana. Resiko dikabruk, embuh...........
Taler Kedua Stephane Peter Hansel, perally sepeda motor Paris-Dakkar, mendapat saingan dari warga Trah Martowirono. Agar tidak ketinggalan memeriahkan suasana reuni trah, keluarga taler kedua ini mengerahkan dua oknumnya yang terpenting : Priyanto Wisnu “Didi Kempot” Nugroho dan Restu, putra dari Ibu Titis dan Bapak Mulyono. Keduanya ngebut dari Sukoharjo ke Giritontro di atas sadel sepeda motor. ”Wah, adoh tenan, cetus Nugroho.
Tetapi Nugroho harus hadir. Paling tidak, dibanding warga trah lainnya ia yang paling rada pas dalam menyenandungkan lagu-lagu campursari, pop, keroncong, d rock sampai heavy metal (nyanyinya sambil dorong gerobak isi rongsok besi) yang menghangatkan suasana pertemuan.
Taler Ketiga. Blas. Keluarga anak-cucu Bapak Sutejo dan Ibu Warsiti yang tinggal di kawasan Boyolali dan Sukoharjo, berhalangan hadir. Tetapi titip berita bagus untuk semua : Ibu Siti Fatimah dan Bapak Parmono, pada tanggal 28 Desember 2004 akan berangkat menunaikkan ibadah haji. Seluruh trah mendoakan semoga nantinya menjadi haji yang mabrur. Amin.
Taler Keempat. Rombongan ini harus rela tidak diperkuat oleh salah satu bintangnya, Broto “Polo” Happy W. Sebabnya, ia dan istri, Ayu dan putrinya Gladys, pada saat yang sama harus juga melakukan rally arus balik Lebaran dengan jarak tempuh yang lebih jauh : kembali ke Bogor. Konon mau menempuh jalur selatan, hingga dapat mampir ke Ibu Pri di Purwokerto dan Bonny di Tasik. Jadi di Kajen saat itu terjadi sowang-sowangan (berasal dari istilah bahasa Inggris, swan song, lagu perpisahan), putra-putri dan cucu Ibu Sukarni/Bapak Kastanto Hendrowiharso ada yang harus jalan ke arah utara dan rombongan lainnya ke selatan, ke Giritontro !
Yang ikut meramaikan reuni trah kali ini, Bambang Haryanto, Mayor Haristanto beserta putrinya Ayu Permata Pekerti, Bhakti Hendro Yulianingsih yang dikawal oleh dua bodyguard-nya, Yoga Arditya Nugraha dan Yudha Bramasta Nugraha. Ditambahi pasangan pengantin baru, Basnendar Heriprilosadoso dan istrinya, Evy Widyaningsih.
SKETSA-SKETSA SUASANA REUNI. Pertemuan yang berlangsung di gedung serbaguna Kecamatan Giritontro itu dapat berlangsung secara gayeng, guyub, dan ger-geran. Secara khusus, Drs. Bawarto selaku tuan rumah sempat membawakan ular-ular, wejangan mengenai hikmah Lebaran. Didampingi istrinya asal Boyolali, putranya Tito dan Bowi (amalgamasi dari Boyolali-Wonogiri), ia menceritakan kisah perjuangan buah kelapa yang dengan penuh susah payah, sarat siksa dan bencana, dalam upayanya berusaha berguna bagi hidup manusia.
Ada yang baru berbentuk bluluk, buah muda, sudah jatuh ke tanah. Atau buahnya digerogoti bajing alias tupai, sehingga gagal begitu awal dalam mengabdi kepada manusia. Ada yang berupa cengkir, kelapa muda, tetapi sudah membaktikan diri kepada manusia. Sebagai minuman segar. Ada juga yang harus mengalami perjalanan yang sulit, tetapi harus ditempuh, sedari dicerabuti sabutnya, dipecahkan batoknya, dicungkil dagingnya, diparut sampai diperas hingga keluar santan atau minyaknya. Demikian pula seharusnya perjuangan tiap insan, tutur Pak Camat Giritontro itu, dalam rangka memperjuangkan kesempurnaan ikhtiarnya mengabdi kepada Khaliknya.
Sementara Bapak Sumarjo, asal Sleman dan kini tinggal di Jakarta dan dari warga Trah Wiryorejo (ia mempersunting anak dari Ibu Arjo, anak keempat Wiryorejo), mengomentari pertemuan semacam ini sebagai hal yang baik, untuk mempersatukan balung pisah, alias keluarga yang tercerai-berai tempat tinggalnya.
Oleh Mas Untung Suripno, selaku emce (emang cemeng) dan pimpinan komunitas kekerabatan Trah Martowirono, saya didaulat untuk me-resume pertemuan tahun 2003. Saya mengilas balik, sudah tiga tahun Mas Kristiyo absen dalam reuni, karena bertugas di Kamboja. Untuk tetap mendekatkan hati, jarak jauh itu kini bisa ditaklukkan oleh teknologi informasi. Terjadilah sejarah baru dalam acara reuni Trah Martowirono. Saat itu di tengah ruang pertemuan saya pasang komputer yang terkoneksi dengan Internet. Terjadilah kemudian kontak-balas lewat e-mail antara Kajen, Wonogiri dengan Pnompenh, Kamboja.
Mengapa Mas Kris sepertinya krasan di Kamboja ? Saya lontarkan guyon : karena semua cewek-cewek warga Kamboja itu wajahnya mirip Mbak Yayuk (istrinya) semua. Atau, atau, karena saking bosan dan jenuhnya, hingga membuat Mas Kris harus lari jauh dan lama di Kamboja. Habis, kalau hanya ngetiging (lari cepat, bahasa khasnya Mbak Endang) ke Bantul atau Tekaran, diuber pakai Katana sejam-dua jam sudah ketemu lagi !
Di sisi lain, saya tuturkan, Om Bawarto sebagai host pertemuan kali ini sungguh merefleksikan sejarah masa lampau ketika Ibu Suripti dan Ibu Sukarni (ibu saya) memperoleh jodoh, yang kemudian mewariskan anak-cucu hingga kini. Gara-garanya adalah bisnis mBah Bangin saat itu, yang membuka kedai wedangan, rumah makan dan minum, di Pasar Wonogiri. Saya sebut, mBah Bangin adalah pendiri asli BCA : Bangin Cafe, saat itu. Atau boleh juga disebut Army Cafe, karena yang sering nongkrong adalah tentara-tentara dari Kodim Wonogiri.
Saat itu Bangin Cafe mempekerjakan dua gadis remaja asal Kedunggudel, anak dari kakak perempuannya, sebagai pembantu bisnis cafenya. Di antara para serdadu yang jadi pelanggannya bernama Sukirman dan Kastanto. Kedua tentara ini asramanya berada di timur Ponten Wonogiri, kini jadi Gedung Bappeda.
Begitulah, sejarah telah menentukan, kedua tentara itu merintis keluarga baru. Tentara Sukirman menyunting Suripti, berpura-putri 7 orang, sementara tentara Kastanto memperistri Sukarni, dikaruniai anak 10 orang. Saya anak pertama dari keluarga ini.
Agak keluar dari konteks, Mayor Haristanto, ikut unjuk bicara. Sedikit mengenang sosok mBah Bangin yang selepas bisnis di pasar adalah menjual jamu di standplat Wonogiri, Mayor seolah memberi posisi baru dari impian yang pernah ia ucapkan di reuni Trah XV di keluarga Taler III, Siti Fatimah-Parmono di Polokarto, 2002. Saat itu ia mencita-citakan ingin berjuang sebagai Walikota Solo, bila ada pemilihan langsung. Kini, karena semua kandidat walikota harus melalui partai, dan hal itu berarti memerlukan biaya selangit, maka ia merevisi impiannya tersebut. “Peluangnya makin berat. Tetapi, mohon doa restu, saya akan tetap berusaha di antara pelbagai keterbatasan”, tutur Mayor.
KUIS KAOS THAILAND. Selepas makan siang, antara lain dengan dessert-nya suguhan bergaya back to nature, yaitu olahan jajan pasar Giritontro, acara reuni trah yang diramaikan dengan solo organ itu makin gayeng. Mayor yang membawa kaos sisa kampanyenya mendukung bakat-bakat Solo berjuang dalam kontes televisi, seperti Tia di AFI 2-Indosiar dan Jos di Bintang Akting-RCTI, digunakan sebagai hadiah kuis. Pemandu kuis, Basnendar. Lady digital photographer : Ayu Permata Pekerti. Fotografer cadangan : Yoga.
Sebelumnya Bas cerita, mengilas balik, bahwa kini ia telah tereliminasi dari barisan jomblo dalam trah ini. Yang masih maju ke grand final adalah diri saya sendiri dan Nugroho. Ia katakan bahwa dirinya dan istrinya sama-sama kuliah di UNS, beda jurusan (Bas di seni Rupa dan Evy di Fakultas Hukum), beda umur 6 tahun. Saling kenal, tapi ia sebutkan baru ada chemistry yang cocok setelah Evy bekerja di Dinas Pajak Sukabumi dan dirinya sebagai pengajar di STSI Solo.
Kalau saja saya boleh berkomentar, istilah chemistry-nya Basnendar tadi tak lain adalah gambaran realitas : cowoknya lama engga laku-laku, begitu pula ceweknya, akhirnya mereka sama-sama menurunkan tuntutan dan gambaran idealnya semula, lalu timbang bubruk, ya dikabruk saja.
Kuis pun mulai. Tanya Bas, “Koran Suara Merdeka tanggal berapa yang memuat berita ijab kabul saya ?”. Keluarga taler I yang kebanyakan berdomisili di Yogya protes, karena mereka tak punya akses terhadap Suara Merdeka. Pertanyaan direvisi, siapa wartawan yang menulisnya. Penjawab yang benar adalah Om Bawarto. Pertanyaan kedua : “Sebutkan URL situs blog Trah Martowirono !”. Hening sejenak, Yoshua nampak sibuk mencet-mencet tombol HP, lalu keras menjawab : “www, eh, http://trah.blogspot.com !”. Kaos ketiga direbut oleh Yayuk Kristiya setelah paling cepat menjawab pertanyaannya Bas, “siapa nama istri saya ?”. Evy, istrinya Bas dan Yayuk, berpose di depan kameranya Ayu. Memajang bersama kaos kenangan itu.
Gantian Mas Kris mengusung tiga kaos eksklusif, asal dari Malaysia, Thailand dan Kamboja, untuk hadiah kuis. Pertanyaan pertama, “apa slogan berbahasa Kamboja yang artinya Hidup Trah Martowirono ?”. Jawabnya adalah : “Cocet Krusa Martowirono !”. Yang paling cepat menjawab, Yayuk Kristiyo, istrinya. Kontan, kuis berbau KKN ini diprotes keras oleh audiens. Suaminya tanya, istri menjawab. Enak aja . Kuis pun dianulir. Kaos tidak jadi berpindah tangan.
Kaos pertama itu akhirnya direbut Bas setelah menjawab pertanyaan, “siapa nama mBah selain Martowirono, yang sering disebut-sebut dalam pertemuan kali ini”. Tentu saja, mBah Bangin. Pertanyaan kedua, “sebutkan nama-nama anak mBah Bangin”. Dari ujung jauh ruangan muncul suara. Dialah Pujo Laksono, yang tegas menjawab : “Bawarti, Bawarto, Basriati dan Basriatun !”. Maklum saja kalau jawabannya 100 persen benar, karena pria asal Malang ini adalah menantu sah dari mBah Bangin, suami dari Bawarti.
KEMESRAAN ITU JANGAN CEPAT BERLALU. Menjelang akhir, saya meletuskan teror gagasan. Selama ini, menurut saya, info-info penting dari himpunan anak-cucu Trah Martowirono itu belum tergali. Karena kita banyak ngomong, lalu hilang, tidak tertulis hingga tidak dapat disebarluaskan. Esoknya saya kirim e-mail ke Mas Kristiyo dan mBak Yayuk :
“Saya tadi, di pertemuan trah, pengin ngomong gimana caranya agar kisah-kisah keteladanan Mbak Yayuk hingga mencapai Doktor, Mas Kris bisa bekerja hingga ke Kamboja, mBak Endang & Endah (cewek) kok bisa menyukai matematika, dan cerita-cerita yang digali dari wisdom para orang tua kita, bisa ditularkan dan disebarkan kepada cucu-cicit Martowirono. Semoga bisa menjadi panutan dan ilham. Sayang, saya belum tahu bagaimana cara yang efektif dan tidak bikin bosan mereka, untuk mewariskan cerita-cerita seperti ini“
Saat itu pula saya serahkan tiga disket berisi foto-foto warga Trah Martowirono yang kebetulan berada dalam dokumentasi keluarga Sukarni-Kastanto yang bisa terselamatkan. Masing-masing disket saya serahkan kepada Mas Untung, wakil taler I, Nugroho dari taler II, dan Om Bawarto.
Antara lain ada fotonya Mbak Endang merayakan ulang tahunnya yang pertama (artinya foto itu dijepret lebih dari 50 tahun lalu !), foto Mbak dwi Hastuti masih bayi, foto mBah Martowirono kakung dan putri, foto ibu saya berpakaian Petruk saat mendagel di atas panggung dalam acara organisasi kaum ibu-ibu pensiunan ABRI (Perip), foto Bu de Warsiti Sutejo, foto yang saya jepret saat mBak Endang-Mas Wiranto menjadi pengantin. Juga foto ayah dan ibu saya di tahun 1975, saat saya masih gondrong, sebagai gambaran relik mode saat itu.
Ketika Nugroho “Didi Kempot” Wisnu Priyanto melantunkan lagunya Franky Sahilatua, “kemesraan ini, janganlah cepat berlalu...”, justru itulah awal betapa hikmah dan kenangan atas pertemuan Trah Martowirono XVII ini diboyong masuk ke dalam hati sanubari para cucu dan cicitnya. Great time in Giritontro !
Dari Giritontro, kita semua segera kembali ke tempat tinggal dan kota masing-masing. Saya sendiri, Senin, 22 November 2004 segera ke Jakarta untuk berjuang dalam final Mandom Resolution Award 2004. menurut kabar, akan ditayangkan di TransTV, jam 19 malam. Berjuang dengan semangat selalu baru, dengan enerji selalu baru, setelah meneguk oasis yang selalu pula menguarkan pesan bahwa siapa pun dirimu dan apa pun statusmu, kau akan selalu mendapat tempat untuk kembali dan diterima, dalam rengkuhan hangat keluarga Trah Martowirono ini.
Sampai jumpa dalam pertemuan mendatang. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang senantiasa membimbing kita dalam cahaya dan jalan kebaikan. Amin.
Bambang Haryanto
Kajen, Wonogiri, 21 November 2004
Saturday, November 20, 2004
Subscribe to:
Posts (Atom)