Friday, August 06, 2010

Pesta Kawin Perak Kristiyo-Edia Rahayu,8 Agustus 2010




Aum
Anjaneyaye Vidmahe
Mahabalaye Dhi-Mahi
Tan No Hanuman Prachodayat
Aum

Itulah bunyi mantra Anoman. Kera putih yang sakti, anak Dewa Bayu, pahlawan dalam epos Ramayana yang terkenal itu, melantunkan mantra tersebut guna meningkatkan rasa bakti, rasa cinta dalam menjalankan tugas tanpa pamrih.

Untuk itu, ia pernah dibakar ketika tertangkap di kerajaan Alengka. Saat itu ia menjadi utusan Prabu Rama dari Ayodya, guna mencari tahu nasib istrinya, Dewi Sinta, yang diculik raksasa Rahwana yang penguasa kerajaan Alengkapura.

Dengan buntut terbakar, ia segera melakukan tiwikrama, menggelembungkan tubuhnya sehingga menjadi raksasa, sehingga api pun membesar saat ia mengamuk. Inilah salah satu episode Ramayana yang terkenal, Anoman Obong, saat ia mengamuk yang membuat keraton Alengkapura menjadi lautan api. Ringkas cerita, Anoman berhasil mempertemukan kembali Rama dan Sinta.

kristiyo,edia rahayu,kawin perak,8 agustus 1985,8 agustus 2010,trah martowirono,untung suripno,suripti,haswosumarto

Pisah ranjang antarnegara. Kisah kepahlawanan Anoman itu rupanya menjadi ilham tema pagelaran yang digagas Untung Suripno, untuk memeriahkan pesta sekaligus syukuran keluarga Kristiyo Sumarwono-Edia Rahayu (foto), dalam merayakan pesta kawin perak. Momennya : Sabtu Malam, 7 Agustus 2010, di Gazebo Garden Resto, Yogyakarta.

8 Agustus 1937
Kelahiran aktor Dustin "Rainman" Hoffman

8 Agustus 1953
Kelahiran pebalap F-1 dari Inggris Nigell Mansell

8 Agustus 1981
Kelahiran petenis terkenal Roger Federer

8 Agustus 1985.
Tanggal kelahiran Brayan Ruiz, pemain sepakbola Kostarika

Dua puluh lima tahun sudah pasangan warga Trah Martowirono dari Taler 1 (Suripti-Haswosumarto) ini menjalankan bahtera rumah tangga. "Kami menyaksikan dan merasakan banyak berkat yang datang dari Allah, sehingga kedamaian dan kebahagiaan senantiasa ada di tengah keluarga kami," begitu manifesto keluarga bahagia ini untuk momen bersejarah tersebut..

Seluruh warga Trah Martowirono dengan tulus mengamininya. Kita pernah menjadi saksi ketika keluarga ini ditinggal sang ayah, selama 3 tahun ketika menjadi tenaga ahli Badan Pertanian Dunia (FAO) di Kamboja. Salah satu oleh-oleh Pak Kris adalah slogan Cocet krusa Martowirono yang terkenal itu. Keluarga ini tetap harmonis. Juga gantian ketika sang Ibu Edia Rahayu, sebagai pengajar di UGM, harus melanglang berbulan-bulan di Jerman.

Kedua contoh insiden "pisah ranjang" karena tugas itu bukan hal baru bagi keluarga akademisi ini. Boleh jadi karena "cobaan" semacam itulah yang membuat putra-putrinya, Yos, Hanum dan Peter, menjadi insan-insan yang tergembleng untuk mendiri dalam meraih prestasi.

Selamat berbahagia untuk Mas Kris, mBak Yayuk, untuk Yos, Hanum dan Peter. Semoga waktu dua puluh lima tahun ke depan, saat merayakan pesta kawin emas nanti, "dalam perjalanan ke depan bagi keluarga yang saling dan selalu mengasihi ini, akan mampu membuat "waktu perjalanan menjelma sebagai keabadian."

Keabadian dalam berbakti, untuk keluarga hingga untuk negara dan sesama, mungkin persis sama seperti cita-cita luhur sang Anoman. Ketika ia ditanya oleh Prabu Rama, untuk memilih hadiah yang terbaik untuk dirinya, maka Anoman menjawab bahwa ia ingin dikaruniai umur panjang, sepanjang ia mampu melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Prabu Rama untuk dirinya.

Perjalanan hidup dan pesta syukur dari pasangan Kristiyo-Edia Rahayu, sungguh menjadi inspirasi bagi seluruh warga trah kita, Trah Martowirono. Kita tunggu liputan cerita lebih lanjutnya ! (Bambang Haryanto).


Wonogiri, 6/8/2010

Monday, August 02, 2010

Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd dan Reuni Mini Trah Kita




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com



Kapal perusak Jepang Amagiri menghancurkan kapal PT-109 milik Amerika Serikat. Perang Dunia II lagi berkecamuk.

Komandan kapal AS yang tenggelam itu adalah John F. Kennedy (1917–1963,foto), yang di masa depan adalah presiden Amerika Serikat yang ke-35. Ia berhasil menyelamatkan nyawa anak-anak buahnya.

Ada lelucon tentang hal ini, ketika Kennedy dielu-elukan sebagai pahlawan. Ia malah menyangkal penghormatan itu.

Katanya, “Siapa bilang saya pahlawan ? Saya sampai sekarang masih mencari-cari orang yang menendang pantat saya hingga saya kecebur ke laut, lalu saya gapai anak-anak buah saya agar saya bisa sama-sama berenang ke pantai.”

Peristiwa heroik itu terjadi pada tanggal 2 Agustus 1943.

Peristiwa heroik yang jenis lainnya, dalam skala keluarga, terjadi pula pada tanggal yang sama. Tetapi terjadi 67 tahun kemudian. Sama-sama dalam posisi tercebur. Juga ramai-ramai.

Tetapi kali ini menyangkut warga Trah Martowirono. Kalau nenek-moyang kita tercebur ke halaman atau sawah, mungkin terguling dari tembo, yang tergenang banjir di Kedunggudel, maka para cucunya hari itu kecebur di tengah samudra suasana bahagia, bangga, terharu, dan terilhami.

trah martowirono,banner,pengukuhan guru besar uns,2 agustus 2010
Banner ucapan dari Trah Martowirono

Itu yang terjadi pada hari Senin, 2 Agustus 2010 di Solo. Hari itu salah seorang warga Paguyuban Trah Martowirono dikukuhkan menjadi guru besar dalam bidang Ilmu Konsep Dasar Bahasa dan Sastra Indonesia pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.

Beliau adalah Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd. yang pidato pengukuhannya berjudul Pembentukan Karakter Anak Bangsa Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, disampaikan dalam Sidang Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret

Bike to Work. Lagu “Syukur” yang dibawakan Paduan Suara Voca Erudita, ikut mewarnai upacara di Auditorium UNS Sebelas Maret tersebut. Tidak banyak yang tahu bahwa salah satu anggota koor yang bersuara sopran itu adalah mahasiswi Arsitektur UNS, yang bersama kelompoknya baru saja pulang dari China dan memenangkan grand champion dari lomba yang diikuti peserta dari 81 negara. Dialah, Lintang Rembulan.

Sementara bapaknya, Mayor Haristanto, di tengah upacara itu justru berada di luar gedung. Karena ia punya job menunggu untuk memandu kelompok Jaran Dor yang didatangkan khusus untuk memeriahkan momen bersejarah hari itu. Termasuk mengawasi, agar mereka tak keburu memakan beling atau piring-piring katering dari perhelatan akademis di UNS itu.

Lintang dan Mayor tidak sendirian. Warga Trah Martowirono dari Kaliurang diwakili Ibu Dwi Hastuti dan bodyguard setianya, Bapak Sudoyo. Kontingen dari Banguntapan, Bantul, yang baru saja sukses menjadi event organizer HUT Kota Pacitan, menghadirkan aktor utamanya : Bapak Untung Suripno dan Ibu Erry.

“Kamerad Duc” dari Kamboja, jelas tak bisa hadir, tetapi mewakilkan salah seorang kenalan jauhnya (kurang lebih 1000 km), yaitu kandidat doktor dari Universitas Negeri Yogyakarta, Bapak Kristyo Sumarwono. Beliau hadir khusus karena sengaja menyebar desas-desus konkrit, bukan isu palsu, bahwa pada tanggal 7 Agustus 2010, beliau akan merayakan Pesta Kawin Perak dengan Ibu Dr. Ir. Edia Rahayu di Gazebo Garden Resto, Yogyakarta. Sekaligus mengharapkan warga trah sudi hadir.

Warga Trah Martowirono dari Komunitas Bike to Work yang bermarkas besar di Polokarto, juga hadir. Beliau adalah Bapak Parmono. Ketika bertemu pertama di aula, yang pertama ia tanyakan : “mana undangannya, saya harus membawanya.” Oleh Ibu Endang, undangan itu langsung beliau berikan. Tetapi hari itu beliau tidak membawa koleksi atau pun komunitas sepeda onthel-nya. Beliau nampaknya menyetir sendiri BMW-nya.

Reuni mini Trah Martowirono memang terjadi saat itu. Belum banyak kesan dan pesan yang bisa dikorek, tetapi semoga tulisan dalam banner ucapan dari trah kita itu bisa agak mewakili isi hati kita semua yang berbahagia. Antara lain tertulis :

“Prestasi Ibu Retno Winarni,
juga seluruh keluarga yang mendukung,
sungguh menjadi teladan, menjadi inspirasi yang mencerahkan
sekaligus menghangatkan hati bagi seluruh warga
Keluarga Besar Trah Martowirono.

Menjadi kebahagiaan tersendiri bagi kami semua
memperoleh anugerah untuk menjadi saksi
dalam momen bersejarah ini.”

nandariyah,retno winarni,trah martowirono,uns,2 agustus 2010
Dua profesor baru di UNS.Ibu Prof. Dr. Ir.Nandariyah, M.S. dari Fakultas Pertanian (kiri) dan Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd.

trah martowirono,banner,pengukuhan guru besar uns,2 agustus 2010
Ucapan selamat mengalir dari audiens kepada Ibu Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd.

Selamat kepada Ibu Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd. Hari itu beliau tercatat sebagai guru besar yang ke 132 di lingkungan UNS Sebelas Maret. Selamat juga untuk Bapak Y. Agus Budi Santoso, SE. Juga untuk kedua putra beliau, Agifta Guntur Saputra, SE, MM dan Bomby Adi Nugraha.

Tidak lupa ucapan selamat berbahagia kepada keluarga besar Bapak Sumardi Pudji dan Ibu Supamiyati dan keluarga besar Bapak Benyahmin Hadi Saputro dan Ibu Christina Sawalinten.

Ketika menutup pidato pengukuhannya, beliau sempat terisak, menahan keharuan, saat mengucap : “Saya berdoa semoga Allah Yang Maha Pengasih berkenan memberikan imbalan yang berlipat kepada pihak-pihak yang telah saya sebutkan di atas, atas segala hal yang telah diberikan kepada saya. Akhirnya, semoga Allah berkenan memberkati kita. Amin.”

Tanggal 2 Agustus 2010 adalah tanggal bersejarah bagi Trah Martowirono. Tanggal yang sama di tahun 1990 adalah saat Irak menginvasi Kuwait. Tahun 1612 adalah hari kelahiran Saskia van Uylenburgh, istri dari Rembrandt van Rijn. Tahun 1956. Isabel Pantoja, penyanyi Spanyol lahir. Tahun 1924 adalah hari kelahiran novelis dan esais James Baldwin (1924–1987).

Ketika menyimaki butir-butir yang menarik dari isi pidato Prof. Dr Retno Winarni, M.Pd., saya tertarik pada paparan tentang pendekatan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan istilah PAKEM (“moga mbak Dwi dan Mas Doyo bisa senyum-senyum”).

Paparan ini yang memicu saya untuk mengingat kata-kata James Baldwin itu. PAKEM adalah singkatan Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Dalam pembelajaran ini yang aktif adalah siswa.

Tetapi, kira-kira apa bisa ? Baldwin mengatakan, “anak-anak tidak pernah menjadi pendengar yang baik terhadap nasehat dari orang tuanya, tetapi mereka tidak pernah gagal dalam meniru mereka. Mereka harus melakukan hal itu, karena memang tidak ada panutan lainnya.”

Kalau orang tua dan gurunya tidak suka sastra, walau dirinya mengajar sastra, lalu apa kira-kira yang akan terjadi pada anak-anak (mereka) itu ?

Pertanyaan itu, semoga, dapat kita cari jawabnya secara bersama-sama.


Wonogiri, 2 Agustus 2010