Saturday, September 26, 2009

Vredeburg, Cinta dan Lorong Sejarah Trah Martowirono




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Belanda memisahkan. Trah Martowirono menyatukan. Pesan itu mencuat kuat pada sajian film parodi pendek impresif, berjudul “Seboeah Perjoeangan”

Film garapan trio sineas aliran New Sheepskin Cloud (aka Awan Wedus Gembel Baru) yang menegaskan betapa “cinta, ibarat jarum dan benang yang mampu menyatukan keluarga.” Inilah kemudian yang terjadi.

Kain-kain keluarga Trah Martowirono yang bisa bersatu itu kemudian tampil warna-warni. Juga jarumnya. Juga benangnya. Juga hati yang menggerakkannya. Di Benteng Vredeburg, Djogdjakarta, Rabu, 23 September 2009, rangkaian kain-kain indah milik warga Trah Martowirono seolah terentang menembus liku lorong-lorong sejarah. Dari masa lalu, masa kini, dan menyongsong masa depan.

Terima kasih, Aningtyas.
Terima kasih, Bakoh Putra.
Terima kasih, Chandra Gatot.

Akhirnya, tidak terelakkan, benteng Vredeburg itu pula kini menjadi bagian sejarah Trah Martowirono. Begitu juga sebaliknya. Keduanya saling jalin-menjalin dari masa kelam, masa penjajahan, dan kini bersinar di masa untuk mengisi kemerdekaan.

Kita mundur dulu ke masa lalu. Sejarah mencatat, benteng Vredeburg merupakan simbol politik pecah belah Belanda. Berdirinya benteng ini tidak dapat dipisahkan dari sejarah Traktat Giyanti, 13 Februari 1755. Traktat yang dirancang Belanda itu memang mengakhiri perseteruan antara Paku Buwono III dengan Pangeran Mangkubumi (yang kemudian bergelar sebagai Sultan Hamengku Buwono I).

Tetapi pada hakekatnya perjanjian tersebut adalah perwujudan usaha Belanda untuk membelah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Pendirian benteng Vradeburg di Yogya dan Vastenburg di Solo, tak lain sebagai pos penjagaan tentara kolonial Belanda untuk mengawasi kedua keraton tersebut. Politik pecah belah Belanda itu membekaskan perseteruan semu antara Solo versus Yogya. Bahkan lukanya masih mudah kembali menganga, misalnya ketika meledak perseteruan Djogdja-Solo berupa tawuran massa di kancah sepakbola. Sampai saat ini.


Momen cinta. Trah Martowirono yang berakar dari Kedunggudel, Sukoharjo, kini menyerbu Djokdjakarta. Tidak dengan pedang atau sambitan batu. Tetapi dengan cinta. Dengan kerinduan. Karena, antara lain, ibarat sebuah pohon maka kini cabang dan ranting trah ini sudah menjulur sampai Djogdja.

Banyak warga trah ini yang bersekolah, bahkan hingga beranak-pinak di kota gudeg ini pula. Ibu Dwi Hastuti (foto), dari Taler 1 yang kelahiran Tekaran, Selogiri, dan kini tinggal di Kaliurang, meringkas hal itu dalam gurat puisi renungan yang ia bacakan dalam suasana hening reuni itu :

“Ketika memilih jalan yang hendak dilalui, aku memilih jalan yang mengarah ke barat. Jalan itu bermula di hutan masa kanak-kanak, dan berujung di kota keberhasilan.”

Kota keberhasilan itu juga dijejaki adiknya, Untung Suripno.Dirinya menuntut ilmu, sejak SMP sampai perguruan tinggi, di kota pelajar ini pula. Juga bekerja. Sehingga berkeluarga, pada tanggal 16 Agustus 1982, sebagai tanda berdirinya “Kerajaan Bantul”-nya. Bantul itu singkatan slengekan : PramBANan (asal sang istri, Ibu Erry) dan Tekaran bergaUL.

bambang haryanto,bunga clara persada,untung suripno,hanum,mayor haristanto,reuni trah martowirono XXIII-2009

Dua puluh lima tahun kemudian, 16 Agustus 2007, Benteng Vredeburg ini mulai memiliki relevansi sebagai bagian sejarah Trah Martowirono. Karena pesta syukuran perkawinan perak Untung (berpidato ; dari kiri, Bunga,Mayor Haristanto dan Hanum) dan Erry, dirayakan di sini. “ Chains do not hold a marriage together,” tutur Simone Signoret (1921–1985), aktris Perancis. Rantai tidak mampu mempertahankan perkawinan, katanya.

Tetapi, “jalinan, ratusan jalinan benang-benang kecil yang mampu menjahit kebersamaan seseorang untuk mampu melewati tahun-tahun perjalanan. Itulah yang membuat perkawinan menjadi langgeng, lebih dari gelora syahwat dan nafsu.”

Jalinan benang-benang kecil itu termanifestasikan, misalnya, dan tak terlupakan, ketika muncul momen pemberian seuntai bunga kuning oleh Mas Untung ketika mBak Erry tampil di panggung. Juga sebaliknya. Julio Iglesias, penyanyi romantis Spanyol yang tepat berulang tahun ke 66 pada saat reuni trah itu dilangsungkan, seolah hadir sebagai tamu yang mengabadikan momen perayaan cinta itu dalam salah satu lagu indahnya :

Take my hand (take my hand)
Take my whole life too (life too)
For I can't help falling in love with you

Dalam kehangatan di bawah lindung selimut cinta siang itu, lalu menerbangkan harapan : “Aku ingin hidup seribu tahun lagi.” Itu merupakan bagian dari lirik indah lagu “Pertemuan” yang dilantunkan Bunga Clara Persada saat membuka acara.

Celotehan mahasiswi cantik jurusan Teknik Industri UGM yang bersinergi dengan Hanum, mahasiswi hiperaktif dan cemerlang (“apalagi kalau malam memakai bedak terbuat dari fosfor”) yang kini belajar di Teknik Kimia UGM, saat menjadi hostess acara, kemudian ibarat benang indah yang menjalin harmoni perpindahan satu acara ke acara berikutnya.

Kata Bunga dalam SMS setelah acara yang ia pandu sukses : “Memang kalau kerja keras benar2 dari hati gak akan terasa berat.Saya senang jika semua orang juga senang.”

Terima kasih, Bunga.
Terima kasih, Hanum.

Dua ratus empat tahun lalu, akibat ulah liciknya, Belanda berhasil memecah Mataram menjadi dua kubu : Yogya vs Solo. Kini, sejarah mencatat hal lain. Saat reuni Trah Martowirono berlangsung, suatu kebetulan ada wisatawan bule yang keblasuk masuk arena. Malah ia kemudian ikut bergabung beberapa waktu dalam acara reuni yang disambut warga Trah dengan senang hati.

Ia seorang insinyur, projectorganisator dari BAM Rail bv. Namanya : Bart van Zwam. Berasal dari Breda, Belanda. Dalam foto ia nampak dikawal “pasukan gerilya republieken”, Mayor Haristanto. Bart mendapatkan sambutan meriah ketika dengan fasih menyebutkan nama trah kami :

Martowirono !

Momen yang ajaib. Di masa lalu, Belanda menggunakan politik untuk memisahkan. Di masa kini, Trah Martowirono dengan pendekatan hati, mempersatukan.


[Cerita heboh hip-hop dari Trah Martowirono di Benteng Vredeburg masih akan berlanjut.]


Wonogiri, 24/9/2009

trahmw

Friday, September 25, 2009

Pesta Suku, Burning Man Festival sampai Harajuku




ulang tahun september


[Maaf, laporan tertulis dan foto lainnya segera menyusul]

Wednesday, September 23, 2009

September Ceria, Dilarang Menonton, Semua Harus Bicara !



Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Photobucket



[Maaf, laporan tertulis segera menyusul]

Friday, September 04, 2009

Enam Djam Di Djogdja, 2009 !


Satoe Akar, Ranting Jang Berboeah, Koenang-Koenang Jang Menjinari Doenia
Reuni Trah Martowirono XXIII-2009, Museum Benteng Vredeburg, 23 September 2009


Serangan Oemoem ! Mesin kangen-kangenan untuk bertemu mulai panas lagi. Menggelegak dari Lampung, pedalaman Kalimantan, sampai di sela hiruk pikuk keramaian kota Djogdja yang semakin metropolis. Di antara mega-mega wedus gembel yang tipis ramah memayungi euforbia cantik yang tersenyum di Kaliurang.

Ia membara di antara nyanyian cengkerik di lindung semak padi di Boyolali, Polokarto, di interval desis ban-ban bis di sebelah barat rumah Selogiri, menyelip langit musim gugur di Perth, keriuhan angkot Bogor, suara pasar dan dengung layar televisi berisi liputan ESPN di kantor Palmerah.

Deru kangen itu bercampur warna-warni parade sunyi yang menghamburkan embrio gagasan gila di Kadipiro, dengung santri mengaji di Jember sampai meniti buih ombak Gilimanuk, di antara bau minyak tanah, bensin dan denting besi-besi onderdil bis di Ngadirojo, sampai tarian di antara kedip-kedip kursor layar komputer di warnet Wonogiri.

Semua memiliki nada sambung yang sama. Mari kita serbu Djogdja dengan cinta. Kesanalah, keluarga Trah Martowirono di tahun 2009 ini, di lindung suasana Idul Fitri 1430 H, akan berkumpul kembali. Serangan oemoem untuk merekatkan kembali cinta dan suara hati itu, akan segera terjadi. Kita merindukannya !

Pohon perindang. “Pada tahun 2009 ini Trah Martowirono memilih tema spiritual, “Ranting yang berbuah. Kita sebagai anggota Trah Martowirono ibarat suatu ranting dari pohon besar Keluarga Martowirono. Pohon itu adalah pohon yang tumbuh subur dan menjadi perindang bagi tanaman lain yang membutuhkan,” tutur Untung Suripno, selaku Kepala Suku Trah Martowirono.

Pohon itu memiliki ranting yang kuat dan bercabang banyak, lanjutnya. Pohon itu dengan akarnya yang kuat mencari mata air agar ranting yang ada tetap tidak kering dan mampu berbuah lebat. Kita sebagai ranting dari pohon yang besar tentu akan berusaha berbuah.

Buah itu berupa saling memperhatikan bot-repot saudara kita, memberi penghiburan bagi yang bersedih, saling berbela rasa dan menjadi suri tauladan bagi sesama. Harta yang kita miliki bukan satu-satunya kekayaan tetapi perlu dilengkapi dengan budi pekerti yang luhur sehingga kita dapat menjadi jalan berkat bagi orang lain.

Marilah kita sebagai anggota trah dapat menjadi ranting yang berbuah sehingga orang lain dapat menikmati buah yang kita hasilkan. Orang bijak mengingatkan bahwa ranting yang tidak berbuah akan di potong dan di buang ke dalam api. Selamat memasuki tahun 2009, tahun penuh tantangan. Tuhan memberkati kita semua.

Terima kasih, Mas Untung.

Trah kita menyapa dunia. Ranting-ranting pohon Trah Martowirono kini memang semakin menjulur keluar pagar. Bukan dalam konotasi negatif, tetapi merupakan perwujudan dari keinginan agar mampu berguna bagi masyarakat yang lebih luas.

mBah Dung punya dongeng, yang bagi saya kemudian menjadi metafora yang menarik. Dongeng ini saya kira masih membekas pada diri mBak Endang, juga para cucu lainnya. mBah Dung bilang, “kuburkan serpihan potongan dari kuku-kukumu. Serpihan kuku itu bila malam akan berubah menjadi kunang-kunang.”

Waktu saya (Bambang Haryanto) kecil, saat duduk di SD (1961-1966), tentu tidak mempercayai cerita beliau. Walau memang, bila menginap di Kedunggudel, di antara kerlip nyala merah lampu ting terbuat dari botol Brylcreem nampak seliweran puluhan kunang-kunang menari di gelap malam. Ditimpali suara burung hantu, dari pohon besar di kuburan, sebelah selatan rumah beliau.

Rupanya dongeng beliau itu merupakan metafora. Ibarat. Pesan moral yang baru akan diketahui maknanya berpuluh tahun kemudian. Bagi saya, reuni Trah Martowirono, adalah reuni para kunang-kunang. Kalau Mas Untung menyebutkan kita sebagai ranting yang berbuah, sejalan dengannya saya menyandingkannya dengan metafora kunang-kunang.

Karena masing-masing kita memiliki cahaya. Memiliki keindahan. Yaitu ketika kita, eksistensi kita, mampu memiliki dan memberi manfaat bagi banyak orang di sekitar kita.

Kepala suku Indian Kaki Hitam, Crowfoot (c. 1830–1890), sebelum meninggal dunia pada tanggal 25 April 1890, seperti dikutip oleh John Peter Turner dalam bukunya The North-West Mounted Police: 1873–93 (1950), antara lain sempat mengatakan : What is life? It is a flash of a firefly in the night. Apakah hidup itu ? Ia adalah pendar nyala kunang-kunang di waktu malam.

Bersyukurlah. Berbanggalah.

Anda telah membuktikan pendar-pendar nyala dalam kehidupan Anda. Untuk itu, kini saatnya kita menyerbu Djogdja. Untuk berbagi cerita. Setahun sekali, sembari mereguk oasis sebagai insan yang fitri, mari berbagi cerita-cerita kita itu, untuk sesama kita, dengan beragam warna, dalam upaya memayu hayuning buwono.

Almarhum Michael Jackson menyebutnya sebagai upaya heal the world, yang tak lain identik dari niat luhur ajaran mBah Dung kita : membuat diri kita, para keturunan dan keluarganya, mampu membawa dan memberi kemaslahatan bagi dunia.

Kini saatnya kiat membuat heboh. Seperti tahun lalu, 2008, saat Reuni Trah Martowirono XXII di Wonogiri. Bahkan saudara jauh kita pun, ikut pula merayakannya, seperti terekam pada foto di bawah ini.

trah martowirono 2008kajen,wonogiri

Tagline untuk penanda kehebohan tahun 2009 berbunyi : satoe akar beragam krida kita oentoek doenia. One root colourful efforts serve to the world.

(us/bh)

Wednesday, September 02, 2009

Kuis Trah Martowirono Mengguncang Bogor



broto happy w

Berhadiah besar. Foto teroris Noordin M. Top dipasang dimana-mana. Kalau dulu tertera hadiah untuk siapa saja yang mampu memberikan informasi tentang tokoh teroris paling diburu di Indonesia itu. Sekarang hanya foto saja dan ciri-ciri fisik dirinya. Masihkah rakyat kita antusias untuk ikut memburunya ?

Lupakan dulu Noordin M Top. Di Bogor, di Samiaji, foto salah satu warga Trah Martowirono menjadi bahan kuis berhadiah. Untuk meramaikan Samiaji Fair, pesta heboh setiap 17 Agustus. Dilaporkan bahwa warga Samiaji tidak satu pun yang mampu menebaknya saat itu.

Bahkan ada yang berencana meminta tolong bagian identifikasi dari Densus 88 untuk melacak kira-kira siapa warga Samiaji yang memiliki wajah seperti tertera pada foto kiri. Bahkan lab DNA sudah pula disiapkan untuk melacak pula asal-usul garis keturunan dari pemilik foto tersebut.Kalau jadi, para pelacak itu bisa-bisa sampai ke Kedunggudel, Kajen, dan bisa juga keblasuk sampai Tekaran, Tasikmalaya, Tabalong, Gayam, Bantul, Yogya, Perth sampai Polokarto.

Bayangkan. Betapa mengagetkan bila seluruh warga Trah Martowirono diminta potongan kuku atau rambut, guna tes DNA itu. Padahal anak-cucu-cicit Trah Martowirono sudah kerasukan dongeng dari mBah Dung : guntingan kuku yang dipendam, malamnya akan berubah jadi kunang-kunang.Jadi tak boleh diberikan kepada orang lain.

Kunang-kunang bila malam mengeluarkan cahaya. Ada keindahan melihat panorama ribuan kunang-kunang di Kedunggudel di waktu malam. Ditimpali suara burung hantu dari pohon besar, di kuburan, selatan rumah.

Mungkin cerita ajaib tentang kunang-kunang itu isyarat atau pesan tersembunyi dari mBah Dung agar anak, cucu dan cicit, di mana pun berada, agar mampu menjadi penerang, obor, sampai penghibur, bagi masyarakat sekitar. Termasuk bermusik seperti gambar di bawah ini.

samiaji four boys

Samiaji Four Boys. Main voli jago, manjat pinang tahun lalu juara, tarik suara pun OK sehingga komplotan bapak-bapak dari Samiaji 4 ini mampu menyabet juara Lomba Menyanyi Bapak. Bahkan setelah kemenangan itu, topi badut kelompok Sam Four (Samiaji Empat) Boys itu diperkirakan segera menjadi tren di Indonesia, menggantikan baret rasta reggaenya almarhum mBah Surip. Bagian A & R (Acquisition & Recruitment) Musica Studio konon siap merekam kelompok Sam Four Boys itu dalam lagu pilihan “Menang Panjat Pinang.” Judul alternatif : Diomelin Istri, Dasternya Robek Semua !

Tokoh yang membawa nama Trah Martowirono di Bogor, adalah Broto Happy Wondomisnowo , dik Ayu, istrinya, Ega dan Adis, putrinya, telah sukses melakoni itu. Kreasinya telah mampu mengisi pesta 17 Agustus 2009 yang mengobarkan kegembiraan bagi seluruh warga sekitar tempat tinggalnya. Kita semua, ikut berbangga karenanya.

Cerita akan berlanjut ! (BH)


tmw