Friday, June 24, 2011

Trah Martowirono dan Budaya Mengelola Sampah




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com


“Sampah di Kota Bandung per harinya mencapai 7.500 meter kubik. Jumlah tersebut setara dengan berat 1.000 gajah.” Demikian laporan koran Solopos, 13 Juli 2010.

Problem sampah adalah problem yang mengepung Indonesia, tambah pakar pemasaran dari Universitas Indonesia, Rhenald Kasali.

Untuk ikut memberi solusi atas masalah kronis itu, di kampung tempat ia tinggal dirinya dan istrinya telah mendidik tetangganya untuk mengubah sampah itu menjadi komoditas ekonomi. Sampah disulap menjadi berkah.

Di Yogyakarta, seorang dosen perguruam tinggi kesehatan, Bambang Suwerda, mengajak masyarakat desanya, Badegan, Trirenggo, Bantul, Yogyakarta, mencanangkan solusi kreatif dalam mengatasi masalah sampah. Mereka bergotong royong mendirikan bank sampah. Saya (BH) berulangkali kontak dengan beliau, berbagi wawasan tentang pengelolaan sampah.

Orang-orang kreatif seperti dia itu langka. Karena banyak dari kita, walau berpendidikan tinggi, sampai orang kantoran yang wira-wiri berbau wangi, masih ignoran ketika mengelola sampah. Berbelanja memakai tas plastik, membuang sampah dari mobil yang melaju sampai perilaku membakar sampah, masih sering kita temui di mana-mana.

Bahaya membakar sampah. Membakar senyawa berbahan dasar chlorine, seperti plastik PVC, menghasilkan senyawa dioxin yang paling berbahaya. Chlorine terdapat dalam berbagai jenis plastik, sehingga saat plastik ini dibakar, maka chlorine dilepas dan dengan cepat bereaksi dengan senyawa lain dan membentuk dioxin. Senyawa terebut sangat tahan lama, dan tidak mudah terurai di alam.

Saat terlepas ke udara, dioxin dapat menempuh jarak yang cukup jauh. Di air, dioxin dapat menumpuk pada tanah sungai, sehingga menempuh perjalanan lebih jauh ke hilir atau masuk ke tubuh ikan. Kebanyakan paparan dioxin yang kita alami terjadi melalui makanan. Sementara, dioxin yang terlepas ke atmosfer menumpuk pada tanaman yang kemudian akan dimakan oleh hewan.

Pada makhluk yang berada di bagian akhir rantai makanan menerima resiko penumpukan dioxin lebih tinggi. Nah, karnivora, seperti manusia mengakumulasi jumlah dioxin tertinggi. Faktanya, 95% dioxin yang dikonsumsi manusia berasal dari lemak hewani. Dalam penelitian, kadar satu per sejuta gram dapat membunuh kelinci percobaan. Hewan itu mati akibat wasting syndrome dalam dua sampai enam minggu.

Beberapa jenis senyawa dioxin, seperti dilansir BemFKUnud.com, diketahui dapat menyebabkan kematian meski pada konsentrasi yang sangat rendah. Kerusakan sistem imun pada manusia, juga dapat terjadi, terutama pada anak-anak. Efek seketika yang terjadi akibat paparan dalam jumlah banyak, misalnya chlorance, yaitu penyakit kulit yang parah dengan lesi menyerupai akne yang terjadi terutama pada wajah dan tubuh bagian atas, serta ruam kulit lainnya, perubahan warna kulit, rambut tubuh yang berlebihan, dan kerusakan pada organ-organ tubuh lain, seperti hati, ginjal dan saluran pencernaan. Masalah kesehatan terbesar adalah bahwa dioxin dapat menyebabkan kanker pada orang dewasa.

Secara global, pembakaran sampah adalah sumber dioxin terbesar yang menyebabkan kontaminasi lingkungan. Di Amerika Serikat, Eropa dan Australia, hukum yang baru dan tindakan langsung dari masyarakat telah menghasilkan penurunan tajam tingkat dioxin di lingkungan sehingga memberikan peningkatan keamanan dan kesehatan untuk semua orang. Sayangnya, banyak masalah besar dioxin masih terjadi di negara-negara lain, sebagaimana terjadi di Indonesia.

Ternyata, membakar sampah itu sangat beresiko. Bahaya yang lebih besar lagi adalah kita selama ini tidak menyadarinya.

Tradisi baik trah. Sebenarnya trah kita, Trah Martowirono, telah memulai tradisi yang baik dalam ikut mengelola sampah. Yaitu saat reuni tahun 2009 dengan tuan rumah Taler 1/Keluarga Suripti-Haswosumarto, dengan tema Enam Djam Di Djogdja, yang berlangsung meriah di Museum Benteng Vredeburg, 23 September 2009. Saat itu masing-masing warga pulangnya disangoni ulih-ulih tas kain (foto) berisi roti lezat untuk disantap. Model pembawa tas dalam foto itu adalah Bapak “Jenderal” Wiranto, yang kini tinggal di rumah pribadinya di Villa Gemantar di Selogiri :-).

Tas kain itu diberikan, tentu dengan membawa pesan cinta lingkungan. Gunakanlah. Karena, menurut lembaga kajian lingkungan dari Bali, IDEP Foundation satu tas kain itu setara dengan penggunaan 1000 tas plastik yang berpotensi menjadi sampah.

“Daripada setiap belanja dapat (tas) plastik yang selalu menumpuk dan cuma jadi sampah, kenapa tidak setiap belanja kita bawa tas (kain) ulih ulih itu saja ? Semoga semua warga trah yang lain juga setuju !”

Itulah komentar menarik dari Anna Sari Nugrahaning Widhi terhadap tulisan berjudul Tas Ulih-Ulih di Facebook dan blog kita ini. Sebagai sarjana biologi dan ibu dua putri, rupanya Sari langsung “klik” dengan ide pro-gerakan lingkungan hidup.

Nalurinya sebagai sebagai seorang ibu seolah terketuk ajakan Michael Jackson dalam lagu indah Heal The World, “Heal the world we live in/Save it for our children…/If you care enough for the living/Make a better place for you and for me,” mendorongnya untuk berbuat sesuatu agar putrinya, Chardia Nectarina Amandava Nugrahati dan Pertha Xactiva Angellica Nugrahati, kelak bisa menghuni dunia yang lebih baik.

Tas-tas plastik itu, lihatlah di sekitar ruang rumah-rumah kita, ia ada di mana-mana. Banyak orang-orang yang wawasan ekologinya minim, tak peduli, lalu menemukan solusi untuk melenyapkan tas-tas plastik itu dengan membakarnya.

Orang-orang idiot ini tidak tahu bahwa asap pembakaan sampah (apalagi yang terbuat dari bahan-bahan plastik) mengandung racun yang mencemari udara yang mereka hirup sendiri dan juga warga lainnya yang tidak berdosa.

Untunglah, pemerintah rada cepat tanggap. Mereka yang melakukan pembakaran sampah, akan terancam dikenai sanksi berat. Koran Solopos 18 Mei 2011, Hal. III, mewartakan tentang UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Seperti disampaikan Kepala KLH Wonogiri, Sri Wahyu Widayatto, dengan merujuk undang-undang tersebut maka mereka yang membakar sampah bisa dikategorikan mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan. Sanksinya berat : dipidana penjara 3-10 tahun dan denda antara 3 sampai 10 milyar.

Fihaknya akan mensosialisasikan sanksi tersebut. “Jangan-jangan masyarakat tidak tahu dan tiba-tiba kena sanksi karena hanya membakar sampah,” tegasnya.

Terima kasih Pak Sri Wahyu. Wanti-wanti Anda tersebut kini kami tularkan kepada warga trah kami. Untuk kemaslahatan bersama.

Halo, warga Trah Martowirono yang berada di manca negara, utamanya Mas Rudi Agung, Annasari dan Amanda-Pertha yang kini merintis sukses masa depan di Perth, Australia :-), ditunggu ceritanya bagaimana warga negara maju mengelola sampah-sampah mereka.

PS : Yang gemar olahraga bulu tangkis, saksikan warga kita Broto Happy Wondomisnowo (dari Taler IV) yang mejeng menjadi komentator pertandingan di stasiun televisi Trans 7 selama Turnamen Bulutangkis Indonesia Terbuka 2011.


Wonogiri, 25 Juni 2011